f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
sepak bola

Santri, Literasi, dan Arus Deras Media Informasi

Pada tahun 2016 di acara peresmian majalah Horrison Online, Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) lewat orasi ilmiahnya pernah memberi beberapa data hasil penelitian tentang statistik media-media yang digandrungi oleh para milenial (usia antara 18 sampai 38 tahun). Data tersebut menyoal tentang ketertarikan milenial pada media-media informasi. Seperti media cetak sejenis koran, majalah dan tabloid, hanya menyentuh angka 4%. Kemudian untuk televisi sebanyak 19%. Media online 38%. Dan media sosial 38%.

Data tersebut beliau sampaikan pada tahun 2016. Empat tahun yang lalu. Pastinya di tahun 2020 ini, data-data tersebut secara otomatis sudah berubah. Bahkan lebih meningkat lagi mengingat hampir seluruh kegiatan kita di masa pandemi ini dialihkan di platform-platform digital (online).

Dari data tersebut kita bisa mengetahui bagaimana orang-orang khususnya para milenial ini mencari atau mendapatkan suatu informasi. Jika dulu pasca kemerdekaan hingga akhir masa orde baru radio pernah menjadi media primadona untuk mendapatkan sebuah informasi. Namun seiring berkembangnya zaman, radio digeser oleh media-media yang lahir dari televisi.

Pun dengan televisi, di suatu masa dia juga akan terkikis oleh kecanggihan dan kecepatan media-media yang dilahirkan oleh internet. Lantas apa penyebab tumbangnya media-media informasi yang pernah berjaya di eranya masing-masing? Sepertinya jawaban itu akan saya tahan dulu dan akan saya jelaskan pada paragraf akhir tulisan ini.

Definisi: Santri, Literasi dan Media Informasi

Sebelum membahas lebih jauh tentang “Santri, Literasi dan Media Informasi”, saya akan sedikit menjelaskan terminologi dari ketiga kata tersebut. Dari kata satnri terlebih dahulu. Untuk santri sendiri menurut KBBI memiliki dua makna; pertama adalah orang yang mendalami agama Islam, dan kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh (orang saleh). Sedangkan menurut sejarawan KH. Agus Sunyoto, kata santri diambil dari bahasa serapan sansekerta shastri yang memiliki arti orang yang memelajari teks suci (kitab suci).

Baca Juga  Pesan Jihad Literasi Perspektif Yusuf Qardhawi

Setelah kata santri ada kata literasi. Jika ditilik dari definisi secara umum (global), kata literasi memiliki makna suatu kegiatan yang bersangkutan dengan baca-tulis. Namun jika lebih diperinci lagi, literasi bisa dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami suatu informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Dalam perkembangannya, definisi literasi terus berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Saat ini, istilah tersebut sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas dan sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Sehingga secara implisit media-media yang menyuguhkan suatu informasi juga ikut andil dalam perkembangan budaya literasi.

Pesantren dan Kontruksi Literasi

Setelah kita mengetahui definisi ketiga kata tersebut. Kemudian timbul pertanyaan; apa kolerasi antara santri dan literasi? Maka saya akan menjawab sangat-sangat banyak. Saya ambil satu contoh; kegiatan ngaji kitab kuning. Terkadang dari kita (santri) menganggap remeh dan tidak menyadari bahwa kegiatan ngaji kitab kuning adalah sebuah tradisi pesantren yang turut andil dalam mengkonstruk daya kritis dan melek literasi lintas zaman.

Bagaimana tidak, pada setiap kegiatan tersebut pasti para kyai atau guru akan mengajarkan kitab-kitab ulama’ yang hitungannya sudah berusia ratusan tahun. Sebut saja kitab Ihya’ Ulumuddin, Fathul Qarib, Al-hikam dan lain sebagainya. Selain itu, budaya baca tulis seperti maknai kitab menggunakan huruf arab pegon yang terkandung dalam tradisi ngaji kitab, juga menegaskan bahwa pesantren telah mengajarkan suatu metode pembelajaran lintas zaman.

Maka tidak berlebihan jika pesantren (begitu juga santri yang belajar di dalamnya) disebut sebagai role model sebuah pendidikan yang sangat-sangat baik. Dan saya rasa (saat ini) di luar pendidikan pesantren masih belum banyak yang mengunakan metode-metode tersebut.

Baca Juga  Merawat Akar Pendidikan
Arus Deras Media Informasi

Seperti yang telah saya jelaskan sedikit pada paragraf pembuka, bahwa media-media yang menyuguhkan sebuah informasi memiliki peminat dan era kejayaannya masing-masing. Mulai dari yang paling jadul seperti radio hingga yang paling mutakhir seperi media-media berbasis online, semua memiliki eranya masing-masing.

Jika kita termasuk generasi yang lahir di akhir tahun 90-an, maka kita pernah menjadikan televisi, koran dan majalah sebagai media favorit untuk mendapatkan informasi. Mulai dari informasi seputar olahraga, politik hingga informasi luar negeri, kita semua mendapatkanya dari sana. Seperti yang pernah diceritakan oleh Ayah saya, bahwa ketika beliau menunggu informasi kelulusan namanya sebagai PNS, beliau harus mencari koran yang khusus menyediakan berita tersebut. Saat itu koran tersebut terbit dan beredar di lapak-lapak ketika dini hari. Sehingga mau tidak mau Ayah saya harus gerak cepat mendapatkan koran tersebut, jika tidak maka akan kehabisan dan ketinggalan informasi. Ya begitulah media pada masa kejayaannya.

Namun seiring berkembangnya zaman. Ketiga media itu (televisi, koran, majalah) mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Banyak media-media baru yang lahir dari kemajuan dan kecanggihan teknologi. Labih cepat, mudah, kapan pun dan dimana pun kita dapat menjangkaunya. Jika ada peristiwa pembunuhan di suatu daerah misalnya, maka kita tidak perlu lagi menunggu televisi atau koran yang menerbitkan. Cukup membuka Instagram atau Facebook, maka kita akan menjumpai banyak akun-akun yang mengupload informasi itu.

Kalau kata Mbak Najwa Sihab “Jika dulu kita mencari atau mendapatkan sebuah informasi, maka kita perlu mencarinya di media. Tapi zaman sudah berubah, kita tidak perlu ribet mencarinya, karena kita sekarang bisa menjadi media itu sendiri, menciptakan informasi dan membagikannya”. Dan perkataan itu bagi saya sangat relate di era sekarang.

Baca Juga  Antara Bangsa dan Negara
Sebab Tumbangnya Media Informasi

Setelah kita mengetahui benang merah antara santri, literasi, dan media informasi. Saatnya sekarang saya memberi jawaban kenapa media-media yang pernah berjaya pada masanya mengalami kemerosotan hingga tumbang dan lenyap digilas oleh zaman. Jawabanya hanya satu; karena tidak bisa beradaptasi.

Ketika radio pada masa keemasanya pernah menjadi satu-satunya media informasi yang dapat diandalkan. Namun seiring lahirnya televisi dan media cetak (koran, majalah, tabloid), orang perlahan mulai meninggalkan radio dan lebih memilih televisi atau koran. Alasanya logis; karena informasi yang diperoleh dari radio tidak dapat diulangi seperti membaca koran. Selain itu radio juga tidak bisa memberikan data visual yang terlihat lebih valid seperti televisi.

Maka dari itu, kesimpulan dari tulisan ini adalah; agar bagaimana para santri bisa turut andil mem-branding pesantren dalam derasnya arus media informasi khususnya di masa pandemi ini. Pastinya setiap santri mempunyai caranya sendiri dalam berkontribusi. Sebab jika para santri sudah bisa show up dan ikut serta di dalamnya, maka eksistensi dan nilai-nilai pesantren tidak akan tertutup dengan hal-hal yang nirfaedah. Wallahualam.

(Editor: Ananul)

Bagikan
Comments
  • Segala puji hanya milik Tuhan.
    Bagus sekali tulisan mas K-penk yang satu ini. Sungguh kental dengan nuansa revolusi santri yang harus digaungkan. Memang santri itu harus show up dan tidak anti terhadap perubahan. Apalagi perubahan zaman yang semakin cepat berubah. Mungkin mas K-penk berusaha berkontribusi melalui tulisan-tulisan yang menggugah.

    Lanjutkeun kamerad.

    September 10, 2020
  • Frida

    Tulisan ini merupakan refleksi kritis dari seorang yang begitu mengamati setiap perubahan dengan seksama. Keren, suhu!

    September 11, 2020
Post a Comment