f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
radikal

Antara Bangsa dan Negara

Demi ‘bangsa dan negara’. Dua kata yang selalu disandingkan di setiap pidato-pidato besar, mereka yang mengumandangkan, tak pernah nampak gugup ketika diucapkan. Namun sebaliknya, di dua kata yang ditonjolkan tersebut apa yang tidak nampak? Apa yang tidak selesai?

Bagi sebagian, dua kata tersebut dapat kita anggap sebagai bentuk ‘nasionalisme’ yang mengakar pada pribadi yang berucap. Tetapi, lagi dan lagi, ini akan menjadi sangat problematis; nasionalisme tak dapat ditopang hanya dengan modal percaya. Dalam artian, kita tak dapat menuntut tumbuhnya nasionalisme dari suatu bangsa tanpa ada timbal balik dan jaminan yang pasti dari negara.

Selama hayat masih dikandung badan, maka selama itu pula kita mesti meneropong ke segala arah; Bahwa ada banyak pertikaian antara bangsa dan negara. Mereka tak pernah benar-benar damai walau sejenak.

Misalnya, ketika beberapa daerah mencoba untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat masihkah kita menganggap keduanya akur? Ketika banyak kebijakan pemerintah menuai penolakan besar-besaran masihkah kita anggap keduanya dalam hubungan yang baik?

Kita bisa belajar dari beberapa pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia. Ketika muncul ‘pemberontakan’ di Aceh, pusat mencoba untuk meredamkan dalam bentuk Daerah Operasi Militer (DOM). Hal yang sama pula terjadi di Timor Timur, dan nampaknya orang-orang yang dikirim oleh negara (pemerintah pusat) ke sana hanya untuk menyaksikan sebuah ‘kekalahan’ yang berujung pada lepasnya Timor Timur.

Semua rangkaian tersebut adalah fakta pertikaian antara bangsa dan negara yang saat ini terlihat gagah hanya dalam rangkaian kalimat. Tidak bermaksud untuk membuka luka lama, namun agaknya kita perlu melihat kembali hubungan keduanya

Gejolak Bangsa dan Negara dalam Bingkai Kebijakan

Kini, kita kembali merasakan pertikaian itu. Hanya saja kali ini tidak dalam bentuk pemberontakan daerah, melainkan dalam bentuk penolakan terhadap kebijakan negara. Di tengah menyeruaknya kaum-kaum nasionalis yang mencoba untuk terus menggalang persatuan dalam bentuk kalimat “demi bangsa dan negara”, di saat yang bersamaan pula muncul berbagai gelombang penolakan masyarakat terhadap berbagai kebijakan.

Baca Juga  Klaim Pancasila dan Psikologi Terbalik

Gelombang penolakan tersebut adalah suara bangsa, dan sayangnya aspirasi yang bermunculan seakan tak mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai representatif dari negara. Keduanya pun kembali memanas; hingga muncul “gejayan memanggil”, seruan “alerta” menggema di story-story whatsapp, yang kemudian berujung pada aksi solidaritas untuk Randy yang tertembus peluru tajam.

Tampaknya negara telah salah mengartikan gelombang aspirasi tersebut sebagai bentuk ‘pemberontakan’. Negara tampak kejang-kejang menanggapi banyak tuntutan sehingga memunculkan sebuah kesimpulan gegabah dengan menyerukan “bahaya radikalisme”.

Tuntutan tersebut bukan bentuk pemberontakan, melainkan rumusan-rumusan masalah yang coba diajukan oleh anak-anak bangsa kepada Tuan dan Puan negara. Jika merujuk pada sistematika penulisan ilmiah, maka rumusan masalah seharusnya ditanggapi dengan penjabaran dan analisis, tidak semestinya negara langsung melompat pada kesimpulan “radikal” dan “aksi ditunggangi”. Dapat kita pahami bahwa negara kurang ilmiah dalam menanggapi gejolak bangsa.

Setiap aspirasi yang dilayangkan, baik dalam bentuk tulisan maupun unjuk rasa di gedung-gedung pemerintahan adalah bentuk reflektif atas berbagai pagelaran politik. Mulai dari pemilihan Kepala Desa, Legislatif, Pilkada sampai dengan Pemilu yang bertujuan untuk memupuk harapan bahwa keadilan akan dipulihkan oleh rezim baru.

Tuan dan Puan yang menduduki kursi pemerintahan harusnya sadar dan paham betul bahwa tugas Tuan dan Puan bukan untuk membuat keputusan sepihak, melainkan untuk menyampaikan hal-hal yang diinginkan rakyat, itulah guna adanya serap aspirasi, jajak pendapat, inovasi blusukan dari Pak Jokowi, dan demikianlah semestinya ‘penyambung lidah rakyat’ bersikap.

Sebuah Catatan Kelam

Dari sekian banyak upaya untuk berbisik lembut di telinga pemerintahan, ternyata berbuah satu respon yang mengecewakan. 5 Oktober 2020, tercatat sebagai sejarah di mana lidah rakyat tidak tersambung, aspirasi tidak terserap, blusukan tidak tepat sasaran, sekaligus persoalan antara bangsa dan negara yang kian memanjang.

Baca Juga  Pancasila dan Pandangan Hidup Umat Islam

Tampaknya kita harus kembali memupuk harapan di pagelaran-pagelaran politik berikutnya. Buruh harus kembali bersabar oleh sebab tingkah Tuan dan Puan kita di gedung-gedung pemerintahan. Mereka yang merasa dirinya telah mewakili kita sepenuhnya, sehingga merasa tak perlu lagi untuk sekadar bertanya kepada kita apa yang harus mereka lakukan di dalam sana.

Sekalipun banyak hal telah kita tawarkan, segalanya telah disampaikan dengan menimbang setiap prosedur yang ada, namun sama sia-sianya. Memang Judicial Review adalah sebuah jalan, tapi bukankah lebih elok mendengar di awal daripada digugat kemudian? Ahh.. sudahlah, kita telah bersikap dengan sebagaimana mestinya, kita telah berkorban tenaga, jiwa, raga, hingga nyawa anak bangsa. Tak pernah disangka menyampaikan aspirasi adalah nyawa taruhannya.

Adalah kita yang kalah oleh wakil kita sendiri, kita yang memilih dan pada akhirnya terabai. Kita yang sama-sama merajut harap pada pesta demokrasi silam, namun menjadi korban atas demokrasi yang sekadar pesta belaka. Maka membosankan untuk terus berucap “demi bangsa dan negara” namun tak pernah benar-benar dinyatalaksanakan.

Ramai infrastruktur dan jalan tol ternyata hanya dapat menghubungkan aktivitas ekonomi, namun tak benar-benar bisa menghubungkan bangsa dan negara. Banyak petisi, aspirasi dan orasi hanya dianggap sebagai nyanyian sumbang di pusat-pusat Kota. Kata ‘jangan’ seakan terdengar oleh wakil-wakil kita sebagai perintah untuk ‘segera sahkan’.

Mungkin memang tak elok untuk kita terlalu memaksa dan menekan Tuan dan Puan di sana, yang telah rapat siang dan malam untuk menyepakati apa yang sebenarnya telah kita tolak sejak jauh-jauh hari sebagai seorang buruh, sebagai mahasiswa yang turut peduli, sebagai kita yang bukan investor, sebagai suara sumbang sebuah bangsa.

Bagikan
Post a Comment