f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kawin

Perempuan di Pusaran Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 semakin meningkat setiap harinya di Indonesia. Epidemiolog  Universitas Indonesia, Dr.Pandu Riono bahkan memprediksi bahwa wabah tidak akan selesai dalam waktu dekat. Menilik jumlah konfirmasi positif yang terus bertambah dari hari ke hari, rupanya belum menunjukkan adanya tanda-tanda Covid-19 menuju puncak dan melandai. Hal tersebut disampaikan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban.

Sepuluh bulan sudah sejak kasus pertama diumumkan awal maret 2020, kita dipaksa mundur oleh makhluk tak kasat mata, virus covid-19. Cara hidup manusia secara global berubah total. Kita harus mundur dari kegiatan beraktivitas di luar rumah; mundur dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; mundur dari kegiatan proses pembelajaran dan kegiatan rutin: bangun pagi, sarapan, berangkat kerja. Mulai stres karena jadwal ketat sementara jalanan macet, bertemu kolega, klien, nasabah, teman, handai taulan dan seterusnya.

Berhenti melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain. Kini, semuanya berhenti. Secara mendadak pula. Tanpa aba-aba. Tidak terencana dan direncanakan. Tanpa pelatihan keterampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbatkan kepada perempuan. Pandemi ini telah memaksa semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun keluarga dan individu untuk mengubah seluruh ritme kehidupan.

****

Peran domestik perempuan untuk mengurus rumah tangga dan kerja-kerja perawatan keluarga dan rumah tangga memengaruhi besarnya dampak pandemi terhadap perempuan. Keluarga atau rumah tangga merupakan unit yang mengalami dampak langsung dari pandemi Covid-19. Maka, dampak pandemi terhadap keluarga telah menyebabkan bertambahnya beban kerja dan tanggung jawab kepada perempuan.

Bagi perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam sepuluh bulan ini mereka dipaksa maju melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain. Kini, secara mendadak, mereka harus mengambil alih semua peran-peran strategis itu dengan nyaris tanpa persiapan, tanpa keterampilan.

Baca Juga  Pentingnya Dukungan Orang Tua dalam Mendidik Anak

Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, lapangan bermain, restoran, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar, tempat rekreasi sampai sarana bersantai, dan di saat yang sama menghadapi kemungkinan menurunnya pemasukan atau kehilangan pekerjaan

Beban kerja domestik selama pandemi juga bertambah bagi perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Tanpa pembagian peran yang adil dalam kerja-kerja domestik, maka perempuan harus menanggung beban kerja domestik lebih besar. Lebih jauh, selama pandemi perempuan juga menghadapi tantangan akses terhadap layanan kesehatan, khususnya layanan kesehatan reproduksi.

BKKBN memprediksi adanya lonjakan angka kehamilan di masa pandemi. Data menunjukkan adanya penurunan penggunaan alat kontrasepsi, baik karena berkurangnya akses pelayanan atau akses layanan lanjutan untuk kontrasepsi yang biasa digunakan. Klinik yang biasa melayani, banyak tidak beroperasi dengan alasan menghindari potensi penularan virus.

****

Mau tidak mau, suka tidak suka, Covid-19 ini memaksa perempuan bertransformasi. Namun perubahan bukan sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan  menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya sejak dari tataran ekonomi dunia sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga. Pada kelas sosial tertentu, perubahan ekonomi mungkin tak terlalu  terasa karena lapisan-lapisan ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan keluarga, ini benar-benar bencana.

Teman saya yang saat ini menekuni isu lansia, melalui whatapp mengajak saya berpikir: ini ibu-ibu kaum lansia  mau bagaimana? sudah sepuluh bulan mereka tak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. 

Banyak dari mereka tak menguasai teknologi komunikasi, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah anak-anak di rumah. Bayangkanlah perempuan lansia pada keluarga miskin yang hidupnya  menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil, sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah minimal mendapat bagian tambahan. 

Baca Juga  Resiliensi: Kemampuan Adaptasi Setelah Mengalami Kesulitan
****

Seorang perempuan tengah baya keluarga mapan, biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas gaul dan sosialitanya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, ia mengeluh karena rutinitasnya terganggu semua. Sebagai ibu rumah tangga, ia tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga, selepas itu ia bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya.

Datangnya Covid-19 membuat mereka berhenti bergerak. Eksistensi mereka  bukan pada kedirianya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul ya tak muncul.  Namun di antara itu semua, perempuan miskin, usia muda, beranak minimal tujuh, baik semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, Covid-19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Kelembagaan-kelembagaan yang semua bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, tempat bermain anak-anak, sekarang semuanya berpusat kepadanya. 

Beruntunglah bagi mereka yang masih memiliki asisten yang  tinggal bersamanya, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreatifitas plus suami  siaga yang ikut memikirkan serta mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah berhenti, tertahan di rumah maka otomatis perempuanlah yang menjadi kepala sekolah, ibu guru, sekretaris, koki,  sampai asisten yang mengurus kebersihan kamar mandi. Ini benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan.

***

 Dalam kacamata masyarakat patriarki, konsep ibu ideal bukanlah terlahir dari pemikiran perempuan itu sendiri, melainkan berdasarkan kiprah maksimal di ranah domestik. Ibu selalu digambarkan penuh sukacita saat mengasuh rumah tangga, tidak pernah terlihat kesal, murung, dan lesu. Sampai saat ini, saya masih sulit memahami mengapa potret yang ada di majalah-majalah adalah seorang ibu yang sedang bersama anaknya; baik di sampul depan maupun di ilustrasi artikel-artikelnya, selalu tampil rapi dan cantik dengan dandanan natural tipis-tipis.

Baca Juga  Self-love Ala Sufi

Pakaian mereka juga biasanya diperlihatkan dengan dress yang menawan, bukan daster atau kaos buluk. Pada kenyataannya, ibu saya tidak pernah berdandan manis di rumah saat mengurus rumah tangga. Sungguh besar jurang antara apa yang tergambar di majalah dan realita kehidupan menjadi seorang ibu.

Saya sungguh berempati kepada kaum perempuan muda, perempuan paruh baya, dan kaum lansia yang terguncang oleh gempa Covid-19. Betapa beratnya beban berlapis perumpuan di masa pandemi ini. Perempuan sendiri kerap harus mampu mengelola kelelahan dan stresnya agar tidak nampak di mata suami dan anak-anak. Beban berlipat ini tentu saja tidak adil bagi perempuan.

***

Perempuan menjadi pihak yang sangat dilemahkan dan menanggung banyak dampak dari pandemi ini. Lebih prihatin lagi, karena  guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu. Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan  pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu /bapak guru di rumah.

Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “bumi dan air dan kekayaan yang ada di dalamnya”  yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa. Begitu juga bagi  lansia, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas guncangan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka.

Entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini. Terkasihilah perempuan-perempuan dengan segala aktivitasnya sebagai pusat gravitasi dalam rumah. Semoga ada perubahan-perubahan radikal oleh negara dalam mengatasi problem kaum perempuan sang pengurus rumah tangga yang terdampak guncangan covid-19.

Bagikan
Post a Comment