f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
lebaran

Merayakan Lebaran dengan Bodo Amat

tanpa iphone dan lanyard,
rayakan lebaran dengan bodo amat

Lebaran tiba. Artinya, sudah boleh menyeruput kopi pagi. Tentu saja bagi para pecintanya.  

Kopi memang pahit. Namun, di balik pahitnya terselip kisah tentang spirit. Ya spirit bertahan. Rasa pahit yang dihasikan sejatinya terbentuk dari proses evolusi panjang. Tumbuhan kopi memuati dirinya dengan racun agar predator serangga dan mamalia kecil enggan memakannya. Racun ini lalu berevolusi menjadi biji kopi berasa pahit yang kini dicandu oleh manusia pecintanya. Kandungan kopi menstimulasi otak dan sistem saraf sehingga menahan kantuk sekaligus menjaga fokus.

Waspada akan ancaman dan bertahan dari serangan musuh membutuhkan mekanisme pertahanan diri yang tepat. Bukan cuma pada hewan, melainkan pada tumbuhan. Demikian pula satu bulan puasa mengingatkan kita semangat untuk bertahan. Bertahan dari haus dan  lapar meskipun sementara. Tidak makan minum dari fajar hingga magrib itu pekerjaan enteng sebetulnya. Buktinya, banyak anak kelas satu SD yang lulus puasa satu bulan Ramadan penuh.  

Bandingkan misalnya dengan kisah perjuangan para penyintas korban kecelakaan pesawat yang jatuh di pegunungan Andes. Mereka adalah satu klub rugby.  Di pegunungan bersalju mereka melakukan segala cara untuk tetap survive. Dalam film Society of the Snow berbasis kisah nyata yang tayang di Netflix itu, para penyintas terpaksa menjadi kanibal, makan daging mayat temannya sendiri.  

Jebakan Lebaran

Pada manusia, bertahan tidak sekadar kemampuan fisik bertahan dari penyakit, kriminalitas, kecelakaan, cuaca dan sebagainya. Melainkan musuh-musuh tak kasat mata yang melemahkan secara mental dan emosional. Melawannya memerlukan proses seperti evolusinya biji kopi. Ini adalah kerja panjang, mungkin sepanjang hidup.

Puasa telah diisi dengan banyak shalat, berdoa dan membaca Al-Qur’an. Jika saat puasa banyak bertemu Tuhan, pada hari Lebaran kita berjumpa dengan banyak orang. Merayakan lebaran menyambung kasih sayang apapun forumnya. Pulang kampung, berkunjung, halal bihalal keluarga atau pun reuni dengan teman-teman lama. Sayangnya, bagi sebagian orang interaksi macam itu ternyata menumbuhkan rasa minder dan inferior.

Baca Juga  Ketika Al-Qur’an Mengajak Perempuan untuk Berpendidikan Tinggi

Ada predator yang mengancam sebagian  orang. Ada “hewan” yang siap memangsa. Predator hari ini bukan harimau yang akan menerkam manusia ketika berburu kijang. Hari ini kita hidup seakan ada kamera yang mengikuti 24 jam. Predator hari ini adalah lanyard dan iphone. Hewan buas itu adalah status dan postingan medsos. Tak heran ada yang menafsirkan reuni termasuk bukber sebagai ajang flexing. Sempat viral fenomena sewa iphone atau siap membuatkan lanyard BUMN.

Pada sebuah postingan medsos, ada yang meng-capture curhat ratusan warganet yang mengungkap tidak selamanya lebaran bermakna kemenangan. Tekanan dibanding-bandingkan saat bertemu muka dapat menjadi teror yang ingin dihindari.

Tak ada salahnya keluar dengan pakaian terbaik. Menyenangkan handai taulan. Memberikan uang sebagai wujud kasih sayang. Memberi reward pada anak-anak yang telah melampaui puasa Ramadan. Berusaha menyenangkan orang lain. Bukanah fitrah manusia adalah cenderung pada kebaikan? Berusaha menyenangkan orang lain.

Namun, kita harus awas dengan jebakan merayakan lebaran dengan cara yang  berkebalikan dengan makna Idulfitri. Pada manusia, terselip pula kecenderungan ingin menyenangkan diri dan dipuji. Ingat pula, ada kecenderungan manusia untuk tergesa-gesa. Al-Qur’an sudah menyediakan reminder dalam surah Al-Isra’ ayat 11 bahwa manusia  itu suka terburu-buru. Tergoda ingin serba cepat dan instan.

Tekanan agar terlihat hebat itu bersumber dari informasi yang melimpah ruah. Medsos menunjukkan sisi-sisi yang hebat saja. Film-film menggambarkan cowok yang six pack. Drakor memanggil perempuan untuk menjadi jemaah kulit glowing. Dengan kata lain, kita menetapakn standar setinggi mungkin. Apa yang ditampakkan adalah yang serba istimewa.

Padahal lebaran bisa dilakukan dengan bodo amat. Frasa ini akan mengingatkan kita pada buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson. Salah satu pesan di dalamnya adalah agar tidak terpenjara dalam Tirani Keistimewaan. Perasaan bahwa diri kita istimewa dapat menjebak. Karenanya perlu merasa biasa-biasa saja. Sebaliknya, jangan pula merasa paling tidak sukses, paling menderita dan merasa jadi korban.

Baca Juga  Memaknai Hari Lahir Pancasila
Puasa Lagi

Baiklah tinggalkan dahulu Mark Manson. Ada pesan dari Gus Baha untuk tidak menetapkan standar yang terlalu tinggi. Sebagai contoh tidak menetapkan diri sebagai suami yang hebat. Sehingga ia tak pernah menyuruh istrinya membuatkan kopi. Jika kita tidak menetapkan diri dengan standar yang tinggi, maka kita tak mudah berharap yang tinggi dari orang lain pula.

Rujukan cara tersebut didapat dari kisah. Saat hendak sarapan, Rasulullah SAW bertanya kepada Aisyah.  ”Apakah ada sarapan?. Siti Aisyah menjawab, ”Tidak ada”. Maka Nabi pun memutuskan berpuasa. Bayangkan jika itu terjadi pada manusia macam kita?

Seorang Nabi saja tidak membuat standar yang tinggi untuk istrinya. Resep hidup dengan standar minimal atau biasa-biasa tersebut penting. Dalam konteks merayakan lebaran, bebas dari tirani keistimewaan akan membawa kita menjalani interaksi tanpa embel-embel status prestasi dan prestise.

Memaksakan diri untuk tampak istimewa, sukses dan sempurna sama saja dengan iri kepada orang lain. Iri meminjam kalimat dari Quraish Shihab serupa dengan protes kepada Tuhan. Belajar dari prinsip yang dianjurkan Gus Baha, maka merayakan lebaran dengan standar harapan yang biasa-biasa saja, membuat kita lebih rendah hati. Tak jatuh dalam jurang kecewa.

Pada dasarnya kita ini semua biasa-biasa saja. Pola pikir untuk menerima ini membuat kita lebih membuka diri menjalin kebersamaan. Bukan hanya mengakui kita penuh kesalahan. Tetapi juga tidak mudah menghakimi orang lain dan mempunyai jiwa pemaaf. 

Fitri bisa diartikan jalan atau agama. Jalan untuk tidak merasa istimewa adalah jalan yang yang relate dengan keseharian kita. Kalau mekanisme pertahanan diri kita sangat mampu berpuasa penuh satu bulan namun rapuh menghadapi sindrom lanyard dan iphone, maka kita sepertinya harus memperpanjang puasa kita.

Baca Juga  Membaca dan Menulis: Seni Melatih Kesabaran

Lebaran jelas istimewa. Lebaran bukan cuma waspada kebablasan makan opor bersantan dan ngemil manis di tengah gempuran kuliner. Bukan hanya tubuh yang menuntut sehat. Jiwa pun membutuhkan afiat, dengan membiasakan diri menjauh dari sikap merasa istimewa. Soal penampilan fisik dan pencapaian kemakmuran yang yang terlihat, bolehlah kita ucapkan bodo amat.

Tanpa iphone dan lanyard, rayakan lebaran dengan bodo amat. Nikmati lebaran dengan happy, karena bisa ngopi pagi lagi. Kegembiraan harusnya tak lenyap, hanya gegara di genggaman kita tak ada iphone dan tak berkalung lanyard. Kalau tidak, bisa-bisa seperti mayat, yang dikanibal perasaan kita sendiri. Dan ingat, lebaran atau hari-hari sesudahnya jebakan itu masih terus mengancam.

Itulah pentingnya melanjutkan puasa lagi. Puasa dari merasa diri kita istimewa. Barangkali menjadi puasa sepanjang hidup kita.

Bagikan
Post a Comment