f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kucing

Belajar Keimanan dari Kucing

Saya punya seekor kucing kampung jantan, Monji namanya. Kelakuannya di luar nalar memang, hobi membangunkan saya di jam-jam paling krusial. Kucing sederhana yang hanya seekor, kucing sehat yang paling sakit di antara saudara-saudaranya.

Saya tidak bercanda, di antara enam bersaudara, Monji adalah kucing paling sakit. Kakinya sering bergetar seperti kena gempa lokal, matanya agak berkabut satu. Belum lagi karena gempa lokalnya itu Monji tidak bisa berlari dengan benar, kerap kali dia menabrak apapun barang yang tergeletak di lantai rumah.

Ya, Monji awalnya tidak sendirian. Ada tujuh kucing di rumah saya, satu maminya Monji yang sekarang entah di mana. Enam lainnya adalah saudara Monji yang beberapa saya berikan kepada orang yang mau memelihara, dan beberapa yang lain telah meninggal dunia.

Keputusan memberikan kucing ke orang lain adalah keputusan yang tidak mudah, mengingat keluarga saya di kampung juga punya banyak kucing. Jadi, ketika mami Monji melahirkan enam anak kucing di benak saya adalah saya mampu untuk memelihara kucing-kucing ini. Toh, Ibu saya dulu mampu melakukannya.

Heem, ternyata saya terlalu jumawa saudara-saudara. Monji lahir di saat pandemi, di saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Saya yang awalnya optimis menjadi pesimis. Hal ini sederhana karena saya tidak terpikir bahwa tujuh kucing, akan membuat saya begitu kerepotan untuk selalu membuang pasir tempat buang air. Saya harus memastikan bersihnya halaman, dan yang terpenting menghindarkan kotoran-kotoran itu mencemari rumah. Dan jangan ditanya untuk mensukseskan gerakan buang air di pasir ini, kantong saya kembang kempis dibuatnya.

Akhirnya, saya merasakan ternyata memelihara hewan di kota dan di desa benar-benar berbeda. Di desa, karena memiliki halaman yang cukup luas saya bisa melepaskan kucing saya di halaman. Mereka akan buang air di sana, halaman tidak berbau karena cukup luas dan kucing-kucing pintar menyembunyikan kotoran mereka.

Baca Juga  Hayati dan Biola Kesayangannya (2)

Lain halnya di kota, tinggal di rumah kontrakan yang berdempetan dengan tetangga membuat saya begitu memperhatikan kebersihan. Saya tidak ingin mendengar ada komplain dari tetangga terkait kotoran kucing saya. Walhasil, saya kerja rodi untuk membersihkan kotoran tujuh ekor anabul setiap harinya.

Di situlah saya yang memang tidak pernah kepikiran soal kotoran kucing menyadari, ternyata saya miskin. Saya papa, tidak punya apa-apa. Sekelas untuk memberikan tempat buang air kucing saya saja mengeluh. Lemahnya diri saya sebagai mahluk Allah begitu kentara saya rasakan.

Selain itu, perkara pakan juga menyita perhatian saya. Jika di kampung kucing kami makan ikan dengan nasi campur. Di kota saya tidak bisa menyediakan menu yang sama. Saya terpaksa memberikan pakan kucing kering, mengingat suami saya tidak suka ikan. Hal ini juga yang membuat saya berkali-kali mikir ternyata memberi makan tujuh ekor kucing saja sudah begini lelahnya. Apalagi Allah yang mengurus semua makhluknya tanpa terkecuali?

Ya, saya makhluk fana ini akhirnya menyadari, betapa Allah yang memiliki bumi alam raya ini yang paling kaya. Dari bumi, kita difasilitasi untuk memiliki tempat bernaung dan tinggal. Kita juga memiliki tempat untuk menyembunyikan hal yang dianggap hina. Belum lagi, dari bumi ini juga kita diizinkan untuk makan dan minum dari apa yang tumbuh di atasnya.

**

Ngomong-ngomong Monji dulu pernah mendapat sebuah insiden. Dia pernah berada dalam kondisi di mana saya hampir menyerah karena Monji begitu lemas. Di antara semua anak kucing yang ada, Monji paling kesulitan berjalan dan mendadak di hari itu badannya lemas tak mau makan.

Saya menangis sejadi-jadinya. Saya berusaha menyuapkan makanan dan menyusukannya pada induknya. Dalam hati saya berdoa pada Allah, saya ikhlas jika pada akhirnya Monji harus menghadap pada Engkau. Malam, berlalu begitu lama dan saya hanya bisa memandangi Monji dari dalam kamar. Ajaib, keesokan harinya Monji sehat kembali.

Baca Juga  Kucing Kecil dan Kebahagiaan

Ya, begitulah kehidupan, tidak ada yang bisa kita perkirakan dengan akal. Ada hal-hal yang luar biasa yang Allah jadikan sebagai bentuk untuk menunjukkan kekuasaan. Soal nyawa, dan kesehatan adalah milik Allah semata.

Kita sebagai makhluk tidak bisa memprediksi mengenai umur. Monji yang sakit-sakitan, bahkan saya anggap mungkin tidak berumur panjang ternyata sehat wal afiat. Meskipun sering menabrak tembok dan barang-barang dia tetap lincah bergerak mengejar nyamuk dan cicak.

Ya, begitulah Allah bekerja tiada yang tahu. Jadi, bagi teman-teman pembaca yang mungkin sedang sakit. Jangan sedih dan putus asa, terus berikhtiar. Jadikan sakitmu sebagai cara Allah membersihkan dirimu dari dosa yang melekat di badan.

Jadikan sakit sebagai bentuk kita menguji tingkat keimanan dan ketakwaan. Kita harus berpasrah pada Allah, sembari terus berikhtiar. Kita mencari pengobatan yang baik, dan tidak lupa makan makanan yang halal dan thoyib. Semoga Allah, sembuhkan dan panjangkan umur teman-teman yang sedang sakit, aaamiiin.

Bagikan
Post a Comment