f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
baik

Asal Kita Baik, Cukupkah ?

“Deg,” kaget.  Itu yang saya rasakan ketika mendengar bungsu saya-yang baru pulang main-tiba-tiba menyanyikan lagu dewasa.  Bukan hanya karena lagu dewasa yang bikin saya kaget.  Namun kata-katanya yang tidak baik bahkan cenderung vulgar, membuat saya pusing mendengarnya.  Apalagi ketika saya tegur, dia malah mengulang-ulangnya seperti kaset yang diputar berulang.

Kemudian saya mencoba untuk memberikan penjelasan padanya, bahwa apa yang dia nyanyikan tidak baik untuk diucapkan.  Sejenak dia berhenti.  Akan tetapi pada kesempatan lain ia reflek menyanyikannya lagi.  Lagi-lagi saya harus mengingatkannya.  Menghilangkan lagu tersebut dari memorinya terasa sangat sulit.  Mudah sekali menempel.  Hanya beberapa saat pergi bermain, otomatis hafal, dan ketika sudah hafal susah untuk menghilangkannya.

Saya mengeluh.  Kenapa untuk hafalan surat-surat pendek, saya harus mengulangnya berkali-kali agar dia hafal.  Me-murojaah-nya berkali-kali agar dia tidak lupa.  Saya harus berusaha ekstra keras untuk itu.  Tetapi untuk lagu dengan lirik vulgar ini, bungsu saya yang saat itu belum genap lima tahun mudah sekali menghafalnya?

***

Ketika sudah hadir anak-anak dalam rumah tangga kami, kami mensyukuri dan berupaya untuk menjaganya. Ingin sekali kami mendidik anak-anak dengan ketaatan kepada Allah, Sang Maha Pengatur. 

Kepada anak-anak kami yang masih berusia balita, kami membiasakan hal-hal yang baik.  Misalnya senantiasa berdoa sebelum makan; setelah makan; sebelum tidur; setelah bangun tidur; pada semua aktivitas yang lain.  Sebisa mungkin kami ajarkan doanya, ya minimal mereka mengucap basmallah ketika memulainya dan mengucap hamdalah saat mengakhirinya.  Kami juga mengupayakan dengan hafalan surat-surat dalam Alquran.  Melancarkan dengan membiasakan memutar murotal.

Tidak berhenti sampai disini, dalam perbuatan sehari-hari pun sebisa mungkin kami menjaganya.  Saat berkata-kata misalnya, kami berikan contoh mengatakan sesuatu yang baik-baik.  Jika ada diantara mereka yang berkata tidak baik, kami segera mengingatkan dan membenarkan.  Hal itu berjalan lancar, alhamdulillah.

Baca Juga  Mendongeng atau Berkisah?

Permasalahan bermula saat anak-anak sudah mulai mengenal dunia luar rumah.  Mereka mempunyai teman; suka bermain dengan temannya; berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.  Ucapan dan tingkah laku yang kami jaga, terasa ada yang mengoyak.

Hal Negatif Mendominasi Hal Positif?

Sesuatu yang terulang akan mudah sekali anak-anak hafalkan.  Sesuatu yang terasa asing dan mengasyikkan akan mudah sekali masuk menjadi memori.  Kemudian dihafalkan dengan dilafazkan.  Apalagi setelah mendapat teguran, anak akan semakin penasaran.

Kejadian pada bungsu saya di atas menggambarkan bias negatif (negativity bias) yang tertanam dalam otak. Bias negatif adalah kecenderungan bagi sesuatu yang negatif untuk nyangkut di pikiran kita daripada sesuatu yang positif.

Meskipun proporsi objek positif lebih besar daripada objek negatif, hal-hal yang negatif cenderung tetap mendominasi apa yang manusia rasakan.

Mengutip dari Psychology Today, John Cacioppo melakukan sebuah studi dengan menunjukkan gambar-gambar tertentu ke sekelompok orang. Gambar-gambarnya yaitu yang dikenal membangkitkan perasaan positif (seperti piza atau mobil mewah), gambar-gambar yang membangkitkan perasaan negatif (seperti wajah yang dimutilasi atau kucing mati), serta gambar-gambar netral (seperti piring atau pengering rambut).

Pada saat yang sama, John Cacioppo merekam aktivitas elektrik di korteks serebral otak yang mencerminkan besarnya pemrosesan informasi yang terjadi.

Lalu dia menunjukkan bahwa otak rupanya bereaksi lebih kuat terhadap rangsangan yang bersifat negatif. Ada lonjakan yang lebih besar dalam aktivitas listrik. Inilah yang membuat hal buruk lebih banyak mempengaruhi sikap kita daripada hal baik.

Selain itu, melansir dari Psycom, emosi negatif membangkitkan amigdala, struktur otak berbentuk almond yang disebut sebagai “lonceng alarm otak”.

Psikolog Rick Hansen, pendiri Wellspring Institute for Neuroscience and Contemplative Wisdom, menyebut, amigdala menggunakan sekitar dua pertiga neuronnya untuk mencari berita buruk.
“Begitu alarm berbunyi, peristiwa dan pengalaman negatif dengan cepat disimpan dalam memori. Berbeda dengan peristiwa dan pengalaman positif, yang biasanya perlu disadari selama belasan atau lebih detik untuk ditransfer dari memori jangka pendek ke jangka panjang penyimpanan.”ujarnya.

Baca Juga  Mubadalah Istilah Al Ummu Madrasatul Ula

Tidak Cukup Asal Kita baik

Selama ini banyak orang yang berpendapat, asal kita baik.  Atau kadang tercetus mudah-mudahan kita sekeluarga menjadi orang yang saleh.  Semua itu kita cita-citakan karena berharap keluarga kita terhindar dari bahaya dan dosa.  Juga agar keluarga kita menjadi orang-orang yang saleh. 

Namun cukupkah yang demikian? Contoh di atas salah satunya.  Ketika anak kita lingkupi dengan pelajaran kebaikan di rumah.  Pembiasaan-pembiasaan yang tidak melanggar syariat.  Ternyata tidak menjamin mulus akan menjadi baik dalam perjalanan waktunya.  Begitu mereka sudah berinteraksi dengan orang lain, maka mulai muncul masalah. 

Mereka mendapati hal-hal baru yang tidak mereka temukan di dalam keluarga.  Sesuatu yang berbeda.  Bisa jadi yang berbeda itu baik, namun tidak sedikit yang berbeda itu sesuatu yang buruk.  Baik itu di hadapan syariat maupun norma kepantasan.  Lalu bagaimana seharusnya?  Kalau begitu, tidak cukupkah untuk membuat anak dan keluarga kita baik.  Sementara orang lain?

Iskam mengajarkan kita untuk berdakwah amar makruf nahi mungkar.  Menyeru kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar.  Kepada siapa?  Kepada semua orang.  Tidak terbatas hanya pada diri sendiri dan keluarga kita saja.  Tetapi kepada semua orang. 

Biarlah

Kata ini sudah tidak bisa ditolerir lagi.  Demikian juga, asal kita baik, asal keluarga kita baik.  Kenapa?  Karena tidak mungkin keluarga kita tidak akan berinteraksi dengan orang lain.  Sebagai makhluk sosial kita senantiasa akan membutuhkan orang lain. 

Membentengi diri sangatlah penting, termasuk pada anak-anak dan keluarga kita.  Mereka harus kita persiapkan menjadi pribadi-pribadi tangguh. Tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan.  Bahkan seharusnya bisa mempengaruhi dengan hal baik yang kita miliki. 

Baca Juga  Seni Berkomunikasi dengan Anak

Ketangguhan pribadi ini adalah tanggungjawab kita sebagai orangtua.  Ketangguhan pribadi hanya bisa terbentuk jika ada koherensi antara dalam keluarga dengan lingkungan.  Anak akan menjadi tangguh ketika dibekali dengan bekal yang cukup di dalam keluarga.  Berupa pemahaman tentang aturan Sang Maha Pencipta, juga tentang ketundukannya. 

Kemudian ketika berinteraksi dengan lingkungannya, anak mempunyai daya saring.  Dengan bekal dari keluarga tadi menjadi daya saring ketika berinteraksi dengan orang lain.  Tentunya ini akan berkorelasi dengan umur dan penanaman oleh orangtua.  Sehingga anak mampu menyaring mana yang baik mana yang tidak baik. Jika itu baik, ia akan setuju, atau bergabung dalam kegiatannya.  Namun jika tidak baik, ia akan menghindar.  Tidak cukup hanya menghindar, tapi berani menyatakan pendapat dan membenarkannya.  Inilah aktivitas kaum muslim, tidak hanya baik untuk diri saja, namun harus membawa kebaikan untuk lingkungannya juga.  Sehingga benarlah guarauan ‘surga tak akan kita huni sendiri.  Sepi.’

Bagikan
Post a Comment