f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kamus

Tentang Kamus yang Tak Ramah pada Perempuan

Oleh : Achmad Santoso*

Magdalena pernah menerbitkan tulisan berjudul 9 Kata untuk Perempuan, 1 Kata untuk Laki-Laki pada 23 Juli 2018. Tulisan itu tak lain membahas ihwal sembilan kata dalam kamus untuk mendefinisikan (maaf) perempuan nakal dan hanya satu kata untuk menggambarkan laki-laki nakal. Sembilan kata yang terekam dalam tulisan tersebut adalah pelacur, wanita tunasusila, sundal, lonte, jobong, jalang, cabo, munci, dan gundik. Sementara itu, laki-laki terwakilkan oleh satu kata saja: gigolo.

Bukan hanya itu. Bahkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring terbaru juga memasukkan frasa perempuan nakal sebagai satu entri, yang artinya perempuan (wanita) tunasusila; pelacur; sundal. Di sinilah letak ”ketidakadilan” kamus karena secara bersamaan, ketika ditik frasa laki-laki/pria nakal, hasilnya ”entri tidak ditemukan”.

Kamus Bias Gender

Dari situ saja tentu banyak yang menengarai bahwa kamus sudah bias gender. Kalangan feminis, terutama, juga mengkritik sikap yang kian ”mengafirmasi” stereotip yang berlaku di masyarakat bahwa perempuan lebih dipersalahkan daripada laki-laki dalam sebuah perbuatan terlarang. Pengalaman-pengalaman memang telah membentuk struktur konseptual yang kita miliki sebagai pengguna bahasa. Tidak heran jika sebuah kata memiliki makna yang lebih negatif daripada kata lainnya. Dalam hal ini, kamus Rempun tak luput dari doktrin patriarki dan misogini. Mengutamakan laki-laki sekaligus ”membenci” perempuan.

Dan, makin getirlah ketika mengetik perempuan, frasa yang muncul setelahnya adalah: perempuan geladak, perempuan jahat, perempuan jalanan, perempuan jalang, perempuan jangak, perempuan lacur, perempuan lecah, dan perempuan simpanan (juga perempuan nakal tadi). Semuanya mengacu pada perbuatan lucah. Ironisnya, ketika memasukkan lema pria, frasa yang muncul adalah, ya, pria idaman: laki-laki dewasa yang dijadikan dambaan oleh wanita. Pun tatkala mengetik laki-laki, terbuhul frasa laki-laki jemputan, yaitu laki-laki yang dipilih dan diambil menjadi menantu. Bertolak belakang!

Baca Juga  Literasi Indonesia, Menyedihkan

Tesamoko (2016) karangan Eko Endarmoko malah memuat senarai kata yang lebih melimpah untuk perempuan nakal. Pelacur, sundal, wanita tunasusila, cabo, jobong, munci, perempuan jalang, lonte, gendak, gula-gula, istri gelap/piaraan, nyai, selir, perempuan geladak. Bertambah lima kata sehingga menjadi 14 kata yang memiliki persamaan atau pertautan makna dengan perempuan nakal.

Artinya, di samping sembilan kata tadi, Tesamoko mencatat lema serupa, antara lain gendak, gula-gula, istri gelap/piaraan, nyai, dan selir. Di kamus edisi termutakhir, lema-lema itu juga sudah terwadahi.

Pelacur, misalnya, hanya dimaknai sebagai perempuan yang melacur. Melacur berarti berbuat lacur (buruk) atau melakukan hubungan seksual demi imbangan uang dan hal lain. Melacur tentu bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa bias gender. Akan tetapi, ketika dibentuk nomina menjadi pelacur, kenapa bertendensi pada perempuan yang melacur? Tidak umumkah laki-laki yang melacur sehingga kamus tidak memasukkannya sebagai definisi?

Tugas kamus adalah merekam dan mendokumentasikan apa yang terserak di masyarakat. Maka, ada pula istilah yang dipungut langsung dari bahasa daerah, yaitu kata selir dari Jawa dan cabo asal Jakarta. Artinya, pemakai bahasa daerah pun memiliki kata tersendiri untuk menerjemahkan ”perempuan nakal”. Nyai yang sebetulnya bermakna bagus pun (panggilan untuk perempuan yang usianya lebih tua daripada orang yang memanggil; gelar jabatan untuk putri di keraton) ternyata memiliki makna lain yang jelek yang tergolong pada perempuan nakal tadi, yaitu gundik orang asing. Seperti figur Nyai Ontosoroh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia. Padahal, betapa bermartabatnya pula kata itu tatkala melekat pada, misalnya, Nyai Ahmad Dahlan.

Contoh lain adalah ayam kampus. Kiasan ini dimaknai sebagai mahasiswi yang merangkap sebagai pelacur. Kita yang pernah menjadi mahasiswa/i tidak bisa berbohong bahwa olok-olok ayam kampus memang mengacu pada mahasiswi. Kalau mahasiswa yang melacur? Tidak ada sebutannya!

Baca Juga  Hadist Ini Perbandingan Akal Laki-laki dan Perempuan ?

Bahasa  untuk Laki-Laki

Hanya ada satu kata untuk laki-laki nakal yang terkesan ”kasar”: gigolo. Di luar itu hanya terdapat bahasa kiasan. Hidung belang dimaknai sebagai laki-laki yang gemar mempermainkan perempuan. Jika ditilik dari sejarahnya, kata Remy Silado dalam tulisan Setali Tiga Uang: Hidung Belang dan Mata Keranjang (2001), istilah hidung belang lahir pada abad ke-17 di awal pendirian VOC. Suatu hari, perwira pengawal gubernur Belanda kedapatan melakukan zina dengan seorang perempuan. Si laki-laki ini digantung di tengah kota dengan lebih dulu dicorengi/dibelangi hidungnya.

Ada istilah lain yang mewakili laki-laki nakal, yaitu mata keranjang. Di KBBI, mata keranjang dimaknai lebih halus, yaitu sifat selalu merasa berahi apabila melihat lawan jenisnya; sangat suka pada perempuan. Menurut Remy, masih dalam tulisan yang sama, seharusnya kita menulis mata ke ranjang (dipisah). Akan tetapi, sang munsyi mendefinisikan sebagai lelaki atau perempuan yang tergiur melihat dengan mata pada lawan jenisnya, lantas pikirannya tertuju ke atas ranjang. Ya, menurut Alif Danya Munsyi, nama lainnya, sikap mata ke ranjang (keranjang) bisa dimiliki laki-laki dan perempuan sekaligus.

Bahkan, untuk mata keranjang yang di alam pikiran kita, sedari dulu, hanya berasosiasi pada laki-laki, ternyata ada yang memaknainya dengan perempuan pula. Apabila sang munsyi saja dapat memaknai mata ke ranjang (keranjang) untuk perempuan, KBBI sebetulnya sangat bisa memaknai pelacur sebagai seseorang yang berbuat lacur, perempuan ataupun laki-laki.

Rekomendasi

Berbeda dengan bahasa Arab, Jerman, maupun Spanyol, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang memiliki perbedaan jenis kelamin pada sistem struktur internalnya. Tidak ada konsep feminin dan maskulin. Oleh karena itu, ketika kamus kita memungut kata-kata yang berlaku di masyarakat dan memaknainya begitu saja dengan menyudutkan perempuan, semakin berurat akarlah stereotip bias gender itu. Sebab, kamus turut ”melembagakan”.

Baca Juga  Cantik Hati, Pikiran dan Tindakan

Agar kamus serasa lebih ”adil” dan tidak bias gender, seturut dengan perkembangan pemikiran dewasa ini, pekamus perlu memperbaiki beberapa hal. Pertama, menganulir frasa-frasa yang dibakukan kamus seperti perempuan geladak, perempuan jalanan, perempuan jalang, perempuan lacur, dan perempuan lecah. Kalaupun tidak bisa, entrinya dikurangi. Kemudian, dimasukkan lema-lema yang bernuansa positif untuk mengimbangi.

Kedua, khususnya pelacur, definisi kata tersebut mesti dibuat lebih umum. Tidak langsung menghunjam pada perempuan. Misalnya, seseorang yang berbuat lacur. Ketiga, entri untuk pria atau laki-laki yang terekam kamus seperti pria idaman bikin iri karena di sisi lain tak ada wanita/perempuan. Karena itu, sebaiknya juga ada perempuan/wanita idaman yang bermakna dambaan para pria. Tampaknya memang perlu lebih banyak pekamus maupun ahli bahasa dari kalangan kaum hawa agar makna sebuah kata berikut maknanya tidak tendensius.

*)Achmad Santoso adalah Editor Jawa Pos, Pegiat JIMM

Bagikan
Post a Comment