f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
terapi

Anakku Terlambat Bicara dan Didiagnosa Gangguan Bahasa

Di tempat terapi anak saya, ada anak baru, entah apa diagnosanya. Dia tidak mau terapi, berontak hendak keluar ruangan, menangis kencang sambil menjerit-jerit. Saya hanya sepintas saja melihat mamanya, saya tidak mau melihat lama. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan sang mama, karena saya juga pernah di posisi itu.

Anak saya yang paling kecil, bicaranya belum lancar, huruf konotasi yang dia bisa sebutkan sangat terbatas, lebih banyak huruf vokal. Terbayang seperti apa bicaranya anak saya?

Pada waktu umur 3 tahun (kelas Play Group) saya sampaikan ke suami bahwa si kecil sepertinya perlu terapi bicara karena kosa kata yang bisa ia sebutkan dengan benar hanya sedikit. Tapi suami tidak setuju, dia mempunya keyakinan bahwa ini hanya masalah waktu, sama seperti keponakannya yang tanpa terapi  pada akhirnya bisa bicara dengan jelas.

Setahun kemudian, si kecil masuk Taman Kanak-kanak dan kemampuan bicaranya belum ada kemajuan yang berarti. Pelajaran mulai tertinggal, apalagi sedang pandemi dan sekolah berlangsung secara online, makin hari makin tertinggal. Tugas sekolah membaca atau menyanyi sudah pasti tidak mengumpulkan. Saya sampaikan ulang ide terapi ke suami. Suami masih juga belum setuju hingga akhirnya saya membuat pernyataan ke suami bahwa jika sampai umur 5 tahun si kecil masih juga belum bisa bicara dengan benar, saya akan resign dan fokus mengatasi kemampuan bicara si kecil. Akhirnya suami setuju untuk mulai memeriksakan si kecil.

***

Setengah tahun kemudian, dengan bantuan pihak sekolah bekerja sama dengan UPT Resouces Diknas kota setempat, mulai ada pemeriksaan terhadap si kecil. Pihak UPT menyarankan agar si kecil periksa ke dokter anak. Hasil pemeriksaan dokter anak, secara fisik tidak ada masalah, mendapat rujukan untuk tes pendengaran. Hasil tes pendengaran juga baik dan normal. Dokter anak menyarankan untuk sering-sering mengajak si kecil bicara, jika memungkinkan, lebih baik ikut terapi bicara.

Baca Juga  Bermain Tarik Ulur dengan Keinginan Anak

Saat umur si kecil 5 tahun, saya resign dari pekerjaan. Kami mulai mencari tempat terapi yang dari segi lokasi dan biaya cukup terjangkau. Setelah kami menemukan, kami (saya dan si kecil) mulai menjalani proses pemeriksaan terlebih dahulu. Saya ditanyai tentang beberapa hal kemudian diminta mengisi semacam kuesioner berlembar-lembar tentang proses tumbuh kembang si kecil semenjak dari kandungan hingga sekarang. Sedangkan si kecil, di ruang yang berbeda, dilakukan pemeriksaan juga tentang hal yang sama, diminta untuk melakukan gerakan-gerakan, menulis, menggambar, dan berbicara.

Beberapa hari kemudian, kami diminta datang kembali untuk dijelaskan mengenai hasil pemeriksaannya. Secara ringkas, hasil pemeriksaannya adalah si kecil mengalami gangguan pada aspek sensori dan motorik. Baik motorik halus maupun kasar, serta dalam hal kemampuan bahasa ekspresif (apa yang ia mampu ekspresikan). Kemampuan 3 hal tersebut masih di usia 3 – 4 tahun.

***

Beberapa kegiatan yang melibatkan gerakan dan koordinasi tangan dan kaki si kecil dinyatakan belum berkembang optimal sesuai umurnya. Misalnya melempar bola belum terarah, belum berani bermain prosotan, belum bisa berdiri dengan satu kaki lebih dari 10 detik. Si kecil belum bisa duduk tenang, belum bisa menggunting dengan baik dan benar. Belum bisa membuka dan memasang kancing, membuat benda-benda dari plastisin juga masih harus dengan bantuan.

Kemampuan sensori dan motorik yang terlambat ini mengakibatkan kemampuan bicara si kecil ikut terlambat. Karena proses tumbuh kembang anak-anak itu saling terkait satu dengan yang lain. Jika terhambat di satu fase, maka proses di fase berikutnya menjadi terhambat juga. Melihat hasil pemeriksaan itu, akhirnya kami sepakat untuk mengikutkan si kecil program terapi okupasi (aspek sensori motorik) dan terapi wicara.

Baca Juga  Tips Tanamkan Gemar Selawat pada Anak

Bulan pertama terapi, si kecil tidak bersedia. Di sepanjang perjalanan menuju tempat terapi, si kecil selalu berkata “Mama, perut Tabita sakit.” “Mama, ini kemana? Tabita tidak mau ke sana.” “Ma, Tabita kan masih sakit (batuk dan pilek), Tabita pulang saja.” Kadang saya diam, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Kadang saya sampaikan bahwa di sana itu bermain.

***

Pernah satu kali, waktu itu dia sedang sakit batuk pilek, saya sampai harus meminggirkan mobil untuk berhenti melihat kondisinya. Saya sempat ragu dan bimbang, melanjutkan perjalanan atau kembali pulang. Satu sisi kasihan karena dia sedang sakit dan merengek keberatan ikut terapi, tapi di sisi lain, dia harus menjalani proses terapi. Sampai di tempat terapi, dia tidak sampai menangis apalagi berontak, tapi tampak jelas dia tidak semangat. Ketika berpamitan pulang pun, dia juga enggan pamit ke terapisnya.

Situasi ini tidak mudah untuk saya hadapi. Terkadang saya sedih juga memaksakan sesuatu ke anak di mana anak merengek-rengek keberatan. Tapi saya terus memantapkan diri bahwa si kecil harus menjalani proses terapi ini. Saya ambil ilmunya dan terapkan di rumah. Karena terapi hanya 1 jam x 3 hari dalam satu minggu selebihnya si kecil di rumah bersama saya.

Saya berusaha membuat si kecil nyaman di perjalanan menuju ke tempat terapi. Memecah lamunannya dan mengalihkan rengekannya dengan mengajaknya ngobrol tentang hal-hal yang kami lihat di perjalanan. Mengajaknya bercanda. Bertanya tentang ini dan itu supaya dia tidak sempat melamun dan tidak merengek.

***

Puji syukur, terapisnya sabar, ramah dan menyenangkan. Makin hari makin banyak hal yang si kecil pelajari. Sehingga sekarang memasuki bulan kedua, si kecil sudah tidak pernah merengek keberatan, sudah bersedia berpamitan ke terapisnya, malah mengajak bercanda si terapis. Sepanjang perjalanan berangkat dan pulang dia sudah baik-baik saja, bahkan sangat ceria.

Baca Juga  Empat Cara Belajar Mengaji yang Aman untuk Anak-anak

Proses memulai terkadang tidak mudah. Terkadang saya masih menoleh ke belakang. “Andai aku jadi resign 2 tahun lalu.” “Andai si kecil mulai terapi dari dulu.” “Andai… .”

Saya berusaha segera bangun dari andai-andai itu dan men-switch perasaan sesal menjadi optimis, bahwa kami (saya dan si kecil) pasti bisa dan berhasil melewati proses ini.

Saya tidak mau meremehkan keterlambatan bicara anak saya, juga tidak mau kalah dengan rasa iba  ketika dia merengek keberatan. Jika saya menuruti pikiran meremehkan dan rasa iba, mungkin baik pada saat itu tapi kurang baik untuk masa depan si kecil.

Sebagai seorang ibu, seringkali harus memantapkan diri, mengeraskan hati, memurnikan pikiran dalam menghadapi kendala anak dan dalam menjalani proses mengatasi kendala itu. Karena tujuan akhir dari semua itu adalah demi kemajuan dan kesuksesan anak di masa yang akan datang.

Bagikan
Post a Comment