f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
tumbuh kembang adik

Tumbuh Kembang Anak Bukan Cuma Urusan Mama

“Bu, maaf, apa berat adiknya tidak naik dari bulan lalu ya?”

Ibu yang saya ajak bicara itu tampak kerepotan menenangkan anaknya yang berlari kesana kemari. “Oh iya dok, ya ampun susah dok bikin adik makan. Sudah dicoba pakai susu, anaknya nggak mau, sudah saya suapin sambil kejar-kejaran, juga nggak mau.”

Saya kemudian disentil Bu Bidan yang duduk persis di samping saya. “Oh iya dok, ini yang kemarin sakit. Gimana Bu? Sudah sembuh?”

Percakapan pun berlanjut, dari cerita tersebut, tampak sang ibu kini sedang stres. Anaknya baru saja sakit, beberapa bulan ini anaknya juga susah makan, ditambah berat badannya tidak bertambah satu bulan ke belakang.  Wajahnya tampak kebingungan, ada raut malu bertengger di sana. 

Kini dia juga takut anaknya tidak bisa mengikuti perkembangan anak-anak lain seusianya. Apa dia tega anaknya tidak bisa tumbuh tinggi, sehat, dan pintar seperti anak lainnya?

Sebagai satu-satunya laki-laki di kerumunan puluhan balita dan ibu-ibu di Posyandu tersebut, saya merasa ada batu seberat dua kilo menghantam pelipis saya. Setelah batunya jatuh, seolah ada mulut mungil menganga di sana.

“Halo dok, ayah dari anak-anak yang tadi Anda periksa, sama sekali tidak ada yang datang ke sini lo. Apa tanggung jawab mengantar dan memeriksakan buah hati cuma ada di pundak ibu?”

***

Pun memang begitu yang terjadi ketika saya ikut kunjungan Posyandu di cakupan Puskesmas tempat saya bertugas. Dari satu kunjungan yang diikuti tujuh puluh lebih balita, sama sekali tidak ada bapak-bapak yang ikut, semuanya didampingi ibu, sebagian ada yang didampingi nenek. 

Padahal, ada hal-hal penting yang bisa menjadi poin tambah jika ada sosok bapak yang ikut ke Posyandu. Begini, coba saya uraikan. 

Baca Juga  PMS; Si Syndrome yang Dibenci Perempuan

Pertama, ketika ada anak yang bermasalah dengan tinggi dan beratnya, tenaga medis yang bertugas jelas menerangkan banyak hal untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya jika balita tersebut masih kurang berat atau tingginya menurut umur, tenaga medis pasti mulutnya bakal berbusa-busa menjelaskan langkah-langkah yang patut dicoba untuk mengusahakan kenaikan berat badannya. 

Ibu-ibu yang datang belum tentu memiliki ingatan yang cukup untuk menangkap semua kata-kata tenaga medis. Coba jika ada dua orang yang mendengarkan, masing-masing akan melengkapi kekurangan ingatan masing-masing. 

Kedua, jika masalah terletak pada perkembangan, yang berperan untuk mengatasi masalahnya bukan cuma di ibu saja, karena perkembangan anak merupakan sesuatu yang kompleks. Misalnya, jika anak terlambat dalam perkembangan bicara, tenaga medis pasti menyarankan supaya anak tersebut harus lebih sering lagi diajak bicara oleh semua orang yang ada di rumah, ditambah saran supaya anak tersebut mengurangi melihat media yang komunikasinya searah seperti gadget dan televisi. 

Kondisi yang ideal tersebut tentu tidak bisa tercapai jika tidak ada persetujuan kepala keluarga di dalamnya. Sudah susah-susah ibu-ibu untuk mematikan televisi dan menjauhkan anak dari gadget, eh ayahnya malah dengan enak menyalakan televisi dan memberikan gadget secara cuma-cuma. 

Terlebih, jika ibu tidak mampu meneruskan pesan tenaga medis kepada suaminya supaya ikut cerewet, perkembangan bicara anak pun kini juga terancam belum bisa maksimal. Bukankah lebih optimal jika ayah ikut mendengarkan kicauan tenaga medis?

Ketiga, jika masalah sudah menyangkut adanya penyakit, mau tidak mau sosok ayah sebagai pengambil keputusan harus ada di sana.

Coba saya ceritakan satu kisah yang betul terjadi. 

Sudah pada giliran anak kesekian belas, tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya di balik jarik. 

Baca Juga  Melawan Stroke dalam Perspektif Islam

“Maaf Ibu, berat anaknya kok masih sama ya?” Saya dengan pelan dan hati-hati coba bertanya, supaya tidak terkesan menyinggung. 

“Iya dok, ini sedang batuk dok, sudah satu bulan. Ini juga sudah saya bawa ke spesialis anak. Sekarang masih pengobatan hari ke tiga dok, kalau tidak sembuh saya disuruh kembali lagi.”

Saya menengok anak di balik gendongan. Wajah saya ikut kusut. Anak tersebut tampak kurus, lemah, sesekali batuk, dan rambutnya tipis kemerahan. Tidak perlu pemeriksaan lebih jauh, saya sudah curiga anak tersebut sedang menderita satu infeksi kronis dan kurang gizi. 

Bu Bidan yang masih duduk di samping saya pun langsung menyahut: “Bu, di sekitar rumah ada yang batuk-batuk lama?”

Ibu tersebut tampak berpikir sebentar, “Iya ada Bu, ada orang tua yang sudah batuk lama.”

“Apa dalam pengobatan?” Bu Bidan kembali bertanya.

“Kayaknya belum Bu.”

Saya dan Bu Bidan saling bertatap pandang sejenak. Kami dengan hati-hati bertanya dan mengkonfirmasi satu penyakit yang kami berdua sama-sama takut jika anak tersebut sampai menderitanya. Tuberkulosis. 

Bukannya apa, tetapi akan jauh lebih mudah jika ada sosok ayah di situ. Ibu tidak akan susah payah menceritakan kembali ketakutan-ketakutan tenaga medis yang disampaikan tadi. Sang ayah juga bisa lebih cepat bertindak menangani kondisi anaknya. Jika memungkinkan, sang ayah bisa langsung mengantarkan anak tersebut untuk menjalani tes lebih lanjut, serta segera menyisihkan biaya untuk keperluan pengobatan. 

Terkadang, jika hanya menjelaskan ke Ibu, mereka tidak bisa bergerak secepat harapan tenaga medis. Mengingat di Indonesia, keputusan di keluarga inti kebanyakan dipegang oleh laki-laki.

***

Entah, jika ditanya kapan angan-angan saya tadi bisa terjadi di Indonesia. Mayoritas bapak-bapak tampak beralasan bahwa mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga urusan anak bisa diserahkan sepenuhnya pada ibunya. 

Baca Juga  Terlalu Sayang Anak

Padahal tumbuh kembang anak adalah urusan kedua orang tua, bukan salah satu saja. Kurangnya berat badan maupun tinggi anak, apalagi kurangnya perkembangan anak, sama-sama merupakan tugas yang perlu diemban bersama. 

Hebat tidaknya anak di masa depan, merupakan pondasi yang dibangun kedua orang tua. Mengingat perkembangan anak terbagi menjadi empat aspek, yaitu gerak kasar, gerak halus, bicara bahasa, serta sosialisasi dan kemandirian. Saya sendiri juga tidak tega kalau beban ini cuma dibebankan kepada ibu saja. 

Kini saya juga takut, akibat menulis artikel ini, pasangan saya kelak menuntut saya selalu ada buat anak. Padahal saya juga sudah bersiap melancarkan alasan kalau saya sedang sibuk bekerja. 

Hmmm. 

***AtribusiDokter internship di RSU Aisyiah Ponorogo dan Puskesmas Jenangan Ponorogo.

Bagikan
Post a Comment