f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ulama perempuan

Menanti Kemunculan Ulama Perempuan Muhammadiyah-‘Aisyiyah

Sejak awal berdiri, ‘Aisyiyah dalam gerakannya sangat memperhatikan kondisi perempuan yang saat itu perannya terbatas dalam masyarakat. Salahsatu usulan dari KH. Ahmad Dahlan di tahun 1914 untuk membuat perkumpulan pengajian khusus perempuan, yang bernama Sopo Tresno (siapa sayang atau siapa cinta).

Di mana perkumpulan ini Siti Walidah (istri Ahmad Dahlan) mengajak para perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak hanya belajar pengetahuan umum namun juga pemahaman agama Islam. Masyarakat merespon baik dengan mengikuti perkumpulan ini. Sehingga dapat merangkul dari berbagai lapisan mulai dari buruh batik, buruh rumah tangga hingga majikan.

Tidak heran jika Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) dikenal sebagai sosok ulama perempuan yang sangat berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui pemikiran dan gerakannya dalam upaya mendidik perempuan berkemajuan sangat didukung penuh oleh banyak kerabat dan kalangan sekitar. Hingga perkembangan Sopo Tresno mulai pesat, yang kemudian diadakannya pertemuan khusus untuk membahas dan memutuskan untuk dijadikan sebuah organisasi. Dihadiri oleh KH Ahmad Dahlan bersamaan dengan enam kader perempuan yaitu Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah, Siti Badilah, serta yang turut hadir pula KH Fachrodin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo.

Pada akhirnya pertemuan tersebut di tahun 1917 menyepakati organisasi perempuan Muhammadiyah ini bernama ‘Aisyiyah. Atas usulan KH. Fachrodin yang terinspirasi dari figur Muhammad dan Aisyah dalam memperjuangkan dakwah Islam serta mampu berdampingan, begitu harapannya dengan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Maka secara historis, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sejak masa awal telah mendorong dan memberi ruang kepada para ulama perempuan untuk berkontribusi, menyumbangkan dan mengembangkan ilmu beserta gagasannya guna memajukan kehidupan bangsa.

Baca Juga  M. Muchlas Rowi : Optimasi Narasi Islam Berkemajuan adalah Sebuah Peluang
Siapa Ulama Perempuan?

Menurut perspektif KUPI, Ulama Perempuan yang maksud ialah orang-orang yang memiliki ilmu secara komprehensif, baik laki-laki ataupun perempuan yang berintegritas, mempunyai kepribadian mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘alamiin). Sehingga relasi yang dibangun memberikan kemaslahatan dengan terciptanya kesalingan yang harmonis, tentu dengan tujuan mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil beradab.

Dalam hal ini ulama perempuan bukan hanya yang bergender perempuan saja tetapi  yang memilih perspektif atau keberpihakan kepada perempuan. Karena secara konstruksi sosial istilah ulama seringkali diidentikkan dengan laki-laki. Maka imbuhan “perempuan” di belakangnya perlu dimunculkan dan disosialisasikan di dalam masyarakat. Penyebutan istilah “ulama perempuan” menjadi semacam reminder bagi memori kolektif kita bahwa sosok ulama tidak harus laki-laki.

Penulis rasa penggunaan ulama lebih dekat dengan lingkungan NU, demikian juga dengan Muhammadiyah mengakui perempuan memiliki kapasitas keulamaan. Mengutip Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 14, di mana ada usulan dari gagasan Aisyiyah Ponorogo sebagai praeadvies (prasaran) Kongres (Muktamar) Muhammadiyah ke-28 tahun 1939 di Medan.

Usulan sebagai berikut: “Berhubung di rapat Tarjih itu kadang-kadang ada masalah yang bersangkutan dengan rasa (perasaan) keputrian yang itu tidak dapat dikiaskan dengan perasaan kelaki-lakian maka perlu Aisyiyah memasuki Tarjih. Umpamanya tentang safarul mar’ah dan sebagainya yang telah berulang-ulang dibicarakan tetapi belum mendapat putusan juga. Boleh jadi sukarnya dalam pembicaraan itu karena ketiadaan bumbu yang mengalir dari gelora sukma yangtersangkut. Ialah si kaum putri.”

Betapa progresifnya Aisyiyah pada tahun 1939, yang mempunyai ide untuk terlibat aktif dalam perdebatan di Majelis Tarjih yang merupakan para ulama tingkat tinggi Muhammadiyah. Karena seringkali permasalahan hukum yang terkait dengan perempuan menjadi berlarut-larut. Pembahasan itu tidak bisa tuntas karena pembahasnya kurang tahu substansi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan. Bagaimanapun juga ada masalah perempuan yang tidak dimengerti apalagi dirasakan kaum laki-laki.

Baca Juga  Siti Chamamah Soeratno : Akar Historis Perempuan Berkemajuan

Hal ini mengingatkan penulis dengan Buku Nalar Kritis Muslimah karangan dari Nyai Rofiah, beliau menyatakan bahwa “Cara kita menyikapi pengalaman perempuan, baik secara biologis maupun sosial, akan menentukan keadilan jenis apa yang kita berikan pada perempuan. Jika kita fokus pada persamaan laki-lak dan perempuan dengan mengabaikan pengalaman perempua, maka keadilan yang muncul adalah keadilan legal, formal dan tekstual.”

Namun yang dirasakan penulis masih minim ulama perempuan muhammadiyah, sependek pengetahuannya adanya tokoh Siti Chamamah Soeratno dan Alimatul Qibtiyah, mereka ialah perempuan-perempuan Muhammadiyah sangat aktif terlibat dalam keputusan-keputusan Muhammadiyah. Kini kaderisasi ulama perempuan dapat dilakukan baik di pondok pesantren di mana Muhammadiyah memiliki 440 Pondok Pesantren. Atau amal usaha lainnya seperti Madrasah Mu’alimaat dan PUTM yang perlu menjadikan alumninya sebagai embrio ulama-ulama Muhammadiyah di berbagai tingkatan.

Oleh karenanya kita perlu menggalakkan kembali dalam rangka mengakui kehadiran ulama perempuan baik secara kualitas dan kuantitasnya. Karena pada akarnya Muhammadiyah-Aisyiyah telah memulai hal itu. Jadi siapa selanjutnya “Nyai” setelah Nyai Walidah?

Penulis
Abdul Ghofur [Ketua Umum PC IMM Kudus 2019/2020] dan Halwa Karimah Intansari [Ketua Umum PC IMM Kudus 2021/2022]

 
Bagikan
Post a Comment