f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan pkl

Perempuan PKL, Bertahan Hidup di Tengah Himpitan

Perempuan yang “kurang beruntung” seringkali harus menyambung hidup menjadi pedagang kaki lima (PKL). Minimnya akses pendidikan maupun akses lapangan kerja formal menjadi di antara penyebab mereka terpaksa menjadi PKL. Temuan Bastiana et.al., (2019) menunjukkan bahwa ada perempuan yang menyandang sarjana terpaksa menjadi PKL, artinya akses pendidikan tak selalu menjadi sebab wanita terjerat di sektor informal tersebut.

Urbanisasi tak selalu menyebabkan munculnya PKL Perempuan oleh adanya urbanisasi, tetapi juga sebagai konsekuensi dari minimnya pilihan sumber penghidupan. Pertumbuhan penduduk kota dan perluasan wilayah perkotaan menjadi pula sebab lain perempuan memilih menjadi PKL di tengah desakan penghidupan.

PKL Perempuan seperti PKL pada umumnya selalu berupaya mencari lokasi strategis dekat dengan bahu jalan, sehingga rentan menimbulkan kemacetan bagi pengguna jalan. Mereka tak diakui keberadaannya oleh pemerintah daerah disebabkan tak memiliki izin usaha dan menempati lokasi yang “tak sesuai peruntukannya.” Mereka harus siap berhadapan dengan sesama rakyat lainnya maupun pemerintah daerah. Namun mereka tetap nekat mengambil jalan tersebut untuk bertahan hidup.

Keberadaan mereka di lain sisi “dipuji” oleh sebagian kalangan disebabkan dianggap mampu “membuka lapangan kerja.” Buruh yang dipekerjakan biasanya masing memiliki hubungan keluarga dengan pengusaha maupun kenalan dari daerah yang sama. PKL yang mampu merekrut buruh adalah mereka yang telah memiliki omzet memadai, sehingga ingin meningkatkan kapasitas penjualannya.

Perempuan memilih menjadi PKL tak terlepas pula dari kondisi pasca krisis ekonomi 1998 yang memunculkan ledakan masalah berupa peningkatan jumlah pengangguran. Hal tersebut membuat mereka memilih menjadi para pedagang “dadakan” pada awal memulai usahanya pasca krisis. Kondisi pasca krisis yang belum pulih dengan baik mendorong mereka tak takut berhadapan dengan pemda yang memandang mereka sebagai “gangguan keindahan kota.”

Sebenarnya mereka sebagai perempuan tak akan “melawan,” jika pemerintah mampu menyediakan fasilitas lapak/kios di pasar bagi mereka. Dengan demikian, seharusnya dipahami bahwa “perlawanan” mereka sebagai perempuan adalah konsekuensi dari minimnya fasilitasi dari pemda, sehingga mereka harus bertahan hidup sendiri. Penataan dilakukan pun seringkali justru membuat PKL perempuan tak mampu mendapatkan omzet yang sama seperti saat mereka berjualan di dekat bahu jalan.

Baca Juga  Asumsi Rumah Tangga Sebagai Kodrat Perempuan

Modal kecil menjadi tantangan bagi mereka di tengah biaya hidup yang terus merangkak naik. PKL perempuan sebenarnya hanya berupaya bertahan di tengah kerasnya kompetisi penghidupan. Kontribusi mereka terhadap pendapatan keluarga apalagi cukup dibutuhkan.

Pertama, desakan kebutuhan ekonomi keluarga yang harus segera dipenuhi. Kedua, bentuk refleksi diri secara individual untuk naik kelas seperti kelas sosial di atasnya dengan pertimbangan ingin “memperbaiki nasib.” Para wanita ini justru telah beralih menjadi tulang punggung keluarga.

PKL Perempuan yang berasal dari luar daerah perkotaan biasanya berasal dari “daerah penyangga” sekitar kota. Hal tersebut tak terlepas dari terpusatnya ekonomi di perkotaan dan didukung oleh ketersediaan jalur perdagangan dan angkutan. Apalagi pelemahan dan penyebaran aktivitas ekonomi di daerah pinggiran yang “dihisap” membuat mereka berbondong-bondong melakukan migrasi keluar.

Kondisi pemiskinan dan marjinalisasi di pedesaan membuat para wanita terpaksa datang ke kota menjadi PKL. Penguasaan tanah mereka di desa asalnya di bawah 0,5 hektar, sehingga tak mencukupi kebutuhan hidup. Kepemilikan ternak mereka juga terbatas sebagai “tabungan sosial” bahkan ada yang tak mempunyai, padahal mereka memiliki tanggungan keluarga terutama untuk membesarkan anak-anaknya.

Mereka ingin berupaya anaknya mendapatkan akses pendidikan yang “lebih baik,” agar “lebih tercukupi” penghidupannya nanti. PKL perempuan terkadang “terpaksa” melakukan tindakan suap untuk mencegah usaha mereka terkena “penertiban” dari aparat pemda. Mereka terkadang adalah pelaku migrasi sirkuler yang menandakan kondisi transisi menuju perekonomian yang kapitalistik. Mereka memiliki ketergantungan ganda antara desa dan kota, apalagi bilamana barang yang dijual adalah sayuran. Kenyataannya mereka tak lantas mendapatkan penghidupan memadai dari realita relasional tersebut.

Pengalaman kerja berpengaruh terhadap jam kerja para PKL dan mendukung keterampilan mereka dalam berdagang semakin lihai. Umur PKL justru berhubungan negatif dengan curahan jam kerja mereka. Artinya semakin bertambah usia menyebabkan waktu berdagang PKL perempuan semakin berkurang. Jumlah tanggungan anak berdasarkan kajian Lismalasari dan Aswitari (2021) juga berdampak terhadap lamanya waktu berdagang PKL perempuan. Pengalaman kerja di sisi lain berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan PKL perempuan.

Baca Juga  Pendidikan Kespro dalam Islam
“Sudah Susah” Masih Harus Berperan Ganda

PKL Perempuan pada dasarnya menghadapi beberapa dilema. Pertama, tantangan dalam kekurangan waktu dalam pengasuhan anak sampai dengan mendidik anak. Kedua, tantangan berkaitan dengan suaminya yang terkadang dihadapkan pada cekcok. Ketiga, tantangan mendapatkan represi sosial dari lingkungan sosial akibat tidak bisa mengikuti kegiatan informal.

Tantangan lainnya yang tak kalah pelik adalah sudah modal usaha dan pendapatan terbatas. Mereka tak jarang harus memberikan “upeti” kepada “pihak yang tak bertanggung jawab” maupun membayar berbagai “pungutan sosial.” Kondisi tersebut tentunya ironis di tengah tempat berjualan yang belum tentu strategis dan barang dagangan yang tak selalu laris terjual.

Sebagian dari PKL perempuan terkadang terhubung dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh suaminya. Tetapi ada juga yang beralih menjadi kepala keluarga apabila suaminya telah tiada. Mereka sebenarnya “bukan membantu suami,” melainkan ikut serta memberikan kontribusi penghidupan bahkan menjadi penopang utama penghidupan keluarga. Mereka yang terkoneksi dengan kegiatan suami adalah yang menjualkan sayuran ataupun hasil tangkapan ikan. Artinya bukan menunjukkan konstruksi profesi tertentu “yang bisa” dikerjakan oleh perempuan, melainkan baik perempuan maupun pria sama-sama menjadi penopang keluarga bahkan bisa jadi perempuan lebih banyak yang menanggung beban.

Kerentanan seperti harus berdagang tak mengenal waktu untuk mencukupi penghidupan keluarga dapat dikatakan sebagai salah satu gambaran perempuan menjadi penanggung beban yang lebih banyak. PKL Perempuan terkadang membeli hasil kebun orang lain, apabila hasil kebunnya belum memasuki masa panen.

PKL perempuan terkadang enggan menerima uang dari anak-anak yang sudah “mandiri” karena ingin menghidupi diri sendiri. Mereka yang masih memiliki tanggungan anak harus berada dalam jeratan penghidupan dan seringkali memiliki penghasilan yang lebih besar dari suaminya.

Baca Juga  Politik Perempuan Desa Madura

Anak-anak PKL seringkali menghadapi kesulitan mendapatkan akses sampai perguruan tinggi yang membuat mereka setelah mencapai jenjang menengah memilih membantu usaha ibunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenjang pendidikan terbatas dari orang tuanya serta kapasitas penghidupan terbatas membuat anak-anak mereka kesulitan mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Anaknya kemudian hidup dengan meneruskan profesi orang tuanya.

Realita ini menununjukkan bagaimana wanita dari kalangan marjinal terus saja terjerat. Bahkan generasi di bawahnya masih saja harus merasakan kesulitan yang sama. Di sinilah perlunya pertanggungjawaban negara dalam memenuhi kebutuhan warganya.

Bagikan
Post a Comment