f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kebosanan

Peran Mas Menteri, Guru Honorer, dan Tayangan TVRI

Tahun 2020 akan menjadi tahun yang bersejarah dan akan selalu diingat oleh seluruh bangsa di dunia. Bagaimana tidak, karena datangnya pandemi Covid-19 yang kabarnya kirmian dari Wuhan, Cina ini melenyapkan hampir seluruh sendi kehidupan baik sektor kesehatan termasuk juga lingkup pendidikan. Bukan hanya pemerintah yang mengambil peran, melainkan seluruh rakyat turut andil dalam mendukung kebijakan yang telah dirumuskan pemerintah untuk memusnahkan virus berbahaya ini, misalnya dengan perintah untuk selalu di rumah saja.

Pendidikan mendapatkan dampak yang sangat serius di belahan dunia manapun. Hampir keseluruhan proses belajar dilaihkan melalui via daring. Tetapi di balik penerapan kebijakan mendesak ini, terkusus di Indonesia, kebijakan tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai kalangan, baik peserta didik, orang tua dan bahkan dari pendidik sekalipun.

Berbagai gebrakan telah dicanangkan oleh Mas Menteri (Nadiem Makarim) untuk menopang pendidikan di tengah pandemi sekarang ini, lalu apa kabar guru-guru honorer yang semakin sulit mengais rezeki? Apa kabar pendidikan di pelosok negeri, apakah masih bisa menonton tayangan TVRI? Semoga Mas Menteri dan segenap jajarannya tidak melupakan keberadaan mereka.

Sang Guru Beralih Profesi

Pada suatu kesempatan di tahun 2019, saya melakukan perjalanan ke Kampus. Karena suatu hal, saya harus pergi menaiki ojol. Terjadi perbincangan yang kami lakukan. Tidak saya duga, ternyata supir ojol tersebut adalah seorang guru honorer di SMK. Beliau mengatakan bahwa, mengandalkan gaji sebagai guru saja tidak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Karena himpitan keluarga, sang guru tersebut mencoba menmbah pundi-pundi dengan menarik ojol yang bisa dilakukan dalam waktu senggang sepulang dari mengajar di sekolah.

Peristiwa di atas adalah salah satu gambaran keadaan guru honorer. Tidak sedikit dari mereka yang melakukan pekerjaan sampingan lainnya, seperti berjualan di rumah, menjadi buruh tani, atau berkeliling menjajakan barang dagangan dari rumah ke rumah. Coba kita bayangkan pada masa pandemi sekarang ini. Yang kabarnya masih ada diantara mereka yang digaji kisaran antara 100 – 500 ribu rupiah setiap bulannya, itupun terkadang ada upah yang tertunda.

Baca Juga  Memilih Sekolah Anak-Anak Yang Kita Sayangi

Menyambung kegelisahan di atas, dalam sebuah acara Musyawarah Nasional ke-5 Ikatan Keluarga UII pada 14 Desember 2019 lalu, ada peserta musyawarah yang menanyakan langsung terkait gaji guru honorer yang hanya Rp 300.000 per 3 bulan kepada Mas Menteri, bagaimana mungkin kita bisa menuntut mereka memberikan hal terbaik untuk peserta didiknya, faktanya kesejahteraan mereka saja tidak diperhatikan.
Mas Menteri menanggapi dengan lugas, “Itu kewenangan dari pemerintah daerah, dan pusat harus dirumuskan oleh beberapa kementerian jadi mohon kesabarannya”. Lalu bagaimana dengan peraturan yang telah dicanangkan oleh pemerintah, peraturan menteri nomor 19 tahun 2020 tentang pencairan honor di atas 50% yang diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler? Harusnya upah bisa dibayarkan tepat waktu dan bahkan bisa dianggarkan lebih dari 50% dari dana BOS, tanpa peraturan yang memberatkan karena itu adalah hak bagi mereka. Kabar tersebut adalah nafas segar bagi guru honorer, pasalnya guru dituntut memberikan pelayanan yang memuaskan bagi peserta didiknya. Namun, para guru tetap ikhlas dalam melakukan tugasnya, bahkan ada guru di pelosok desa Jawa Timur yang rela berjalan kaki 3 km untuk mendatangi peserta didiknya yang tidak memiliki smartphone.

Pada masa pandemi sekarang ini, akan menjadi kabar gembira manakala Mas Menteri memberikan usulan agar guru honorer dimasukan ke dalam daftar golongan rentan yang perlu juga mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mungkin saja, ada beberapa pengalihan anggaran untuk menopang hidup mereka di masa krisis sekarang ini.

Jika pemerintah mencanangkan untuk belajar di rumah saja melalui daring, jangan-jangan masih ada guru honorer di sekitar kita yang tidak mampu membeli paket internet atau membeli pulsa, sehingga mereka harus berlelah-lehan berjalan berkilo-kilo menghampiri peserta didiknya. Saya rasa, di saat profesi lain disuarakan untuk mendapatkan kehidupan yang layak di tengah pandemi, guru honorer juga layak mendapatkan perlakuan yang sama, bahkan mungkin lebih. Sehingga, apakah cukup kita hanya menyampaikan selamat hari pendidkan saja di tengah pandemi ini? Saya rasa tidak akan cukup.

Baca Juga  Self Love Tidak Individualis!

Bermuhasabah Pada Siaran TVRI

Kita semua tentunya masih ingat dengan rilis yang disampaikan oleh Mas Menteri dan jajarannya terkait pengalihan tayangan di channel TVRI yang sudah diberlakukan sejak tanggal 13 April 2020 untuk mensukseskan perintah belajar dari rumah. Apakah semua sudah mencoba menonton juga? Orang tua harus mendampingi anak didiknya ketika belajar dan berguru pada tayangan yang disiarkan oleh TVRI.

Pada tayangan hari Rabu, 15 April 2020 untuk kelas 4-6 SD, saluran TVRI menayangkan dua dongeng cerita rakyat diantaranya “Putri Mandalika” dan “Raja Ampat dan Telur Naga”. Bagaimana kisahnya? Ada yang menyangka ternyata ada hal ganjil dalam cerita yang disampaikan? Mari kita ulas bersama.

Cerita pertama tentang Putri Mandalika. Kisahnya tentang Putri Mandalika yang dipinang oleh belasan pangeran. Karena putri tersebut tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah diantara kerajaan, maka sang putri berniat menerima semua pinangan, namun hal yang dilih oleh sang putri adalah menceburkan diri ke laut. Lalu disambung dengan pertanyaan yang diberikan “Menurut kalian bagaimana sikap Putri Mandalika tersebut yang mengambil keputusan untuk menyeburkan diri ke laut?”

Kisah dan pertanyaan tersebut menghebohkan bagi kalangan orang tua peserta didik pada saat itu. Anak SD juga mengetahui jika keputusan tersebut adalah tindakan bunuh diri bukan menceburkan diri dengan pencitraan betapa bijaknya sang putri karena tidak menginginkan terjadi peperangan maka ia mengorbankan dirinya demi keselamatan rakyatnya.

Dilanjutkan dengan kisah kedua, yakni dongen tentang kisah suami istri yang sedang berburu di hutan dan menemukan 6 butir telur naga, dan mereka membawanya pulang ke rumah. Pada saat sang istri meracik bumbu untuk memasak telur tersebut, 5 telur naga tersebut menetas. Bukan menjadi anak naga melainkan menjadi anak manusia, 4 laki-laki dan 1 perempuan. Ada yang tahu 1 telur yang belum menetas menjadi apa? Telur yang tersisa menjadi keras dan semakin mengeras dan pada akhirnya dijadikan berhala oleh keluarga tersebut, dibangunkan sebuah rumah untuk temoat tinggalnya dan disembah-sembah oleh penduduk di sana. Dan bahkan setiap satu tahun sekali telur yang mengeras itu dimandikan dan diberikan serangkaian ritual.

Baca Juga  Tentang Menempatkan Anggota Keluarga Sebagai "Subjek"

Bagi kalangan umat Islam, jika tontonan tersebut tidak didampingi oleh orang yang lebih tua, maka sang anak akan salah mengambil kesimpulan dan bahkan akan bermasalah pada aqidah sang anak. Betapa tidak, orang tua yang sudah bersusah payah menjadi guru di rumah, ditambah lagi harus berusaha keras mengawasi aqidah anaknya karena program televisi dari pemerintah yang katanya untuk membantu anak-anak SD belajar di rumah dan seharusnya meringankan beban para guru honorer. Tapi nayatanya, banyak hal yang harus diperhatikan.

Karena pada dasarnya pendidikan itu tidak hanya sekadar menjadikan pintar seseorang, tetapi moral juga diperhatikan. Ditambah lagi anak SD yang akan meniru apa yang dia lihat. Seharusnya kajian ini menjadi catatan penting bagi Mas Menteri dan jajarannya, harus lebih selektif. Sekali lagi, untuk menggali makna pendidikan, tidak akan cukup hanya dengan mengucapkan selamat hari pendidikan saja, melainkan harus dibuktikan dengan aksi nyata.

Bagikan
Post a Comment