f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
belajar

Merdeka Belajar Bukan Cuma di Sekolah

Beberapa hari yang lalu saat saya sedang mendengarkan materi kelas menulis, anak saya Rachel bertanya, “Mama sudah bisa menulis kok belajar menulis?”.  Pertanyaan yang wajar bagi seorang anak yang berumur 7 tahun yang baru saja bisa menulis huruf-huruf  dengan lancar. Untuk sejenak saya terdiam mencoba mencari kata yang pas untuk menjelaskan dengan bahasa yang mudah. Akhirnya setelah saya jelaskan, dia mengambil kertas dan menulis beberapa kalimat tentang hewan-hewan yang dia lihat di depan rumah.

Bagi saya itu adalah sebuah progress yang luar biasa. Selama ini saat saya menyuruhnya menulis apa yang ia rasakan, dia menolaknya. Surat-surat yang diberikan kepada saya biasanya bergambar orang dengan tulisan Mama, Papa, Rachel dan bentuk hati. Ternyata bagi generasi Alpha yang lahir setelah tahun 2010 seperti anak saya, metode belajar secara visual (melihat secara langsung) keteladanan akan lebih manjur daripada dengan ribuan kata suruhan.

Generasi Alpha lahir dalam dunia yang serba cepat dan instan. Mereka akan lebih kritis, ingin sebuah kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat atau  kebebasan mengeksplorasi sesuatu. Sangat berbeda dengan generasi saya dulu. Saat orang tua saya mengatakan “ora ilok” (tidak baik), saya akan mematuhinya tanpa bantahan apapun. Generasi Alpha lebih berpikir logis dan melihat dari pengalaman yang mereka alami sendiri.

***

Sebagai contoh, saat Rachel mulai awal masuk sekolah di Playgroup. Setiap hari selalu saja terlambat datang ke sekolah karena bangun kesiangan. Saya dan suami sudah mencoba beberapa cara dengan cara halus maupun dengan sedikit pemaksaan, namun hasilnya nihil. Hingga suatu saat saya berkesempatan mengantarkan Rachel ke sekolah. Saat itu pelajaran menggambar di luar kelas. Dari ruang tunggu sekolah saya bisa melihat secara langsung apa yang terjadi. Saya bisa melihat Rachel menerima kertas gambar dari guru dan mengamati bahwa teman-temannya sudah akan selesai menggambar saat Rachel baru memulai menggambar.

Baca Juga  Kawruh Pamomong: Ilmu Parenting dari Ki Ageng Suryomentaram

Saat di rumah, saya mencoba merefleksikan pengalamannya di sekolah. Saya bertanya bagaimana perasaan dan akibatnya seandainya dia terlambat. Dia tidak menjawabnya namun sejak saat itu, jarang sekali anak saya datang terlambat ke sekolah. Ternyata berpikir konsekuensi sebab akibat lebih bisa diterima baginya daripada omelan dan paksaan.

Sebagai orangtua, saya sendiri terkadang kurang bisa memberikan kemerdekaan berpikir bagi anak dan memberikan ruang bagi proses belajar anak. Dan setelah melakukan banyak sekali “trial dan error”, pada akhirnya sayapun menyadari bahwa anak generasi Alpha butuh sebuah “ruang” kemerdekaan untuk belajar. Merdeka belajar di sini bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab akan konsekuensi terhadap pilihan-pilihannya.

***

Bagi saya, awal-awal Rachel masuk sekolah Playgroup merupakan masa-masa pencarian metode belajar yang cocok baginya. Tak jarang, saya dan suami dipanggil oleh guru untuk mendiskusikan perkembangan Rachel di sekolah. Saat itu yang menjadi PR kami adalah anak kami tidak mau menari, menirukan gerakan guru tarinya seperti teman-temannya. Saya sempat berpikir untuk memasukkan Rachel ke sanggar tari. Namun niat tersebut saya urungkan karena Rachel menolaknya. Saya menyadari apabila semakin dipaksa, anak akan semakin tertekan dan bisa berontak.

Akhirnya saya mencari sebuah cara bagaimana menumbuhkan rasa suka terhadap dunia tari. Harapan saya dengan adanya rasa suka,  dengan sendirinya dia akan mau menari seperti teman-teman seusianya. Saya iseng mengajak Rachel untuk menonton sebuah pertunjukan tari “ Mother Earth” oleh Mila Rosinta di gedung PKKH UGM.

Sejak awal saya sudah siap apabila di tengah pertunjukan Rachel rewel dan meminta pulang karena ini adalah pertunjukan tari pertama yang ia lihat. Namun ternyata di luar prediksi saya, Rachel justru menikmati pertunjukan tari tersebut dan melihat sampai akhir pertunjukan. Untuk pertama kalinya Rachel nyaman berada dalam sebuah ruangan yang dimatikan lampunya.

Baca Juga  Ibrah Pandemi : Orang Tua Lebih Menyayangi

Harus saya akui, memang Kak Mila Rosinta dkk bisa berhasil mempertunjukkan sebuah kolaborasi tari, musik dan visual secara menarik. Apalagi saat itu Kak Mila Rosinta membawa anaknya yang berusia sekitar 1 tahunan untuk diajak menari bersama diatas panggung. Mungkin inilah salah satu yang membuat Rachel tertarik menontonnya.

***

Sejak saat itu beberapa kali saya mengajak Rachel menonton pertunjukan di gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta. Beruntung,  kami tinggal di sebuah kota budaya di mana hampir setiap bulan ada pertunjukan-pertunjukan tari, teater , musik dll. Dan sejak saya sering mengajak Rachel menonton pertunjukan-pertunjukan tersebut, Rachel dengan sendirinya mau untuk menari seperti teman-teman lainnya. Dan bahkan setelah naik ke jenjang TK A dan TK B, dengan sukarela dan keinginannya sendiri mengikuti ekstrakurikuler Tari dan Menggambar. Dua pelajaran yang tidak ia sukai saat pertama kali masuk sekolah. Namun sekarang menjadi kegiatan yang disukainya.

Pada hari pendidikan tanggal 2 Mei 2021 yang lalu, saya melihat banyak teman-teman yang memasang status merdeka belajar. Saya sangat mengapresiasi kebijakan Merdeka Belajar oleh Kemendikbud-Riset yang menghidupkan kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan dan cocok bagi generasi sekarang. Namun menurut pendapat saya, kebijakan merdeka belajar Kemendikbud-Riset akan lebih efektif apabila tidak hanya terimplementasikan dalam lingkup sekolah formal melainkan juga oleh para orang tua di rumah. Apalagi di masa pandemi seperti ini, orang tualah yang berperan mendampingi proses belajar mengajar siswa.

Saya yakin hampir semua orang tua mengetahui pokok-pokok pemikiran Ki Hajar Dewantara, namun hanya sedikit yang memahami bahkan mempraktekkan dalam proses mendidik anak-anak mereka. Saya sendiri juga baru menyadari bahwa sebenarnya saya sudah mengetahui sejak lama konsep pendidikan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa,  dan Tut Wuri Handayani. Namun saya baru memahami dan mempraktekannya belasan tahun kemudian saat anak saya masuk sekolah. Itupun harus melalui proses “trial dan error” seperti yang sudah saya tulis dalam paragraf – paragraf sebelumnya.

Baca Juga  Seni Berkomunikasi dengan Anak
***

Oleh karena itu perlu sebuah proses edukasi untuk orang tua melalui sekolah-sekolah bahwa proses merdeka belajar tidak hanya terbatas di sekolah tetapi juga di dalam keluarga dan masyarakat. Dengan dukungan orang tua dan masyarakat, anak tidak hanya mendapatkan nilai angka saja dari sekolah melainkan juga nilai hidup dalam keluarga dan masyarakat.

Bagikan
Comments
  • Yorin

    Kerennnnn, teruss semangat….

    Mei 21, 2021
  • Wiwik

    Betul sekali Mama Rahma, Belajar bisa dari mana saja. Tetap semangat mendampingi gererasi Alpha. Tulisan ini dapat menginspirasi orang tua lainnya. Semangat menulis Mama. Tuhan memberkati.

    Mei 21, 2021
  • Yorin

    Baguss, bahasa, dan isi nya… Bisa bikin inspirasi…

    Mei 21, 2021
  • kristiani

    saya setuju dengan tema nya, memang belajar tdk hanya dr sekolah, tapi bisa juga dr rumah.
    keluarga yg berperan sangat penting dalam belajar anak, tapi ype anak beda beda, ada yang penurut dan ada juga yang tidak. jadi memang benar orang tua memang harus punya cara yang jitu agar anak bisa tertarik dan mau menyukai pelajaran nya.
    selamat hari KEBAANGKITAN NASIONAL

    Mei 21, 2021
  • Rahmi

    Terimakasih Bunda, tulisannya sangat inspiratif. Ini bisa jadi sharring pengalaman bagi para orang tua dalam menemukan bakat putra / putrinya. Tetap menulis Bund, ditunggu tulisan-tulisan selanjutanya.

    Mei 26, 2021
Post a Comment