f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
perempuan

Kedudukan Perempuan dalam Ranah Domestik dan Publik

Dalam perspektif sejarah, terutama di zaman jahiliyah, perempuan adalah kelompok manusia yang selalu tertindas. Mereka tidak memiliki daya dan upaya untuk keluar dari belenggu ketertindasan, tidak memperoleh penghargaab layaknya laki-laki. Terutama yang berkaitan dengan seksualitas dan produktivitas ekonomi. Ironisnya, perempuan mengalami ketertindasan ini di dalam rumah tangganya dan oleh orang-orang terdekatnya sendiri (ayah atau suaminya).

Di zaman sekarang, warisan nilai-nilai sejarah tersebut seakan-akan terbingkai dalam nilai-nilai normativisme Islam. Padahal yang demikian itu terdapat salah interpretasi karena adanya dogma ekstrim Islam secara tekstual yang membedakan antara peran laki-laki dan perempuan.

Kesadaran seksis, yang kemudian memunculkan upaya dalam penegakan kesetaraan dan keadilan gender. Termasuk melepaskan peran domestik dari relasi gender bagi kaum perempuan yang memiliki peran ganda (double burden) di lingkungan keluarga. Musda Mulia mengemukakan bahwa konsep dan gerakan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam keluarga sesuai normativisme Islam secara teologis sama sekali tidak bermaksud untuk menghilangkan tugas dan tanggung jawab domestik kaum perempuan (ibu). Baik dalam perannya sebagai seorang istri dan ratu rumah tangga dalam lingkungan keluarga, maupun sebagai ibu dengan amanah untuk mempersiapkan masa depan anak-anaknya yang sejahtera, baik dalam arti material maupun moral spiritual.

Persoalan domestik dan peran ganda perempuan, seringkali menjadi problem yang dilematis, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai perempuan karir. Padahal sesungguhnya hal itu tidak perlu terjadi bila perempuan tersebut benar-benar menghayati tugas dan kewajibannya sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga dan perannya sebagai perempuan karir.

Dalam banyak persoalan, terdapat anggapan bahwa karir keperempuanan menjadi sangat dominan sementara tugas dan tanggung jawab domestik dalam keluarga terabaikan yang pada gilirannya harus terbayar dengan sangat mahal dalam bentuk kegagalan membentuk rumah tangga sakinah. Persoalan seperti inilah yang perlu kita cermati. Perlu analisis lebih lanjut agar masalah domestikasi dan peran ganda perempuan dalam keluarga mendapat relasi seimbang berdasarkan nilai-nilai normatif ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Quran dan Hadis Nabi saw.

Baca Juga  Refleksi Hari Kartini
Domestikasi Perempuan

Kiprah perempuan di dunia publik, tidak lagi menjadi pemandangan yang langka. Di berbagai sektor, termasuk sektor yang pada umumnya di dominasi laki-laki sekalipun. Kita menemukan keterlibatan para perempuan. Terbukanya lapangan dan peluang kerja yang tidak lagi ketat dengan kriteria gender, kemajuan di bidang pendidikan, kemiskinan oleh sebagian besar keluarga, dan lain-lain, merupakan faktor-faktor yang sangat berperan meningkatkan jumlah perempuan yang berkiprah di ranah publik.

Menariknya, kesuksesan perempuan dalam menjalankan tugasnya tidak kalah dengan laki-laki. Tentu saja, ini menjadi bukti bahwa kesuksesan di ranah publik tidak terkait dengan kriteria gender.

Asgar Ali Enggineer pun dengan suara lantang membantah domestikasi perempuan yang mengatasnamakan normativisme Islam yang menurutnya, pandangan yang membatasi perempuan di antara empat dinding rumah dan tidak boleh memainkan peran di luar rumah justru merupakan pandangan yang tidak berdasar pada norma-norma ajaran Islam. Karena, melalui ajaran Islam di dalam Al-Qur’an tidak ada dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas pandangan tersebut. Sejauh pernyataan Al-Qur’an, perempuan dapat memainkan peran apa saja selama tidak melanggar batasan-batasan Allah.

Al-Qur’an mengakui haknya untuk mencari nafkah dan menguasai hartanya sendiri dengan sangat gamblang. Maulana Azad juga berpendapat yang sama. Menurutnya, sejauh menyangkut kemandirian ekonomi dan keuangan, Al-Qur’an dengan tegas menolak pandangan bahwa hanya laki-laki yang mempunyai hak untuk itu.

Akhirnya, harus kita akui bahwa pada dasarnya Islam tidak mengatur wilayah perempuan dan laki-laki secara skematis. Islam menyisakan wilayah-wilayah tertentu untuk diatur oleh akal manusia berdasarkan tuntutan-tuntutan yang senantiasa berkembang. Pandangan seperti ini semestinya kita yakini tidak menyimpang dari semangat dan ajaran agama itu sendiri. Karena pada dasarnya kita semua mengakui universalitas ajaran agama sedari awal. Tanpa sikap bijaksana, universalitas dan kemudahan menjalankan agama akan hilang oleh zaman.

Baca Juga  Hak Anak dalam Kandungan (1)
Peran Ganda (Double Burden) Perempuan

Peran ganda adalah suatu kondisi di mana perempuan melaksanakan tugas-tugas domestik sekaligus peran publik. Dalam bahasa Wahbah az-Zuhaili, selain ia harus menggoncang ayunan dengan tangan kanannya, ia juga harus berjuang mengais nafkah di luar rumah dengan tangan kirinya. Selain menjalankan profesi di luar rumah, juga sibuk dengan urusan kerumahtanggaan. Hal ini lumrah terjadi pada masyarakat yang kondisi ekonominya berada di bawah garis kemiskinan. Keterlibatan perempuan di sektor publik di sini biasanya karena tuntutan ekonomi keluarga. Namun, bukan berarti kasus yang sama tidak terdapat pada masyarakat menengah ke atas.

Peran ganda adalah sebuah cerminan ketidakseimbangan relasi gender dalam rumah tangga. Beratnya beban perempuan dalam hal ini dapat kita saksikan. Bisa kita bayangkan kelelahan seharian bekerja mencari nafkah, lalu harus berhadapan dengan tugas lain, seperti menyusui anak, menyediakan hidangan di meja makan, mencuci piring, dan melayani suami ketika ia kembali ke rumah. Bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas, keberatan-keberatan seperti ini mudah saja teratasi.

Beban ganda (double burden) oleh perempuan semestinya tidak terjadi jika prinsip relasi gender dalam keluarga berjalan dengan baik dan proporsional. Harus disadari bahwa pembedaan peran dan fungsi istri yang alami terbatas pada dua hal yang bersifat kodrati, yakni mengandung dan melahirkan.

Ketika perempuan berhenti atau istirahat dari profesi di ranah publik karena keharusan menjalankan tugas-tugas kodrati di atas, maka ia harus diberi kompensasi ekonomis. Artinya, tugas-tugas seperti itu harus dinilai sebagai pekerjaan yang produktif secara ekonomis. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang hanya memainkan peran sebagai ibu rumah tangga semata. Tugas-tugas kerumahtanggaannya harus dinilai secara ekonomis dengan perhitungan jam kerja yang jelas. Ini tidak susah, sebab dalam beberapa daerah tertentu standar upah telah ditetapkan

Bagikan
Post a Comment