f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
minuman manis

Cukup Senyummu Saja yang Manis, Makanan dan Minumanmu Jangan

Pagi itu, saat hendak membeli lauk matang di kantin dekat rumah, saya harus sedikit bersabar. Tante pemilik kantin sedang melayani seorang ibu muda yang hobi ngobrol north-south alias ngalor-ngidul. Sambil memilih-milih lauk yang akan dibeli, ia berbicara panjang kali lebar.

“Tante, bikin urap dong, atau ayam masak jahe gitu, yang lebih sehat. Biar variatif juga, jadi masakannya nggak itu-itu melulu.” Ibu muda itu mengusulkan, sambil menyebutkan sedikitnya 10 macam makanan sehat versinya. Untung nama saya Santi. Sabar menanti, hahaha.

“Mau, sih. Kapan itu tante bikin urap. Juga masakan ayam rebus yang sehat, nggak pakai digoreng. Tapi nggak laku. Yang laku ya masakan ini lagi, ini lagi. Tante sebenarnya bisa masak macam-macam. Makanan sehat juga bisa. Tapi seringkali nggak habis terjual. Jadi, tante masak yang laku-laku sajalah.”

Saya manggut-manggut. Meski bisa memasak makanan sehat, sebagai pengusaha kantin, tentu si tante harus mengikuti selera pelanggan. Toh masakan rumahan yang dia jual juga tergolong sehat kok. Favorit saya adalah ayam kecap, ikan asam manis, tumis labu, dan brokoli cah bawang putih.

Menikmati Minuman Kemasan di Luar Negeri yang Tidak Terlalu Manis

Ingatan saya melayang ke tahun 2001, saat saya pergi ke Singapura untuk mengikuti kompetisi debat mahasiswa. Itu adalah pertama kalinya saya pergi ke luar negeri. Sebagai penggemar teh dalam kemasan botol, begitu ada kesempatan, saya langsung pergi ke minimarket untuk membeli beberapa botol teh aneka jenis dan merek.

Setiap hari ganti-ganti. Ada teh oolong, teh hijau, teh melati, dan masih banyak lagi. Favorit saya adalah teh melati yang segar sekali diminum dingin-dingin. Mereknya sudah lupa. Pokoknya aroma melatinya sangat harum dan rasanya tidak terlalu manis.

Baca Juga  Stigma Cantik di Tengah Masyarakat Dampak Beragam Produk Kecantikan (1)

Setelah menikmati teh itu, saya baru sadar bahwa teh botolan yang selama ini saya konsumsi di tanah air terlalu manis. Setelah menghabiskan 17 hari di negeri jiran (kompetisi debatnya hanya 8 hari, sisanya saya pakai untuk berjalan-jalan sambil kulineran), selera saya sudah berubah. Saat kembali ke Jakarta, saya tidak lagi gemar membeli teh botolan.

Diam-diam saya merindukan segarnya teh melati pahit, atau kalau sedang ingin yang manis, ya gulanya sedikiiit saja. Kadang saya membuat teh sendiri, namun sebenarnya yang saya rindukan adalah kesenangan yang dirasa saat masuk ke minimarket, memilih teh botolan dari lemari pendingin, membayar, lalu menikmati kesegarannya sambil berjalan-jalan. Itu!

Kesempatan serupa baru saya jumpai lagi tahun 2005, saat dikirim ke Taipei, Taiwan untuk mengikuti pelatihan kerja selama 3 minggu. Di sana, saya mendapatkan teh melati dalam kemasan botol yang rasa manisnya hanya samar-samar. Mungkin hanya setengah atau bahkan seperempat rasa manis teh kemasan yang banyak dijual di tanah air.

Tahun 2005 saya sudah lumayan tahu tentang bahaya penyakit diabetes, yang antara lain disebabkan oleh konsumsi makanan dan minuman yang manis-manis. Barangkali karena itulah minuman kemasan di Singapura dan Taiwan dibuat tidak terlalu manis. Ringkasnya supaya warganya relatif aman dari diabetes. Hanya relatif lho, memang tidak berarti sepenuhnya aman. Tapi setidaknya masih mendingan.

Banyaknya minuman Kemasan yang Kadar Gulanya Tinggi

Itulah enaknya tinggal di negara maju, pikir saya. Kadang miris rasanya melihat orang-orang di tanah air yang dengan entengnya mengonsumsi aneka cemilan dan minuman manis setiap hari, tanpa menyadari bahaya diabetes yang mengintai. Mau bagaimana lagi, memang produk semacam itu yang paling banyak tersedia di pasaran.

Baca Juga  Narkoba, Mimpi dan Segala Penyesalan

Tahun 2019, saya pergi berjalan-jalan selama 3 hari ke Genting dan Kuala Lumpur, Malaysia, diajak adik saya. Kali itu saya tidak lagi mencari teh, melainkan kopi botolan. Mulanya saya pikir negara kita dan Malaysia kurang lebih sama, masih termasuk negara berkembang (mohon dikoreksi kalau salah). Jadi perkiraan saya, masyarakatnya tentu belum terlampau peduli akan kesehatan, khususnya seputar bahaya diabetes. Ringkasnya, kopi botolan di sana tentu sama manisnya dengan kopi botolan di sini.

Ternyata saya salah! Kopi botolan di negeri jiran tersebut manisnya hanya setengah dari rasa manis kopi botolan di tanah air! Saya memang hanya mencoba sekitar 5 jenis dan merek kopi botolan karena keterbatasan waktu, namun sepertinya itu sudah cukup mewakili. Saat saya juga membeli teh botolan, mudah ditebak, rasanya juga tidak terlalu manis.

Di situ saya merasa tidak terima. Sama-sama negara berkembang, kenapa minuman kemasan yang dijual di sana relatif lebih aman, setidaknya dilihat dari kadar gulanya yang lebih rendah? Kenapa minuman kemasan di tanah air rata-rata manis sekali? Padahal minuman yang manis-manis kan membahayakan kesehatan konsumennya dalam jangka panjang? Kenapa produsen minuman kemasan tidak memproduksi minuman yang kadar gulanya sedikit? Apakah karena takut tidak laku, seperti pengalaman tante pemilik kantin di atas?

Bila produsen-produsen besar kompak memproduksi makanan dan minuman kemasan yang kadar manisnya dikurangi, apakah selera masyarakat perlahan bisa berubah? Mestinya bisa. Saya amat berharap demikian, karena ancaman penyakit diabetes itu bukan main-main.

Tante pemilik kantin setidaknya pernah mencoba menyajikan makanan sehat, dan hingga kini pun masih, meski sambil tetap menimbang selera para pelanggannya.

***

Saya menuliskan keprihatinan ini setelah membeli sebotol kopi dingin di sebuah kafe. Sebelum membeli, saya sudah berpesan agar gulanya sedikit saja, seperempat dari porsi biasa. Alhasil, kopi susu jadul yang mestinya enak ini masih saja terlalu manis. Lain kali saya akan memesan kopi tanpa gula saja.

Baca Juga  Plastik, Bom Waktu Sebuah Kepraktisan

Cukup senyummu saja yang manis, Rahmania. Makanan dan minumanmu jangan.

Bagikan
Post a Comment