f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
belajar

Yuk Belajar Bareng-Bareng

Tulisan ini merupakan hasil refleksi saya atas film Budi Pekerti yang baru beberapa hari tayang di bioskop yang cukup menarik atensi masyarakat. Ringkasnya film ini bercerita bagaimana sosial media atau lebih tepatnya dunia maya begitu mempengaruhi dunia nyata kita.

Tapi bukan pembahasan soal sosial media yang ingin saya tuliskan di sini. Saya ingin sedikit menyoroti peran seorang guru yang diceritakan pula dalam film tersebut. Di mana film tersebut menunjukkan realitas bagaimana sulitnya menjadi seorang guru. Sosok yang harus mengajarkan, mendidik, dan memberikan kasih sayang kepada muridnya.

Bagi saya guru seakan menerima beban ganda yang tidak ada habisnya. Beban ganda yang dimaksud adalah sosok guru yang juga menjadi orang tua si murid. Seakan murid hanya mendapat pendidikan hanya melalui guru. Padahal Tidak! Tidak hanya melalui pendidikan di sekolah saja karena orang tua di rumah menjadi bagian dari pendidikan anak pula.

Orang tua sebagai sosok madrastul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya, tidak bisa memasrahkan 100 persen pendidikan kepada sekolah. Namun jangan diartikan sekolah tidak kompeten untuk mendidik siswanya, tidak, bukan itu maksudnya.

Seorang anak yang tidak memiliki kedekatan emosional kepada orang tua akan merepotkan pihak sekolah. Karena akan memunculkan banyak problem-problem yang bisa jadi menyudutkan salah satu pihak, bisa itu guru, murid, dan orang tua. Tentu kita sama-sama tidak ingin kondisi seperti ini terjadi.

Saya ingin meminjam sebuah istilah yang saya dapatkan di pondok dulu yang menjelaskan bahwa “Sekolah Itu Bukan Bengkel” yang bisa memproduksi sekian banyak murid unggul secara tiba-tiba dan cepat. Tentu pemahaman seperti ini harus diubah dan dibentuk ulang kembali.

Baca Juga  Penilaian Perempuan dan Kasus Pelecehan di Depok

Jalinan kerja sama antara lembaga pendidikan, guru, murid, dan orang tua harus saling beriring satu sama lain, bukan saling menyalahkan atau menjatuhkan salah satu pihak. Akan rusak dunia pendidikan, jika tidak adanya kerja sama dari masing-masing pihak agar melahirkan generasi penerus.

Sedikit klise kiranya, jika orang tua mengabaikan perannya untuk mengajarkan dan mendidik anak di rumah. Tentu ini menjadi permasalahan yang cukup serius jika orang tua mengabaikan anak-anak di rumah. Ya kembali lagi seperti yang saya sebutkan “Memasrahkan 100 persen kepada sekolah”.

Perlu adanya pembenahan dan perubahan baik antara elemen-elemen yang sudah saya singgung sebelumnya. Ada tiga poin utama yang mungkin bisa didialektikakan kembali agar semuanya dapat saling melengkapi dan memaham.

Poin pertama, Orang tua perlu memberikan perhatian kepada anaknya dalam setiap sisi baik dari emosi, karakter, pendidikan dan lainnya. Ini penting dan perlu dipertegas lagi, agar anak dapat bercerita dan terbuka soal apa pun itu kepada orang tuanya.

Poin kedua, membangun jalinan komunikasi antar elemen. Maksudnya adalah setiap elemen jangan mudah secara langsung untuk menyalahkan atau memvonis ini salah atau benar. Karena bisa saja antar orang bisa 100 persen salah, 100 persen benar, atau 50 persen benar sisanya bumbu penyedap rasa. Jadi menjalin komunikasi merupakan asas dari perjalanan sosial yang sangat penting sekali.

Dan yang terakhir adalah membentuk kesadaran untuk terus berinovasi dan evaluasi. Tentu setiap orang mengalami perkembangan masa yang berbeda-beda. Tentu ini yang harus dipahami khususnya pihak sekolah, guru, dan orang tua. Di aman ketiganya harus terus berinovasi yang tujuannya agar anak atau murid terus meningkatkan kualitas dirinya. Tapi tak lupa pula dengan terus evaluasi atas apa yang sudah dilakukan dan diterapkan kepada mereka.

Baca Juga  Menerawang Debat Terbuka Greenpeace

Melalui tulisan ini, saya tidak ingin menggurui pihak mana pun, karena yang ingin saya sampaikan adalah Yuk belajar bareng-bareng agar ke depannya jauh lebih baik lagi. 

Bagikan
Post a Comment