f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
semesta

Semua Bisa Menjadi Guru

Di Indonesia, tgl 25 November dicanangkan sebagai Hari Guru Nasional. Hampir semua media sosial mengulas tuntas tentang guru dengan gencarnya.

Ada rasa bangga, trenyuh atau bahkan rasa yang mengharu biru ketika para guru menerima ucapan selamat dari orang-orang terkasih, dari para murid ataupun dari sesama guru.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini tidak akan mudah dilupakan oleh murid atau anak didiknya sampai kapanpun. Apakah seorang guru itu  galak, killer, lemah lembut bahkan jenaka alias humoris, sudah pasti ada kesan tersendiri di benak para siswa dengan kadar yang berbeda.

Dari guru, kita mendapatkan kucuran berbagai ilmu, mulai dari mengenal huruf, cara menulis dan berhitung, ilmu bèrsopan santun dan ilmu pengetahuan lainnya. Di  dunia pendidikan, semua murid sangat bergantung pada sosok guru. Baik dari ilmu yang diajarkan maupun contoh nyata perilaku yang ditunjukkan ke semua anak didiknya sebagai suri tauladan yang bisa membawa pengaruh positip kelak anak didik berakhlak mulia.

Wajib Menunutut Ilmu

Sebagai orang yang beriman, kita diwajibkan menuntut ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahat. Ini berarti menuntut ilmu tak berbatas usia. Sepanjang hayat di kandung badan, kita mencari dan menuntut ilmu, ilmu dan ilmu.

“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”, kata Ki Hajar Dewantara.

Pernahkah kita berpikir ada banyak ‘guru’ di sekeliling kita selain guru di sekolah? Pernahkah kita mengucapkan terima kasih kapada mereka, ‘guru-guru’ kehidupan yang kita temui?

Sesungguhnya sejak kita dilahirkan sejak itu pula kita sudah menuntut ilmu. Memang secara formal, menuntut ilmu dimulai ketika umur sekian dan sekian. Tapi madrasah pertama, tempat menuntut ilmu manusia, adalah orang tua yang di rumah khususnya ibu. Dari ibu kita tahu bagaimana cara menghisap ASI, dari ibu pula kita berlatih menggendalikan emosi. Kok bisa? Ketika bayi rewel, ibulah yang berupaya menenangkan dengan cara dipeluk, dipuk-puk, dibelai dll.

Sebelum memasuki usia sekolah, bukan berarti kita belum menuntut ilmu. Secara tak sadar sebenarnya kita sudah sekolah di rumah dengan orang tua dan saudara. Justru di saat inilah memori otak kita mampu menyerap lebih banyak informasi maupun ilmu yang kelak meninggalkan jejak yang tidak mudah luntur hingga dewasa. Karena itulah di usia pra sekolah, bagi orang tua, memberi pendidikan dan contoh yang baik adalah wajib agar yang tersimpan di otak anak didominasi hal-hal yang positif.

Baca Juga  Kejahatan Seksual: Perempuan Selalu Menjadi Faktor Tunggal
Setiap Orang Bisa Menjadi Guru

Setiap orang bisa menjadi guru, siapapun itu. Kita bisa mengambil atau menyerap ilmu dari mereka. Apakah dia seoran pedagang ikan, penjual sayur, mbok bakul gethuk, tukang bengkel bahkan anak kecil bisa menularkan ilmunya kepada kita.

Di penjual ikan kita bisa tahu ilmu membersihkan ikan mulai dari membelah dan mencuci lalu mengiris agar irisan tampak cantik dan menarik. Dari mbok bakul gethuk kita jadi tahu ternyata mengiris gethuk itu harus sedikit demi sedikit bukan sekaligus. Karena kalau sekaligus irisan gethuk menjadi saling menempel.

Demikian pula dari tukang bengkel, kita bisa menyerap ilmu kesabaran dan ketelitiannya dalam memperbaiki onderdil yang rusak.

Pun dari abang sayur, ada ilmu yang kadang membuat kita kagum, cara menghitung, menambah dan mengurangi yang dilakukan dengan cepat dan terlatih secara mencongak atau tanpa ditulis maupun pakai kalkulator.

Nah, dari anak kecil ilmu apa yang kita dapat? Meski tidak semua anak kecil mampu berbagi ilmu, namun setidaknya ada satu dua yang bisa kita petik dari dia. Misalnya, anak kecil tidak gampang emosi atau marah. Kalau toh ngambek paling cuma beberapa menit dan kembali baikan karena dia tak memiliki rasa dendam.

Kebanyakan dari ilmu-ilmu ringan di atas tidak kita dapatkan dari guru di sekolah. Apalagi di masa pandemi belajar secara daring masih diberlakukan membuat para guru yang ada di sekolah nyaris tak memiliki kesempatan bertatap muka hingga batas waktu tertentu. Bagi murid baru, kegembiraan dan keceriaan di awal-awal menjadi pelajar di sekolah tak mereka rasakan sensasinya.

Ilmu Kehidupan

Kata Ki Hajar Dewantara bahwa setiap rumah menjadi sekolah. Inilah saatnya untuk membuktikan bahwa di rumahpun anak-anak bisa sekolah, bisa menuntut ilmu walau tidak semua orang tua mampu menjadi sosok guru bagi anaknya, namun ilmu-ilmu kehidupan sebagian besar orang tualah yang mengajarkan.

Baca Juga  Menciptakan Ruang Aman bagi Perempuan dengan Mengubah Cara Pandang yang Berkeadilan.

Ada beberapa contoh ilmu ringan yang sangat berarti di masa depan. Ilmu bagaimana cara menanak nasi, membuat sayur, lauk dan aktifitas memasak lainnya, anak bisa belajar dari orang tua.

Sejak kecil anak dilatih untuk bersih-bersih rumah, beres-beres pakaian sendiri ataupun mencuci alat makannya sendiri. Bukankah ini juga ilmu yang tidak semua anak memiliki pemahaman yang sama dalam menyerapnya? Tentu ada yang rajin dan ada pula yang malas. Orang tua dituntut untuk mencari cara bagaimana agar ilmu yang mereka ajarkan bisa diterima anak dengan hati gembira.

Sebagian orang tua sudah berbakat dalam hal ini dan sebagian yang lain tetap berupaya entah lewat kursus-kursus parenting atau sejenisnya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran agar orang tua bisa menjadi guru sekaligus teladan bagi anak-anaknya.

Belajar dari Siapa dan Apa Saja

Ilmu lain yang tidak kalah penting adalah belajar mengelola emosi pada anak. Lingkungan keluarga sangat menentukan terbentuknya watak dan pribadi anak. Tidak akan sama karakter anak yang hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai kesopanan dan tenggang rasa dengan anak yang tumbuh kembangnya di lingkungan orang-orang yang mementingkan ego dan kurang peduli pada lingkungan.

Sopan santun juga sangat penting. Bila sejak kecil diajarkan cara-cara beretika yang baik dan dibiasakan saling hormat menghormati terhadap sesama, akan tampak bagaimana ia bersikap, bertutur dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Termasuk di sini cara menghormati dan memuliakan tamu, bertenggang rasa dengan tetangga dan tak lupa ada etika kita harus berjalan dengan sedikit membungkukkan badan ketika lewat di depan orang tua atau orang yang layak kita hormati. Kita tak akan pernah tahu ilmunya bila tak ada ‘guru’ yang mentransfer ilmunya ke kita.

Ada yang bilang, pengalaman adalah guru yang tak ternilai harganya. Menurutku ada benarnya karena ilmu dapat kita peroleh dari sumber mana saja selain dari guru di sekolah, termasuk dari pengalaman itu sendiri.

Baca Juga  Tetap Utamakan Adab di Tengah Cepatnya Perubahan Zaman

Bukan tak menghormati atau tak menghargai hadirnya sosok guru, tetapi kenyataanya bila hanya mengandalkan ilmu dari guru di sekolah tentu tidaklah cukup. Untuk menambah sekaligus melengkapi ilmu yang sudah ada, tak ada salahnya kita ‘meguru’ kepada binatang. Lho kok? Maksudnya, dari binatang kita bisa belajar tentang hidup. Contohnya kita belajar pada semut. Kerja samanya dalam mencari makanan, kerapian dalam berbarisnya dan kesetiaan kepada pemimpinnya.

‘Guru-Guru’ Kehidupan

Kadangkala secara tidak sengaja kita mendapatkan ilmu baru pada saat di tengah perjalanan atau di saat-saat yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Kejadian-kejadian di sekitar, bila kita cermati ada ilmu di sana yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.

Kendati dari guru kita dapatkan aneka ilmu atau pelajaran di sekolah, dari ilmu agama, matematika, ilmu alam, bahasa hingga pendidikan moral, namun orang tua tetaplah sosok guru nomor satu di dunia.

Tidak menjadi guru di sekolah bukan berarti bodoh. Seperti yang pernah kudengar, “Bisa apa dia? Dia kan bukan guru?” Eh, tunggu dulu, yang pinter tidak hanya guru di sekolah lho. Pribadi yang terampil, cekatan, cerdas, telaten dan sabar merupakan ‘guru’ yang bisa dicontoh nilai-nilai kebaikannya. Ada yang berani memelesetkan bahwa guru singkatan dari wagu tur kuru, padahal guru adalah digugu dan ditiru.

Memang benar, guru secara langsung menularkan banyak ilmu ke anak didiknya tanpa pamrih, tulus dan ikhlas sebagai amal jariyah demi mencerdaskan bangsa. Jasa dan pengorbanannya tak diragukan dan kita sadar tak mampu membalasnya. Tapi jangan lupakan orang tua dan orang-orang di sekitar kita yang dengan tulus pula telah membagikan ilmu-ilmu kebaikan secara langsung maupun tidak langsung. Mereka merupakan ‘guru-guru’ yang tidak bisa kita pandang sebelah mata.

Kepada orang tua dan kepada orang-orang tersebut, sudahkah kita ucapkan selamat dan berterima kasih?

Bagikan
Comments
  • Bu Guru Wiendy

    Sangat setuju….semua orang tua adalah guru bagi anak2nya…

    November 29, 2020
Post a Comment