f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
disabilitas

Persimpangan (Intersection) Antara Gender dan Disabilitas : Peran Perempuan dalam Gerakan Kesadaran dan Advokasi Disabilitas

persimpangan antara gender dan disabilitas

Perempuan dan disabilitas; dalam konteks advokasi masing masing dari dua kata ini kerap diasosiasikan dengan ketidaksetaraan, marjinalisasi, dan diskriminasi. Ketika dua kata ini digabung maka ekuasi  itu juga terjadi; dan karenanya literatur kerap menyebut perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi  ganda, bahkan multiple, karena adanya persimpangan( intersection) antara dua identitas ini.  Kondisi ini mendorong langkah langkah advokasi yang digagas oleh perempuan dengan disabilitas; dan tidak heran jika mereka selalu menjadi  bagian penting dalam gerakan-gerakan disabilitas di belahan dunia manapun. 

Pertanyaan yang menarik untuk dilihat adalah bagaimana posisi perempuan dalam gerakan advokasi disabilitas , dan pada saat yang sama bagaimana posisi mereka dalam gerakan perempuan dan gender. Siapa aktornya, bagaimana peran, langkah dan strategi gerakan perempuan dengan disabilitas dalam memperjuangkan hak dan mempengaruhi perubahan?

Kritik Perempuan Disabilitas dan Feminis Difabel

Jika kita menengok beberapa  literatur;  ada beberapa yang menyoroti kritik  perempuan dengan disabilitas terhadap gerakan gender yang dianggap kurang responsif dan menempatkan perempuan disabilitas dalam posisi marginal.  Merujuk pada fenomean glass ceiling; Arnou (2006 ) menyebutkan bahwa  perempuan dengan disabilitas harus menghadapi “glass wall’ ketika berhadapan dengan kolega  feminis. Dominasi mayoritas adalah salah satunya alasannnya; mayoritas aktivis gender adalah mereka yang tidak memiliki disabilitas ( Nixon, 2009).  

Feminis difabel seperti  Morrison (1997), McLaughin (2003), dan Sheldon (2004)  menyuarakan perbedaan pendekatan dan pandangan beberapa isu seperti kebebasan reproduksi,  pengasuhan dan otonomi bagi  perempuan dengan disabilitas. Singkatnya narasi diversitas dan upaya mendekatakan  dikotomi North dan South  dalam  gerakan gender sejak konggres Nairobi 1985 masih belum dirasakan oleh perempuan dengan disabilitas.

Pada saat yang sama, para feminis difabel mengkritisi gerakan disabilitas ( disability right movement) meminggirkan suara dan kepentingan perempuan; bahwa rasisme, seksime, dominasi dan hierarki baik berbasis jenis disabilitas maupun gender muncul dalam gerakan ( Morris, 1991). 

Organisasi Penyandang Disabilitas yang Mengusung Isu Perempuan di Indonesia

Meski wacana di atas tidak sangat kencang terjadi di Indonesia; dalam pengamatan penulis, fenomena di atas itu juga muncul, dan mendorong lahirnya organisasi organisasi penyandang disabilitas yang dimotori oleh perempuan dan mengusung isu perempuan. Beberapa di antaranya adalah Himpunan Wanita Dengan Disabilitas (HWDI) dan Sentra Advokasi Perempuan Dan Anak (SAPDA). Isu yang diusung tentu banyak  dekat dengan isu -isu perempuan seperti hak reproduksi, kekerasan berbasis gender, akses terhadap pelayanan kesehatan dan  pendidikan dan juga akses terhadap keadilan.      

Baca Juga  Tumbuhkan Kreativitas di Kala Pandemi

SAPDA, yang berbasis di Yogyakarta  misalnya sejak berdirinya di awal 2005 konsisten melakukan pendampingan terhadap perempuan dengan disabilitas yang mayoritas mengalami kekerasan berbasis gender,  juga melakukan edukasi kesehatan reproduksi. HWDI, sebagai organisasi yang lebih berbasis nasional banyak mainstreaming gender dalam ranah kebijakan pemerintah.

Komplek dan tingginya  isu sosial yang dihadapi perempuan difabel juga mendorong tokoh tokoh perempuan dalam organisasi-organisasi difabel yang berskala nasional seperti Pertuni ( Persatuan Tune Netra Indonesia ), Gerkatin (Gerakan Tuna Rungu Indonesia) dan PPDI ( Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia), Persatuan Jiwa  Sehat Indonesia (PJSHI) menyuarakan isu isu yang spesifik perempuan.  Salah satu implikasi dari perjuangan ini adalah munculnya pasal dalam UU no 8, 2016 tentang hak penyandang disabilitas yang secara sepsifik mengatur perempuan difabel.

Orang Tua dengan Anak Disabilitas

Aktor lain yang juga sangat penting, dan kerap belum banyak dilirik dalam gerakan advokasi disabilitas adalah orang tua anak dengan disabilitas.  Salah satu yang cukup menonjol adalah Wahana Keluarga Cerebral Palcy (WKCP) yang berbasis di Yogyakarta’. WKCP merupakan parent support group bagi  orang tua  yang memiliki anak dengan kondisi Cerebral Palcy (CP).  Kelompok ini berawal sebagai media sharing informasi orang tua terkait pelayanan kesehatan,  terapi dan juga isu isu parenting. Media sosial juga membantu munculnya kelompok orang tua berbasis online,  seperti  group facebook yang bernama LRD Member Suar Autism yang kini beranggotakan 11 ribu orang tua dari seluruh Indonesia. 

Di Yogyakarta,  ada organisasi Kompak yang juga merupakan support group bagi orang tua  yang memiliki anak dengan autism.  Tentu saja peran perempuan, ibu, sangat sentral dalam gerakan-gerakan ini. Keanggotaan didominasi oleh ibu dan isu yang kerap diusung dalam diskusi online ataupun offline berputar pada pengasuhan : diet, tumbuh kembang, terapi dan terapi yang secara masih menjadi tanggung jawab utama perempuan.  

Baca Juga  Pentingnya Kemampuan Literasi dan Numerasi Anak

Dalam perkembangannya,  organisasi orang tua juga melangkah pada wilayah kebijakan; dan mereka  menjadi pressure group bagi pemerintah  baik di level daerah dan maupun pusat. Mereka banyak memperjuangkan   hak dan akses anak anak dengan disabilitas di isu isu sentral seperti pendidikan dan kesehatan. WKCP misalnya menggandeng Universitas Gadjah Mada untuk mendorong keluarga melakukan test TORC sebagai upaya deteksi dini terhadap CP. Dari  aktivitas ini kemudian WKCP mendesakkan kepada pemerintah DIY untuk memasukkan  test TORC  dalam coverage Jaminan Kesehatan Khusus (Jamkesus) yang dimiliki oleh pemerintah DIY.    

Aktor -aktor perempuan, dalam parent support group menunjukan berkembangnya peran ibu dari ruang domestik pengasuhan anak; kepada ruang publik yang meliputi edukasi dan advokasi terhadap masyarakat dan juga kelompok penekan  bagi perubahan kebijakan. Dalam perubahan peran ini, perempuan diharuskan membangun jaringan  sebagai strategi utama. Networking dengan organisasi penyandang disabilitas kerap menjadi pilihan strategis mengingat kedekatan isu. WKCP di Yogyakarta misalnya banyak bekerja dengan UCP atau Roda Kemanusiaan, dan OHANA; dua organisasi difabel yang bergerak pada peningkatan teknologi bantu dan mobilitas bagi pengguna kursi roda. Kerjasama dengan pemerintah juga menjadi jalan lain yang ditempuh orang tua, terutama dalam mendorong perubahan kebijakan.  

Peran Perempuan dalam Advokasi Isu Disabilitas

Beralih pada isu strategi, dalam advokasi isu disabilitas dikenal pendekatan ganda (double approach) yakni spesifik dan inklusif. Yang pertama merujuk pada isu disabilitas sebagai isu yang berdiri sendiri dengan aktor difabel; sementara yang kedua adalah pendekatan yang mengarusutamakan isu disabilitas pada isu lain dan juga kelompok lain di luar kelompok disabilitas.

Di Indonesia pendekatan khusus lebih dominan dan dianggap lebih efektif; untuk memastikan suara dan kepentingan penyandang disabilitas sudah pasti terdengar, dan tidak terkalahkan oleh suara lain.  Ini mungkin menjadi salah satu penjelasan mengapa gerakan perempuan dengan disabilitas di Indonesia masih belum kuat berjejaring dengan gerakan gender,  atau memilih masuk dalam isu dan gerakan HAM. Penjelasan lain adalah resistensi masyarakat terhadap gerakan gender, apalagi feminis , yang dalam beberapa konteks masih sangat kuat.

Baca Juga  Utilitas Modal Sosial Perempuan dalam Kesiapsiagaan Bencana

Beberapa  aktivis gerakan disabilitas perempuan, seperti direktur SAPDA; menganggap  bahwa  gerakan advokasi disabilitas lebih bisa diterima  dan lebih cepat diadopsi  baik secara politis maupun kultural  dibandingkan dengan gerakan gender. Memang dari pengalaman penulis terlibat dalam penyusunan berbagai kebijakan terkait penyandang disabilitas; isunya masih kerap dianggap isu karitatif dan karenanya secara politis kerap sepi dari kepentingan.

Gerakan Disabilitas Perempuan dan Kelompok Gender

Namun dalam perkembangan terakhir; ideologi inklusifitas dan juga pertimbangan efektifitas dan akselerasi pemenuhan hak memunculkan adanya kritik dan kesadaran para pengusung isu disabilitas  untuk  mengambil pendekatan yang lebih inklusif dan berjejaring dengan berbagai stakeholder, kelompok  gender di antaranya.  Semakin disadari bahwa isu ini bersifat cross cutting, lintas sektor dan menyentuh semua aspek kehidupan; untuk itu maka pengarusutamaanya di semua sektor harus dilakukan.

Perjumpaan gerakan disabilitas perempuan dengan kelompok gender banyak terjadi pada isu  kekerasan seksual; maupun kekerasan domestik yang masih menjadi problem besar bagi perempuan difabel.   Komnas Perempuan misalnya dalam data terakhir sudah melakukan segregasi data pada kasus kekerasan perempuan dengan disabilitas.

Sebagai penutup,  perempuan dengan disabilitas maupun ibu dari  anak dengan disabilitas memainkan peran penting dalam gerakan pemenuhan hak penyandang. Diskriminasi ganda dan masih besarnya hambatan struktural dan kultural bagi penyandang disabilitas perempuan meniscayakan kehadiran perempuan dalam gerakan disabilitas di Indoneia.  Meski mainstreaming dan inklusifitas dalam gerakan semakin dilihat sebagai strategi  penting, namun  pendekatan khusus masih terlihat dominan. Langkah ini diambil untuk menjamin terakomodirnya  suara dan kepentingan perempuan dengan disabilitas, atau mencegah marjinalisasi sudah yang menjadi sejarah panjang bagi penyandang disabilitas.

Bagikan
Comments
Post a Comment