f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Muhammadiyah Dan

Muhammadiyah dan Relevansinnya dalam Penanganan Covid-19

Menurut Ahmad Syafii Maarif (Ketum PP Muhammadiyah 1998-2005), pada masa sekarang ini, apa yang disebut masyarakat Islam di Indonesia jauh dari posisi contoh baik yang mencerminkan suatu tatanan sosial yang benar-benar Islami (Ahmad Syafii Maarif, 2017; 267). Penyakit sosial seperti korupsi, jurang sosial antara si kaya dan si miskin yang menganga, serta isu keadilan sosial, membuat negeri ini jauh dari kata baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (lihat Surah Saba’15).

Persoalan-persoalan diatas, sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama, tidak terkecuali bagi umat Islam sendiri. Bagi Ahmad Syafii Maarif, umat Islam Indonesia benar-benar memerlukan suatu fondasi intelektual-spiritual keagamaan yang kukuh bagi aktualisasi dan pengembangan potensi mereka yang luar biasa itu (Ahmad Syafii Maarif, 2017; 270).

Lahirnya MCCC Bukti Muhammadiyah serius dalam Menangani Covid-19

Demi tujuan inilah, diperlukan pengertian, semangat dan kreativitas. Bertalian erat dengan pandemi Corona Virus Disease 2019. Ruh ijtihad dan semangat positif yang harus terus digalakkan dengan kuat dan semuanya memerlukan iklim organisasi yang sehat. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan menjadi garda terdepan dalam mengatasi setiap bencana yang terjadi di Indonesia termasuk Covid-19.

Muhammadiyah Covid-19 Command Center atau disingkat MCCC melalui kolaborasi MDMC dan Majelis Pembina Kesehatan Umum; merupakan bukti dari semangat positif dan kreativitas Muhammadiyah untuk menolong pasien Covid-19.

Dalam sejarah gerakan modern Islam di Indonesia tahun 1900-1942, Muhammadiyah menjadi salah satu diantara tiga gerakan pembaharu yang sangat berjasa hingga saat ini. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan.

Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan nama Kiyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869. Beliau adalah putra dari Kiyai Haji Abubakar bin Kiyai Sulaiman, Khatib di mesjid Sultan Yogyakarta. Setelah mendapatkan pendidikan dasar seperti nahu, fiqh, dan tafsir, di kota kelahiran dan sekitarnya; Dahlan muda pergi ke Mekkah pada tahun 1890 untuk berguru pada Syaikh Ahmad Khatib selama setahun.

Baca Juga  Penyimpangan Fitrah pada Manusia

Sekembalinya dari Mekkah, Kiyai Haji Ahmad Dahlan membawa semangat sosial keagamaan seperti mengubah arah sholat kepada kiblat yang sebenarnya; dan mengajak kepada kawan-kawannya yang tinggal di daerah Kauman untuk bekerja secara sukarela membersihkan jalan-jalan dan parit-parit. Hidup bersih dan higenis yang dilakukan Ahmad Dahlan masih relevan untuk diterapkan dimasa pandemi seperti sekarang ini.

Tiga Faktor Pendorong Lahirnya Muhammadiyah

Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Buya Hamka; Ia mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah ini (Ahmad Syafii Maarif, 2017; 91). Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia dalam hampir semua bidang kehidupan.

Kedua, suasana kemiskinan yang parah yang diderita umat di suatu negeri kaya seperti Indonesia. Ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah sangat kuno seperti yang terlihat pada pesantren saat itu (Hamka, 1952; 31-32). Motto Muhammadiyah, “Sedikit bicara, banyak bekerja” dan “Siapa menanam, mengetam” telah dikenal luas dalam perjalanan sejarah modenisme Islam di Indonesia.

Melalui semangat dan kreativitas, Muhammadiyah mempunyai maksud untuk “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah mendirikan berbagai macam lembaga (Deliar Noer, 1996; 86).

Sifat-sifat sosial dan pendidikan dari Muhammadiyah tempo dulu, memanglah masih relevan hingga saat ini. Melakukan berbagai macam kegiatan seperti shalat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka yang terdampak Pandemi Covid-19.

Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) mulanya organisasi yang berdiri sendiri dengan nama yang sama, didirikan pada tahun 1918 oleh para pemimpin Muhammadiyah untuk meringankan korban yang jatuh disebabkan meletusnya Gunung Kelud (Deliar Noer, 1996; 90). Lalu PKU melanjutkan usaha-usahanya untuk membantu orang-orang miskin dan yatim piatu di Yogyakarta sampai ia menjadi bagian yang khusus dari Muhammadiyah pada tahun 1921.

Baca Juga  Istiqomah Dakwah di Tengah Wabah
Aisyiyah Lahir Untuk  Mencerdaskan Ummat

Selain PKU, ada juga Aisyiah yang merupakan organisasi wanita dari Muhammadiyah. Secara resmi, organisasi ini menjadi bagian dari Muhammadiyah yaitu pada tahun 1922. Organisasi ini menekankan sekali pentingnya kedudukan wanita sebagai ibu.

Ia berpendapat bahwa oleh karena pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak adalah dirumah, maka wanita-wanita yaitu ibu-ibu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk kemajuan masyarakat  melalui asuhan dan didikan anak-anaknya sendiri.

Begitu pula pada masa Pandemi seperti sekarang ini, dimana metode pembelajaran sekolah dilakukan dirumah. Sehingga secara tidak langsung menuntut seorang ibu untuk dapat memberikan pembelajaran yang efektif, dan juga berguna bagi si anak dimasa depan. Oleh sebab itu, melalui semangat dan kreatifitas, serta dengan Motto “Sedikit bicara, banyak bekerja” dan “Siapa menanam, mengetam”, Muhammadiyah tidak henti-hentinya untuk selalu berkhidmat untuk negeri di tengah pandemi COVID-19. (Editor : Jajang)

Bagikan
Post a Comment