f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
jilbab masa kini

Kontestasi Jilbab Masa Kini: Dari Modernisasi Hingga Ambivalensi

Sebagai seorang muslimah, tentu tak akan asing dengan yang namanya jilbab. Sebuah kain yang pada umumnya dikenakan untuk menutupi bagian kepala dan juga sebagian badan. Merupakan suatu hal yang menurut penulis akan selalu menarik untuk dibahas dan dikaji, mengingat masih beragamnya pendapat dari berbagai orang, tak terkecuali para ulama.

Sejarah panjang akan jilbab sangatlah kompleks, termasuk kedatangannya sebagai budaya di Indonesia. Dari yang hanya dikenakan ketika beribadah saja, kemudian hanya dililitkan di leher, identik dengan kalangan santri, sebagai simbol kebebasan dalam beragama; hingga sampailah pada kini yang mana jilbab sudah menjadi simbol dalam hal berpakaian seorang muslimah. Walaupun nilai dasar/tujuan pemakaiannya beragam–yang kemudian mempengaruhi cara pakainya.

Terlepas dari cerminan jilbab sebagai busana muslim di Indonesia, yang juga menjadi sebuah kekhawatiran ialah perihal mulai pudarnya substansi jilbab pada seorang muslimah. Fenomena keberagaman jilbab yang saat ini mayoritas muslimah kenakan semakin mengafirmasi bahwasannya kebenaran itu relatif. Berbagai kelompok pengguna jilbab, dengan masing-masing keberagaman cara pakainya pasti mengklaim bahwa apa yang ia kenakan sudah benar dan tidak melanggar aturan syari’at. Namun yang disayangkan dari kerelatifan itu ialah justru kian hilangnya nilai substansi dari pemakaian jilbab itu sendiri.

Keberagaman Jilbab di Tengah Modernisasi

Secara normatif, pengenaan jilbab pada seorang muslimah memang jelas dan familiar di kalangan ummat Islam tentunya. Walau sebagian besar ulama sudah mengatakan bahwa wajib hukumnya dalam perihal jilbab pada seorang muslimah; namun masih ada beberapa pandangan berbeda yang lebih moderat yang memliki penafsiran berbeda akan hal tersebut.

Namun jika melihat pada konteks sosial per-hari ini, hampir para wanita yang beragama muslim (khususnya di Indonesia) menggunakan jilbab dalam style pakaiannya. Dalam hal ini, secara umum pemakaian jilbab memperlihatkan dua alasan. Pertama, adanya keinginan untuk berpegang pada nilai dan norma Islam. Kedua, tetap ingin disebut modern atau hidup sebagai manusia modern (bermula ketika pemakaian jilbab menjadi simbol ideologi pada masa orde baru). Yang mana dengan alasan tersebut, pemakai jilbab tidak ingin terjebak pada penempatan agama yang seolah-oleh berada di luar dunia modern.

Baca Juga  Tentang Harapan dan Hal-Hal lain yang Ingin Kita Ketahui

Kemudian seiring berjalannya waktu dan bertransformasinya budaya; jilbab kini telah diproduksi sedemikian rupa sehingga para muslimah dapat menemukan banyak produk dengan model yang berbeda. Dan beragamnya produk tersebut memiliki kelompok penggunanya masing-masing, sehingga muncullah istilah jilbab syar’i dan jilbab gaul (ataupun sebutan lainnya). Perbedaan model jilbab ini merupakan refleksi dari adanya klaim tentang model jilbab yang sesuai dengan tuntutan syari’at; dan ada kelompok tertentu yang mengklaim jilbab mereka pun sah dan haruslah mengikuti fashion yang berkembang.

Dengan kata lain, adanya perbedaan pandangan dalam berjilbab–karena berbagai pengaruh di dalamnya–muncul lah kontestasi di kalangan muslimah. Perbedaan gaya jilbab yang kemudian menuai munculnya perdebatan karena mode dalam pemakaiannya yang tidak lagi proporsional dan tidak lagi dengan filosofisnya.

Ketika Tuntunan Bertemu Tuntutan

Dalam Islam, pengenaan jilbab dan juga busana muslim bukanlah sekadar perihal etika dan kesopanan dalam hubungan sosial; melainkan juga sebagai bentuk keyakinan dan ketaatan pada agama. Fenomena ­fashion muslimah erat kaitannya dengan banyak faktor yang bekerja bergerak membentuk konstruksi sosial budaya muslimah di Indonesia. Pemakaian jilbab yang mulanya dan juga dasarnya merupakan pancaran ideologi, saat ini sudah bertransformasi kultural menjadi komodifikasi.

Motivasi seseorang dalam berhijab bervariasi. Memilih mode pakaian berarti menentukan peran tertentu harapannya sesuai dengan nilai yang berlaku dalam kebudayaan suatu masyarakat. Terkhusus dalam Islam sendiri, mereka yang mengenakan jilbab tentu saja secara tidak langsung ingin diakui pula sebagai bagian dari umat; yang mana jilbab di dalamnya merupakan sebagai salah satu simbol.

Jika berkaca pada realita saat ini khususnya di Indonesia, para pemakai jilbab sering dihadapkan pada pilihan yang bisa dibilang tidak mudah. Dalam konteks Indonesia, budaya sudah mengakar cukup kuat, sementara agama Islam masuk kemudian. Mereka berusaha mengawinkan budaya yang sudah ada dengan pemakaian jilbab tersebut.

Baca Juga  Meluruskan Perspektif Imam Ibnu ‘Asyur tentang Jilbab dan Menutup Aurat

Misalnya dalam upacara pernikahan. Di satu sisi pengantin ingin tetap mempertahankan pemakaian jilbab, tetapi di sisi lain mereka juga ingin memasukkan unsur budaya lokal yang boleh jadi “mengharuskannya” menggunakan beragam hiasan kepala atau juga busana yang cukup tipis dan ketat. Pada akhirnya, mereka bernegosiasi dengan kondisi ini dan mengambil jalan tengah dengan mengawinkan keduanya.

Fenomena tersebut merupakan suatu bentuk negosiasi sekaligus ambivalensi. Para muslimah di satu sisi ingin tetap menggunakan jilbab sebagai wujud kepatuhan, namun di sisi lain pun ada kepatuhan yang tak boleh diacuhkan. Kondisi demikian tidak hanya ada pada bentuk-bentuk budaya yang merupakan kearifan lokal dan sebagai sesuatu yang harus tetap dihormati; melainkan fenomena seperti itupun terjadi pada masyarakat yang melakukan interaksi sosial di perkantoran-perkantoran ataupun kedinasan.

Kembali Berangkat dari Kesadaran

Hingar bingar beragam model jilbab masa kini yang menurut sebagian harus semestinya update dengan perkembangan zaman dan juga mau tidak mau berpadu dengan budaya-budaya yang ada, menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Kondisi yang sedemikian rupa menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya esensi dari jilbab itu sendiri–atau bisa kita sebut keluar dari koridor syari’at. Namun di samping kekhawatiran tersebut, kita patutlah melihat trend berhijab ini sebagai sebuah momen kembalinya nilai-nilai religi masyarakat di tengah modernisasi.

Memang, perkembangan pemakaian jilbab dikalangan muslimah negeri ini tidak bisa diidentifikasikan sebagai meningkatnya nilai keagamaan pada setiap muslimah. Namun bukan suatu hal yang tidak mungkin jika pengenaannya pada seorang muslimah akan mengiringi tingkat keagamaannya, seiring nilai moral yang ia bawa ketika mengenakan jilbab. Dengan demikian modernisasi yang terjadi tidak serta-merta membuat seseorang menjadi sekular, akan tetapi bisa juga membanya kembali pada agama.

Baca Juga  Lima Belas Pesan Ulama bagi Para Pencari Ilmu

Maka, sebagai bentuk respon akan modernisasi dan juga melihat perkembangan jilbab yang semakin marak; dapat kita maknai bahwa tampil cantik tidak hanya bersifat sekuler dengan harus memperlihatkan bentuk lekukan tubuh ataupun bentuk pengumbaran anggota badan lainnya yang agama larang. Tetapi tampil cantik juga bisa dihadirkan dengan penampilan yang syar’i; yang tetap pada substansi dari pakaian itu sendiri sebagai penutup aurat.

Tinggal bagaimana seorang muslimah kini bisa dan berani bernegosiasi di tengah komodifikasi yang terjadi dengan tetap tidak menghilangkan esensi dari jilbab itu sendiri. Dengan kesadaran akan esensi dari jilbab dan juga diiringi oleh nilai moral yang diimplementasikan dalam berperilaku; maka seorang muslimah tentu akan bisa tetap eksis dalam ruang publik/sosial, di samping tetap patuh akan tuntunan agama.

Bagikan
Post a Comment