f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Tasbih

Tasbih Wak Sukri

Aku memanggilnya Wak Sukri. Beliau adik ayahku. Umurnya 70 tahun. Aku mengormatinya dengan nilai penghormatan yang sama besar seperti kepada ayahku. Terlebih lagi setelah ayahku tiada, beliaulah yang kini menjadi orang tua bagiku, panutan, keramat hidup jika meminjam istilah Wak Nani, istrinya.

Wak Sukri dan istrinya tidak memiliki anak. Tapi mereka tidak menjadikan itu masalah. Sejak kecil, aku dan adik laki-lakiku mendapat perlakuan laksana anak sendiri. Malah terkadang kami merasa mereka berdua lebih sayang kepada kami dibandingkan orang tua kami sendiri. Karena Wak Sukri dan Wak Narni tidak pernah memarahi kami, dan selalu membela kami. Walaupun hal tersebut kerap membuat ayah dan ibu kami kesal.

Saat kecil, aku dan adikku mengaji di Musala rumah Wak Sukri yang terdapat di halamannya, dan berjarak lima rumah saja dari tempat tinggal keluargaku. Gaya mengajarnya lembut namun tegas. Ia tidak pernah memukul tangan kami. Namun jika kami nakal, dihukumnya kami menyapu dan mengepel Musala.

***

Wak Sukri memang sudah tua, namun ia jarang sakit. Tubuhnya yang mulai renta, kulitnya yang mengeriput, dan giginya yang mulai rapuh seolah hanya penanda usia uzurnya.  Kehidupan sehari-harinya setelah pensiun dari guru agama SMA di kota kami, berpusat di Musala. Menjadi imam sholat, memberikan ceramah subuh dan pengajian malam Jum’at, mengajar mengaji, membaca buku, atau hanya duduk berzikir saja.

Satu hal yang menjadi ciri khas Wak Sukri saat melakukan semua aktivitasnya itu adalah tangannya tak pernah lepas memilin butiran tasbih kayu Kaukah berwarna hitam mengkilap. Tasbih itu sudah ia miliki sejak masih muda, oleh-oleh dari ayahnya sepulang beribadah haji. Ia tak pernah menggantinya dengan tasbih yang lain. Pernah adikku menghadiahkannya tasbih baru, tapi hanya ia gunakan sekali dua kali, kemudian kembali lagi ke tasbih lamanya. Baginya, tasbih itu mungkin sudah bersenyawa dengan jari-jarinya. Tak terpisahkan.

Baca Juga  Belajar dari Covid-19

Tak ada yang berani menyentuh tasbih Wak Sukri, termasuk Wak Warni. Karena Wak Sukri memang tak mengizinkan orang lain memegangnya. Orang-orang hanya bisa menatap saja tasbih legam itu berputar mengelilingi jemari Wak Sukri. Mengiringi kalimat-kalimat zikir yang ia lafalkan dalam hati.

***

Namun, entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kasak-kusuk tersiar kabar bahwa tasbih Wak Sukri itu bertuah. Aku sendiri yang mendengar kasak-kusuk itu, ketika melewati warung kopi sepulang dari mengajar di SD di desa sebelah. Para tetangga yang sedang membicarakan isu tersebut spontan memanggilku.

”Rustam, benar Wak Sukri sekarang bisa ngobatin orang sakit?” tanya Pak Samidi.

Aku menggeleng. ”Saya baru dengar ini. Tapi kan memang biasa Wak Sukri mendoakan orang yang sakit supaya sembuh,” ujarku.

”Bukan masalah doa. Tapi katanya tasbih Wak Sukri itu sebenarnya mengandung mukjizat. Air yang dicelupin tasbih itu bisa jadi obat.” Tetangga yang lain menjelaskan.

***

Waduh!

”Info dari mana itu?!” tanyaku kaget. ”Sudah ada bukti?!” tandasku menimpali.

Tak percaya aku mendengar hal tersebut.

”Si Sarif yang bilang. Dia udah nyoba. Sakit maag nya langsung hilang katanya. Terus, bisa entengin jodoh juga katanya.” Ujar seorang warga.

”Bisa buat lancarin rezeki juga!” sambung yang lain.

Aku tak mau mendengar lagi kelanjutannya. Bergegas kutinggalkan warung dan langsung menuju rumah Wak Sukri. Lebih baik aku bertanya kepada uwakku itu langsung saja untuk menjawab rasa penasaranku.

***

Di Musala, aku tak menemui Wak Sukri. Namun, ada ada empat orang tidak kukenal duduk-duduk di terasnya.

Aku pun melangkah ke rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat. Tak biasanya rumah ini tertutup rapat begini. Kuputar langkahku ke jalan di samping rumah, dan kemudian mengitari sisi kanan bangunan menuju pintu belakang. Kuucapkan salam perlahan.

Wak Warni membuka pintu dan menyuruhku masuk. Tangannya diacungkan ke arah kamar untuk menunjukkan keberadaan suaminya.

Baca Juga  Hitam Putih Hati

”Dia ngga mau ke mushola kalau orang-orang itu belum pergi. Pintu dan jendela disuruh dikunci.” Wak Warni tampak cemas.

Di kamar, Wak Sukri sedang duduk di kursi sambil memilin tasbihnya. Bibirnya bergerak-gerak kecil.

”Wak?” Aku menghampirinya.

”Rus,” sambutnya. ”Kenapa itu orang-orang pada mendadak datang minta air tasbih?” tanyanya.

Air tasbih. Aku tertawa dalam hati.

***

”Katanya ada yang pernah minum air celupan tasbih dari Wak, terus sakitnya sembuh,” kataku sambil duduk di sampingnya.

”Kata siapa?! Ga pernah uwak celup-celupin tasbih ke air trus dikasi ke orang buat obat. Musyrik itu!” Wak Sukri muka merahnya menahan kesal.

”Apa pernah Wak kasi pinjam tasbih itu ke orang lain?” tanyaku hati-hati.

Kepala Wak Sukri menggeleng.

Aku percaya.

”Kau usirlah orang-orang itu, Rus!” Laki-laki tua itu menyuruhku. ”Bilang tasbih wak ini tasbih biasa. Tidak ada khasiatnya.”

Aku mengangguk. Segera kulaksanakan perintah Wak Sukri untuk meminta tamu-tamu tak diundang itu menanggalkan niatnya. Mereka tampak kecewa, tapi kemudian pergi juga meninggalkan Musala. Sore hingga malam itu, Wak Sukri pun dapat beribadah dengan tenang di Musala.

***

Adik laki-lakiku kutugasi mencari Sarif dan memintanya penjelasan mengapa menyebarkan isu yang tidak benar tentang tasbih Wak Sukri. Namun, pemuda pengangguran itu tidak dapat ditemukan. Ibunya sendiri tidak tahu kemana anaknya pergi.

Esok paginya, Musala Wak Sukri kembali didatangi sejumlah orang yang mengatakan ingin berikhtiar memohon air tasbih Wak Sukri sebagai obat. Lelaki tua itu menolak dan menjelaskan dengan sabar bahwa berita yang mereka yakini tentang tasbihnya tidaklah benar. Ketika orang-orang tersebut tak juga mau pulang, Wak Sukri pun kembali mengunci  dirinya di rumah.

Hari ketiga, sehabis Salat Dhuha, orang-orang yang kemarin dan yang lainnya muncul lagi. Mereka kembali menyatakan keinginannya meminta Wak Sukri memberikan air celupan tasbihnya.

Baca Juga  Peto si Anjing Jalanan

Aku yang diminta Wak Warni hadir menemani suaminya dapat merasakan kemarahan yang tertahan di urat leher Wak Sukri. Tapi kali ini ia tak berkata apapun. Jemarinya terus memilin butiran tasbihnya. Setelah beberapa saat, ia menyuruhku mengambilkan baskom dari rumah.

Setelah dapat, ditaruhnya baskom plastik itu di hadapannya. Kemudian tasbih yang membawa keresahan itu ia letakkan di telapak tangan kirinya. Ditatapnya dan kemudian dibolak-baliknya. Tamu-tamunya terlihat mulai tersenyum. Mungkin mereka mengira akhirnya Wak Sukri berubah pikiran, dan akan memberikan yang mereka incar.

Jantungku berdebar keras menanti tindakan Wak Sukri selanjutnya. Jika uwakku itu akan menuruti kemauan mereka, mengapa baskom itu tidak disuruhnya diisi air? Ketika hatiku mencoba menebaknya, tiba-tiba saja kedua tangan rentanya menarik tasbih itu hingga putus talinya. Butir-butir kayu tersebut berhamburan jatuh ke dalam baskom.

Para tamunya terkejut tak menyangka. Wajah beberapa dari mereka pucat. Aku berusaha keras menahan tawa.

***

Kalian dengar ya! Tasbihku itu tidak ada khasiatnya apa-apa. Dan sekarang ini sudah bukan jadi tasbih lagi. Cuma biji-biji kayu biasa. Tidak ada manfaatnya. Sekarang kalian pergi saja dari sini. Jangan datang lagi kalau tujuannya bukan mau sholat atau bukan mau mengaji!”

Orang-orang tersebut satu-persatu beranjak pergi. Tawaku pun lepas setelah tinggal aku dan Wak Sukri saja di mushola.

Kau kubur saja ini semua! Daripada mengundang fitnah dan syirik.” Wak Sukri menyodorkan baskom berisi butiran kayu itu kepadaku.

Hari-hari selanjutnya, berjalan seperti biasa. Kehidupan Wak Sukri tetap berpusat di musalanya. Ia tak lagi memegang tasbih. Meski demikian, ia tetap tak melewatkan dzikirnya. Kuperhatikan, ibu jarinya bergerak-gerak menandai ruas-ruas jemarinya untuk menghitung lafaz dzikirnya.

Bagikan
Post a Comment