f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pedesaan

Mengeja Peranan Perempuan di Pedesaan

Secara fisik membaca perbedaan laki – laki dan perempuan amatlah sangat mudah. Jelasnya, berangkat dari perbedaan inilah, pemisahan peran laki – laki dan perempuan itu terbangun. Di desa, terminologi patriarki, dominasi pria, adil gender dan feminisme tidak begitu popular. Masyarakat desa tidak mengenal nama – nama tersebut dalam kehidupan praksisnya.

Sehari – harinya, para perempuan di pedesaan beranggapan bahwa dominasi laki-laki tidak menjadi hal yang amat krusial, sehingga perlu forum yang membuka ruang diskursus untuk membahas ini secara detail. Isu adil gender mencuat hanya di hulu (kota), bincang keperempuanan tumbuh subur, menjadi porsi besar yang diperbincangkan.

Ada yang lupa, konsepsi adil gender tidak teraliri sampai hilir (desa), literasi gender tidak diperkuat di sini. Perempuan – perempuan di pedesaan masih mengeluh di gardu – gardu posyandu dan warung – warung kecil. Obrolan keluh mereka ikhwal suami/rumah tangga/kehidupan sangat terbatas. Hak – haknya tidak terpenuhi. Selepas itu, lebur dan kabur.

Diskriminasi Gender di Pedesaan

Memasuki usia 15 tahun, secara kasar, katakanlah perempuan di desa sudah ‘dikawinkan’. Anak perempuan dianggap beban, segeralah mereka mengawinkan sebagai solusi atas pengurangan beban.

Hal ini diperteguh oleh pernyataan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang menyebutkan bahwa angka pernikahan dini lebih tinggi terjadi di desa. Ini disebabkan karena kultur desa yang terkesan melumrahkan perkawinan anak.

Atau langkah solutif pengurangan beban yang lain ialah dengan memberangkatkan diri ke kota dan luar negeri, menjadi ART (Asisten Rumah Tangga) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita).

Sampai sekarang ini masih menjadi pendapat mayoritas bahwa perempuan tidak bisa disamakan dengan laki – laki, karena secara fisik dan kodrati memiliki perbedaan. Budaya patriarki, membuat laki – laki superior, hegemoni dan dominan atas perempuan. Perempuan hanya boleh di ruang domestik, dan hanya laki – laki yang boleh di ruang publik.

Baca Juga  Mendobrak Stigma tentang Perempuan

Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat dalam kurun waktu 11 tahun. Pada 2019 kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus. Angka ini meningkat 693% dari 2008 yang hanya 54.425 kasus.

Persentase kekerasan terhadap perempuan ini tentu terjadi di kota dan di desa. Tapi, perbedaan edukasi yang diterima oleh perempuan desa dan kota berbeda. Di pedesaan, kekerasan terhadap perempuan utamanya seksual atau fisik diterima tanpa dilaporkan. Menganggap sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah.

*

Yang terbaru, seorang perempuan di salah satu desa di Bangkalan, Jawa Timur berinisial SR (21) ditemukan meninggal dunia (9/7/20). Ia diduga bunuh diri lantaran frustasi. Karena diperkosa oleh delapan pemuda secara bergantian. Atau kasus lain. Selasa, (7/720) di desa Merdeka, Karo, Sumatera Utara. Wanita dengan inisial JL (22) tewas mengenaskan setelah dianiya suaminya sendiri di rumahnya.

Kekerasan ini berakar dari ketidakberimbangan relasi kuasa laki – laki dengan perempuan. Realitas ini mendeskripsikan bahwa laki – laki mempunyai superioritas atas perempuan, dan perempuan masih dipandang sebagai objektifikasi seksual semata.

Jeritan – jeritan perempuan yang menuntut kemerdekaan atas dirinya masih terdengar di tiap – tiap sudut, mereka terjebak dalam parit diskriminasi gender, tak bisa keluar dari parit, untuk merasakan merdeka seutuhnya.

Di kota, sebagian besar perempuan telah mengalami akselerasi pewujudan adil gender. Jabatan publik sudah bisa didapat dan kualitas pendidikan mengalami kemajuan. Sayang, secara metodologi, adil gender tidak terhilirisasi ke desa. Di desa, perempuan masih menjadi warga kelas dua. Di berbagai sektor kehidupan, perbedaan status perempuan dengan laki – laki masih sangat kental.

Demografi Indonesia yang multikultur, membuat semua daerah tidak mendapatkan akses yang sama dan  berimbang. Di desa – desa, perlindungan pendidikan, edukasi reproduksi, dan jaminan atas kehidupan pada perempuan belum mendapatkan tempat yang nyaman. Disparitas gender seperti ini menjadi hal yang rumit untuk diselesaikan.

Baca Juga  Perempuan Wajib Berpendidikan Tinggi

Kebijakan negara yang abai terhadap perempuan terus akan membuat perempuan termarjinal, belum mewakili kebutuhan dan kepentingan perempuan. Tapi, tidak bisa menyebut siapa yang salah. Sebab masyarakatpun melegalkan hal yang demikian.

UU Desa, Harapan dan Mengeja Peranan Perempuan

Desa adalah unit negara yang paling mikro dan dekat dengan rakyatnya. Sebagai unit yang paling dekat dan lebih dulu ada dari pada Negara, keberadaan desa dan rakyatnya memiliki peranan yang sangat sentralistik dalam pembangunan Negara.

Di usia Republik yang semakin menua, desa posisinya berada di dekat jurang karena diferensiasi pembangunan negara yang cenderung berpihak pada kota. Reformasi sedikit membawa angin segar untuk posisi desa agar bisa dibawa ke tengah oleh Negara.

Pada 2014, UU Desa atau UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa telah disahkan oleh Negara. Ini menjadi bagian baru relasi desa – negara. Negara mulai mengakui eksistensi desa sebagai wilayah yang otonom, baik sebagai sebuah kesatuan hukum maupun kesatuan adat di Nusantara.

Dengan harapan, UU Desa akan mengakomodasi desa untuk berdaya, kuat, maju dan demokratis. Desa menjadi subyek yang perkasa, yang hidup forum – forum yang membuka ruang diskursus, sehingga tercipta komunitas desa yang inklusif.

Perempuan dan desa adalah dua wujud yang tidak bisa dipisahkan. UU Desa adalah ruang penguatan bagi perempuan untuk mengeja peranannya. Tentu, ini menghabiskan energi yang tidak sedikit. Pertama, harus ada distribusi pengetahuan pada masyarakat desa tentang kesetaraan gender. Pembangunan gender yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pedesaan serta penguatan literasi gender yang menciptakan kesadaran gender.

Kedua, setelah berpengetahuan, perempuan desa mesti proaktif dalam perencanaan pembangunan desa. Dengan adanya UU ini, perempuan desa menjadi bagian dari perumus kebijakan desa, membentuk komunitas – komunitas sosial – kontrukstif yang mendukung women empowerment (pemberdayaan perempuan). Sehingga, desa dan masyarakatnya tidak lagi memandang perempuan sebagai “yang harus didominasi”. Tidak ada lagi pemisahan ruang domestik dan ruang publik. Identifikasi pasifitas perempuan harus sudah dihilangkan.

Baca Juga  10 Isu Strategis 'Aisyiyah : Narasi Alternatif Jawab Problematika Bangsa dan Dunia (1)

Lahirnya UU Desa adalah harapan baru bagi perempuan – perempuan desa untuk mencapai pemenuhan hak – haknya dalam multi aspek. Sosial, ekonomi, sipil, politik, dan budaya. Perempuan – perempuan desa mempunyai kuasa absolut atas otonomi dirinya, demi tercapainya kesejahteraan perempuan itu sendiri.

Bagikan
Post a Comment