f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
islam

Media Belajar Islam, Hari Ini

Dalam sebuah perjalanan, aku bersama beberapa teman saling bercerita. Mulai dari persoalan remeh-temeh, hingga permasalahan yang agak serius, yang sedang terjadi di negeri ini. Seperti persoalan agama, politik, hingga praktik politik praktis yang berlindung di balik topeng agama yang sebagian kita maknai secara normatif. Di tengah perbincangan yang sedang asyik, salah satu teman mengungkapkan keinginannya. Ia mengatakan, suatu hari nanti setelah ia belajar agama Islam dengan benar dan lengkap, ia akan mengenakan hijab. Saat ini ia belum mengenakan hijab karena merasa masih belum cukup ilmu agamanya.

Cepat kemudian aku bertanya, “Kalau boleh tahu, gimana caramu belajar tentang agama Islam selama ini?” Dengan nada yang meyakinkan ia menjawab, “Aku belajar lewat Internet, dong! Aku bisa belajar, tinggal cari apa yang aku ingin ketahui. Klik, muncul semua penjelasan. Aku bersama teman lainnya tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan penjelasannya.

Jawaban temanku tersebut membuatku berpikir kembali, tentang bagaimana cara manusia sekarang mendapatkan informasi dan pengetahuan. Lebih banyak berasal dari satu pintu utama bernama internet. Di zaman sekarang, siapa sih yang enggak kenal Internet? Hanya imajinasi yang mampu membatasi pengetahuan yang bersumber dari sini. Internet menyediakan semua platform untuk segala pengetahuan bagi seuruh kalangan.

***

Hal ini mengingatkanku pada nasihat seseorang, jauh beberapa tahun yang lalu. Ia pernah mengatakan kepada aku bahwa betapa makin homogennya kepala manusia nanti. Seluruh informasi dan pengetahuan yang manusia miliki hanya akan diberikan dan diperoleh dari satu mesin memori bernama internet. Fenomena ini juga berlaku pada pola interaksi manusia dalam aspek kehidupan beragama.

Masyarakat digital menuntut adanya penyederhanaan dari keragaman penafsiran hasil ijtihad alim ulama terdahulu. Tujuannya agar lebih mudah masyarakat digital konsumsi dan pahami. Penyederhanaan ini ditunjukkan dalam bentuk jawaban hitam atau putih, sah atau batal, halal atau haram, serta polarisasi dua jawaban lainnya. Bahkan pilihan lain seperti makruh dan mubah saja mulai terabaikan sebagai alternatif jawaban.

Baca Juga  Meneguhkan Moderasi Beragama bagi Kawula Muda

Jawaban atas pertanyaan seputar agama tersebut tersedia dalam banyak situs website. Bahkan desain kemasannya sangat menarik dan kekinian. Pun tersedia dalam berbagai platform yang selalu update secara intensif melalui media sosial. Sementara cara mendapatkan jawaban secara tradisional, sudah masyarakat digital anggap membosankan dan perlahan mulai mereka tinggalkan.

Mengkaji kitab-kitab tafsir memakan waktu terlalu lama. Tidak pernah ada waktu untuk sekadar bertemu dengan kiai untuk bertanya persoalan agama secara langsung. Apalagi kitab turots dengan volume berjilid-jilid, yang butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk bisa menghatamkannya. Proses panjang dalam menggali ilmu-ilmu keislaman tersebut dapat secara singkat masyarakat peroleh dengan adanya internet. Meskipun kebenarannya masih memerlukan verifikasi lebih dalam.

***

Ketika tiba-tiba ada keributan yang pecah mengenai tema-tema kontroversial, justru akan muncul pelabelan di antara masyarakat. Meskipun pada dasarnya, keributan itu sendiri tidak terlalu penting untuk diikuti. Tema yang sempat menjadi perdebatan panjang di media sosial ialah adanya konsep Islam Nusantara.

Kalangan yang menentang adanya konsep Islam Nusantara beranggapan bahwa Islam hanya satu. Islamnya Nabi Muhammad yang turun di Arab. Jika sudah seperti ini maka akan muncul labelisasi dari kelompok lain. Mereka akan mendapat label sebagai kelompok radikal dan tidak punya rasa nasionalis.

Sementara kalau ada yang menjawab bahwa Islam Nusantara itu ada, mereka akan beralasan bahwa Islam Nusantara menjadi bentuk ekspresi Islam di Indonesia. Mereka akan mendapat stigma sebagai ulama liberal, syirik, hingga kafir. Perdebatan semacam ini bahkan telah masuk dalam ranah politik animalia. Panggilan cebong dan kampret masuk dalam onjek kajian agama.

Proses pembelajaran beragama terus terseret dalam ruang-ruang yang tidak lagi bertujuan untuk mendapatkan ‘jawaban’. Melainkan telah diarahkan untuk membentuk ‘diskursus’ politik atau ideologi kelompok tertentu. Oleh karena itu, Islam moderat berusaha untuk mengembalikan kembali ghirah beragama dalam konteks masyarakat digital ini.

Baca Juga  Bra Tidak Haram, Perempuan Bukan Sumber Fitnah
***

Moderasi Islam memiliki peran agar seorang muslim mampu menempatkan segala sesuatu secara moderat. Untuk menjadi moderat harus mengetahui keberagaman dan alternatif jawaban dari setiap pertanyaan tentang keislaman. Hal itu sangat penting karena sebagai barometer untuk mengetahui seberapa banyak titik moderatnya. Sebab setiap ulama memiliki prioritas dalam mempertimbangkan jawaban dari setiap pertanyaan. Entah itu pertimbangan maslahah atau penggunaan dalil.

Dalam salah satu tulisan Gus Dur, beliau sangat memahami fungsi “Kiai Kampung”. Mereka adalah para santri yang belajar bertahun-tahun. Memahami pertanyaan dari masyarakat sekitarnya tidak hanya berdasarkan pengalaman berdialog dengan kitab-kitab. Tetapi juga mampu memberi konteks dan memenuhi kebutuhan atas jawaban agar tetap memiliki payung hukum Islam. Namun, tradisi itu tidak lagi efektif dalam membumikan Islam Moderat.

Bentuk komunikasi antar personal yang berpindah dari sesuatu yang ‘nyata’ menjadi citra yang ‘maya’, juga mengubah bagaimana tradisi ‘belajar’ dan ‘bertanya’. Hal ini menjadikan penjelasan yang kompleks harus disederhanakan. Faktor konteks dan metodologi istimbath tidak lagi menjadi pertimbangan. Justru keragaman jawaban sebagian masyarakat anggap menjadi penghambat pemahaman karena mereka rasa sangat memusingkan.

Akibatnya kebanyakan konten bermuatan agama di media sosial memungkinkan adanya hubungan egaliter dalam berkomunikasi. Berbeda dengan pengajian tradisional yang lebih mengedepankan nilai-nilai karismatik dan unggah-ungguh. Proses untuk mendapatkan kebenaran dari setiap pertanyaan bukan menjadi tujuan akhir dalam bentuk komunikasi yang egaliter ini.

***

Selain itu kebenaran bukan dilihat sebagai proses belajar, tetapi bagaimana objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi memihak pada keyakinan tertentu. Masyarakat akan dengan mudah berdebat dengan logika apapun untuk memaksakan kebenaran dalam versinya. Tidak ada penghormatan terhadap ilmu pengetahuan, termasuk upaya untuk mengklarifikasi informasi, serta tidak tercerminkan keberagaman dalam kebenaran.

Baca Juga  Filantropi Islam Berbasis Media Sosial

Emosi mengalahkan fakta objektif. Sehingga proses belajar bukan lagi tentang cara dalam memperoleh jawaban yang benar. Melainkan telah beralih menjadi hasil akhir berupa betapa menyenangkannya sebuah jawaban. Tantangan ini berlaku bagi siapapun yang mau belajar. Tanggung jawab untuk memahami dan menularkan proses dalam beragama yang variatif menjadi lebih besar.

Visi pendidikan yang menuntut agar memiliki output yang tidak hanya berilmu tetapi juga beiman dan bertakwa diharapkan menjadi wujud gerakan baru dari Islam moderat. Juga diharapkan menjadi dasar pembelajaran keislaman, baik untuk Anda sendiri maupun lingkungan masyarakat sekitar.

Bagikan
Post a Comment