f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
pencegahan stunting

Kesetaraan Gender dalam Pencegahan Stunting

Proporsi status stunting di Indonesia berada di angka 29,9%,  setara 7 juta balita, atau dengan kata lain 1 dari 3 baduta dan balita mengalami stunting (Riskesdas, 2018). Angka ini memang mengalami penurunan dari angka 2013 namun tidak terlalu signifikan, yaitu sekitar 7%.  Penurunan ini kembali memperoleh tantangan dengan adanya Pandemi Covid 19, yang menurut Bappenas terdapat tambahan sekitar 700 anak mengalami stunting. Di tingkat dunia, sekitar 0,7 juta tambahan anak yang stunting di dunia karena penurunan perekonomian 1% di dunia akibat Covid-19. Indonesia perlu lebih bersiap lagi karena angka ini dapat terus melambung di masa mendatang jika memang sampai terjadi resesi ekonomi.

Lalu, apa hubungan isu gender dengan stunting? Kedua isu ini jarang dibicarakan berdampingan dan seolah hidup dalam dunianya masing-masing. Namun, apabila kita gali lebih lanjut, isu gender memiliki peran signifikan pada penyebab dan sangat penting diperhatikan dalam upaya pencegahan stunting.

Faktor Terjadinya Stunting

Terdapat dua kelompok besar yang menjadi faktor penyebab terjadinya stunting, yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung yang dimaksud adalah rendahnya asupan gizi dan status kesehatan (UNICEF, 2013). Faktor langsung ini berhubungan dengan ketahanan pangan bergizi; Lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan); Akses terhadap layanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan); Kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan).

Keempat faktor tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Sedangkan faktor tidak langsung berhubungan dengan berbagai faktor, antara lain kesenjangan ekonomi, pendapatan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, pembangunan dan pemberdayaan perempuan. (TNP2K, 2018).

Dilihat dari kedua faktor tersebut, masalah kesetaraan gender tersirat di dalam faktor langsung maupun tidak langsung. Pertanyaan penting yang perlu diajukan ketika menggunakan tools analisis gender pada faktor langsung dan tidak langsung diantaranya adalah; Apakah dari penyebab stunting tersebut terdapat problem pada perempuan dalam memperoleh akses, dilibatkan (partisipasi) dalam pengambilan kebijakan, kontrol dan menerima manfaat yang setara dan adil. Baik saat perempuan sedang dalam masa hamil dan menyusui, atau mulai dari saat pra konsepsi bahkan saat perempuan tersebut masih remaja.

Baca Juga  Relevankah Diksi Pelakor?
Kemitrasejajaran Keluarga dalam Pemenuhan Gizi

Kita dapat mengambil beberapa contoh. Misalnya, dalam akses makanan bergizi, tidak hanya kemiskinan saja yang dapat mempengaruhi perempuan tidak memperoleh gizi yang baik. Di dalam budaya tertentu, Jawa misalnya, akses makanan yang bergizi didahulukan untuk suami daripada istrinya. Perempuan dididik mendahulukan kepentingan suami dalam segala hal, termasuk akses  makanan yang tersedia. Sehingga akses perempuan pada gizi yang seimbang rentan tidak diperoleh secara memadai.

Selain itu, masalah gizi seolah hanya menjadi masalah perempuan. Ini tercermin dari riset TNP2K pada tahun 2014 yang menemukan bahwa 75% responden masih meyakini persoalan gizi dianggap sebagai tanggungjawab perempuan. Di dalam pengambilan kebijakan dalam keluarga yang seringkali menempatkan perempuan sebagai subordinat. Masalah gizi rentan dijadikan nomor kesekian dibanding masalah keluarga yang lainnya.

Contoh lainnya adalah dalam pola pengasuhan anak. Masyarakat masih banyak yang menempatkan pengasuhan anak hanya pada perempuan, yang tidak sedikit telah memberikan beban berlebih bagi perempuan. Terutama di masa pandemi Covid-19. Kelelahan pada perempuan dapat berdampak pada kesehatan, terutama bila dikaitkan dengan kesehatan psikologis yang juga berjalin berkelindan dengna kesehatan reproduksi.

Perkawinan Anak dan KDRT, Penyebab Tingginya Stunting

Faktor lain yang tak kalah berkontribusi adalah masih maraknya perkawinan anak merupakan salah satu faktor tingginya angka stunting di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat  hubungan antara usia ibu saat menikah dengan angka stunting. Terlihat kecenderungan  semakin muda usia ibu saat menikah maka proporsi batitata dengan status stunting semakin meningkat (Afifah, 2011). Penelitian lain (Raj. A, Sagurti, 2010) juga menunjukkan bahwa kehamilan yang terjadi pada perempuan yang menikah dini secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting dan wasting (kurus), serta underweight (gizi kurang).

Baca Juga  Peran Perempuan di Masa Rasulullah dan Sahabat

Perkawinan anak sangat lekat dengan masalah kesetaraan dan keadilan gender. Karena perempuanlah yang seringkali dikawinkan dalam usia masih anak-anak karena bebeberapa alasan. Antara lain faktor kemiskinan, menjaga hubungan keluarga besar, melindungi dari  hamil di luar nikah, dan faktor lainnya.

Sedangkan dampak perkawinan anak bagi perempuan tidak sederhana  karena rentan menimbulkan persoalan kesehatan reproduksi yang belum siap hingga resiko kematian. Perkawinan anak juga rentan menyebabkan pola pengasuhan dan managemen keluarga yang juga belum matang sehingga berdampak pada status gizi ibu dan anak.

Bagaimana dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? Sebuah penelitian gabungan yang dilakukan para peneliti Harvard School of Public Health, Muhimbi University, dan Imperial College London (Bulletin WHO, 2016). Menghasilkan kesimpulan bahwa paparan ibu terhadap kekerasan secara substansial meningkatkan resiko stunting pada anak-anaknya.

Penelitan tersebut menunjukkan hubungan antara KDRT terhadap prevalensi stunting terjadi, baik kekerasan yang dialami perempuan dari golongan kaya maupun yang berpendidikan rendah. Dalam beberapa kasus, depresi ibu berkaitan dengan kelahiran anak dengan berat badan rendah, resiko prematuritas yang lebih tinggi dan peningkatan resiko komplikasi persalinan.

Pengasuhan seharusnya menjadi concern keluarga, baik laki-laki dan perempuan, sehingga terdapat kemitrasejajaran di antara keduanya. Pengasuhan yang tidak dibiasakan untuk berbagi, akan menimbulkan kesenjangan pemahaman pada kelompok laki-laki dalam perannya meningkatkan gizi keluarga, pola pengasuhan serta bagaimana menciptakan suasana kondusif keluarga baik secara psikologis maupun lingkungan fisik.

Urgensi Membangun Kemitrasejajaran

Dilihat dari pengaruh ketidakdadilan dan ketidaksetaraan gender pada angka stunting, maka kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam memerangi stunting menjadi suatu unsur penting yang perlu dikuatkan. Paradigma ini harus melekat pada masyarakat dan pengambil kebijakan mulai dari akar rumput hingga tingkat nasional.

Baca Juga  Tentang Kamus yang Tak Ramah pada Perempuan

Beberapa hal yang perlu dikuatkan agar kemitrasejajaran ini terbentuk. Antara lain: pertama, membangun cara pandang bahwa peran laki-laki dan perempuan adalah setara dalam rumah tangga baik dalam pengambilan keputusan, akses sumberdaya dan pengasuhan. Cara pandang yang setara akan mendorong saling mendukung suami dan istri dalam pengasuhan. Akses gizi, pengembangan diri baik perempuan dan laki-laki, urusan sanitasi,  dan lain sebagainya. Kedua, meningkatkan kemitraan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan perkawinan anak oleh kelompok laki-laki dan perempuan. 

Ketiga, partisipasi yang setara baik laki-laki dan perempuan dalam isu-isu gizi, kesehatan reproduksi, termasuk diantaranya masalah stunting. Masalah gizi dan reproduksi seharusnya bukan menjadi hal yang asing bagi kelompok laki-laki sehingga dapat lebih memahami kebutuhan gizi dan dukungan untuk kesehatan reproduksi keluarga. Pemahaman ini juga akan menjadi sangat penting dalam konteks penyusunan kebijakan di berbagai lini, baik pemerintah maupun sektor ketenagakerjaan. Pemenuhan hak menyusui, cuti haid, dan fasilitas lainnya saat ibu bekerja perlu menjadi perhatian agar pencegahan stunting didukung dari semua sektor.

sumber: nasyiah.or.id

Bagikan
Post a Comment