f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Hari Kartini: Refleksi Pejuang Ekologis

Oleh: Al Bawi

Hari kartini merupakan manifestasi dari emansipasi perempuan sebagai wujud keadilan gender untuk memberantas patriaki dari dominasi seluruh aspek kehidupan.

Kita ketahui, perempuan sejak zaman purba menjadi manusia yang tidak bisa menikmati alam terbuka, seperti halnya tidak ikut berburu karena perempuan di anggap lemah, hal ini terjadi selama berabad-abad sehingga menimbulkan budaya bahwa perempuan tidak bisa melakukan hal yang keras dan berat.

Namun seiring perkembangan zaman, perempuan terus bergerak. Hingga saat ini kedudukan perempuan menjadi mulia, tentunya melalui berbagai gerakan yang dilakukan oleh perempuan dan kelompok perempuan, mereka menginginkan sebuah keadilan bahwa perempuan juga dapat berdiri sendiri dan bisa melakukan pekerjaan yang selama ini di anggap berat.

Sebuah pencapaian yang harus terus dilakukan oleh para aktivis perempuan untuk mendobrak ketidakadilan terhadap gender.

Gejolak perlawanan perempuan atas dasar keadilan merupakan bentuk konstruksi sosial sebagai suara yang dianggap sumbang oleh sebagian orang. Marry Wallstonecraff dalam bukunya The Right of Woman mengatakan bahwa sebuah gerakan dapat membentuk keadilan dan kedudukan yang setara bagi perempuan dan laki-laki serta persoalan derajat.

Perlawanan perempuan tidak hanya sebatas kepada persoalan politik, ekonomi dan budaya saja, tetapi seluruh hak manusia yang melekat pada dirinya termasuk persoalan lingkungan.

Ada banyak persoalan lingkungan yang dilawan oleh para perempuan sebagai wujud alam adalah ibu. Makanya kita menyebutnya Ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, alam yang terus di perkosa menjadi sebuah bentuk patriarki yang menyakitkan.

Bahkan menurut Karen J. Warren ada tiga aspek konsepsi perlawanan perempuan atas kerusakan lingkungan Pertama, penindasan terhadap perempuan dan dominasi atas alam pada dasarnya saling berkaitan.

Baca Juga  Aries Susanti: Atlet Pemecah Rekor Speed Climbing Putri Dunia

Kedua, ekofeminisme harus berangkat dari perspektif feminisme. Ketiga, pemecahan persoalan ekologi harus menggugat pula ketidakadilan yang dialami perempuan di dalam masyarakatnya.

Ecofeminisme Sebagai Wujud Kartini

Masih segar dalam ingatan kita pada peristiwa 13 April 2016 lalu, ada sembilan petani perempuan yang menyeman kakinya di hadapan Istana Negara atas penolakan pembangunan Pabrik semen di Rembang dan Semarang.

Bentuk perlawanan ini mereka sebagai wujud untuk menyelatkan Ibu (alam) karena mereka hidup dari hasil sawah,untuk sekolah anak, makan sehari-hari dan seluruh kepereluan rumah tangga.

Para petani tidak memerlukan semen yang tujuannya hanya untuk di pakai para perusak alam dengan gedung betingkat sehingga menjadi bagian memperkaya diri pribadi. Apalagi menghilangkan lahan sawah para petani yang mereka rawat sejak nenek-kakek mereka.

Ekofeminisme menawarkan sebuah bentuk nuansa kemanusiaan yang tidak hanya mengagungkan manusia sebagai satu-satunya subjek yang harus dipertimbangkan tetapi juga kemanusiaan yang membebaskan relasi manusia.

Seorang ilmuwan ahli fisika, feminis, dan berlatar belakang gerakan ekologis dari India yang bernama Vandana Shiva mengupayakan perlu adanya dekonstruksi terhadap dominasi prinsip maskulinitas dan menawarkan pemikiran alternatif, yaitu gabungan pemikiran ekologi dan feminisme yang disebut dengan ekofeminisme

Melalui pemikiran gerakan ekofeminisme ini, Shiva menawarkan pendekatan holistik dalam kaitannya dengan prinsip feminitas dan ekologi. Sehingga bentuk perlawanan perempuan sebagai penyelamat Ibu Bumi merupakan wujud nyata sebagai kerangka perlawanan.

Dari bentuk perlawanan perempuan terhadap penyelamatan lingkungan ini merupakan sikap ketidakadilan sosial dan pengrusakan terhadap lingkungan. Makanya Shiva memandang kapitalisme–patriarkhi merupakan akar dari permasalahan ini.

Kemudian melahirkan sebuah cara pandang yang menarik dari sisi ekologi dan perempuan bahwa mendekonstruksi paradigma maskulinitas itu berprinsip kompetitif, dominan, ambisi, vertikal, dan memenuhi kepentingan pribadi.

Baca Juga  Anugrah, Si Wanita Tangguh

Hal ini menjadi refleksi bersama bahwa para pemangku kekuasaan baik secara penambang dan penguasa adalah bentuk yang haus akan kuasa dan harta sehingga tidak menglihat kebawah atas kerusakan alam yang terjadi.

Kemudian, sebagai wujud cinta terhadap Ibu Bumi (alam semesta) melalui nilai-nilai feminim tentang cinta dan kasih sayang terhadap seluruh alam semesta, sehingga bukan lagi beroientasi kepada kerusakan melainkan menjaga dan merawat.

Terakhir adalah wujud kesadaran realitas tertinggi bahwa perempuan dan laki-laki adalah makhluk hidup saling menjaga dan mengasihi tidak hanya sesama manusia melainkan seluruh ekosistem.

Refleksi karitini atas perlawanan perempuan akan terus tumbuh dan mengakar selama semesta menjadi obyek atas maskulinitas dan terus di perkosa, disana akan tumbuh para kartini-kartini melawan.

Bahwa perayaan kartini hari ini adalah bagaimana perempuan bangkit dan melawan atas seluruh penindasan baik secara global maupun secara kecil dalam ruang lingkup keluarga melalui penindasan di atas meja makan dengan menyediakan makanan yang terbaik, minimalisir sampah plastik.

Bukan zamannya lagi perempuan menjadi obyek yang dinikmati para maskulinitas tetapi sudah menjadi kewajiban perempuan menjadi feminis atas dasar kasih san sayang dalam persfektif lingkungam hidup untuk terus menjaga dan merawat lingkungan serta urusan menjaga dan mengasih bukan hanya perempuan tetapi laki-laki harus mempunyai jiwa feminis sehingga tidak bertindak arogansi, merusak dan membunuh.

Bagikan
Post a Comment