f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
socrates

Seri Belajar dari Tokoh Filsafat: Filter Diri ala Socrates

Suatu hari, seseorang menghampiri Socrates. Dengan tergesa-gesa orang itu bertanya, “Socrates, sudahkah kau dengar berita yang beredar di masyarakat tentangmu dan murid-muridmu?”

Socrates menatap orang itu sejenak, menghela napas. Lalu berkata, “Sebelum engkau memberitahu aku tentang berita itu, aku ingin bertanya terlebih dahulu kepadamu.”

“Ada tiga pertanyaan,” Socrates melanjutkan, “Pertama, apakah berita yang akan kau sampaikan itu sudah terbukti kebenarannya?”

Orang itu sedikit bingung. Kemudian menjawab, “Ya, belum Socrates. Itu baru kabar angin yang tersebar di masyarakat.”

“Baiklah. Berarti, yang pertama, berita itu belum jelas kebenarannya.” Socrates kemudian meneruskan ke pertanyaan kedua, “Apakah berita itu tentang kebaikan atau keburukan?”

“Tentang keburukan, Socrates.”

“Baiklah. Tentang keburukan.”

Sebelum pertanyaan ketiga diajukan, Socrates memberi penekanan bahwa tidak masalah apabila dua pertanyaan sebelumnya tidak terjawab dengan jawaban yang diharapkan, tetapi pertanyaan ketiga adalah pertanyaan paling penting yang jawabannya sangat menentukan.

“Apakah berita itu memberi manfaat untukku?”

Dengan sedikit gamang, orang itu menggeleng.

“Kalau begitu, aku tidak perlu tahu tentang berita tersebut.”

***

Fakta bahwa Socrates, yang hidup lebih dari dua puluh abad yang lalu, sudah menyadari—dan mengajarkan—tentang pentingnya memfilter diri dari berita atau hal-hal yang disodorkan kepadanya seakan mengetuk keras kepala orang-orang hari ini untuk bangun dan turut menyadari pula hal tersebut.

Orang-orang hari ini yang hidup dalam rimba raya berita tentu lebih membutuhkan kemampuan menyeleksi ketimbang orang-orang yang hidup pada zaman Socrates. Berbagai berita menyerbu orang-orang hari ini. Lewat koran, televisi (ini sangat parah), radio, media sosial (ini yang paling parah), sampai mulut tetangga, di pagi hari, siang, saat senja, hingga larut malam. Jika tidak bijak dalam menghadapi berita-berita tersebut, kan tenggelamlah orang-orang hari ini dalam samudra kesia-siaan.

Baca Juga  Fatima Al-Fihri, Muslimah Pendiri Universitas Pertama di Dunia

Selain kesia-siaan, banyak hal buruk lain akan muncul akibat rendahnya kesadaran dan kemampuan untuk memfilter berita-berita yang tersaji di mana-mana hari ini. Termakan hoaks, terhasut teori konspirasi sehingga terjadi distorsi kebenaran yang melahirkan perdebatan tiada ujung. Lalu perdebatan tersebut bisa saja merambat ke perilaku anarkistis dan brutal. Semua itu berawal dari korsletingnya fitur filter orang-orang hari ini.

***

Sudah banyak contoh nyata dampak buruk berita-berita yang tertelan mentah-mentah. Bagaimana caranya untuk menghentikan kekacauan ini?

Mengacu pada kisah Socrates di atas, ada tiga prinsip yang kiranya perlu menjadi pertimbangan ketika mendapat-lihat sebuah informasi: kebenaran, kebaikan, dan kebermanfaatan.

Pertama, kebenaran. Hendaklah orang-orang menjadikan kebenaran sebagai pegangan terhadap setiap pembicaraan, penyampaian maupun penerimaan berita atau informasi. Sebab kebenaran itu yang nantinya dapat mengantarkan pembicaraan ke arah kebaikan dan kebermanfaatan. Sebaliknya, apabila meninggalkan kebenaran, hanya ada dua pilihan yang muskil terhindarkan. Yaitu pembicaraan tersebut mengarah menjadi fitnah atau menjadi gibah.

Dua hal yang sama-sama buruk. Setiap pembicaraan (dan penyebaran) berita yang tidak jelas kebenarannya dapat menjelma fitnah, yang dikatakan Al-Qur’an sebagai perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan—dan sebenarnya fitnah itu sudah merupakan “pembunuhan”. Tepatnya “pembunuhan” karakter. Selain fitnah, risiko kedua bila membicarakan berita tidak benar adalah gibah. Perbuatan yang tersebut Al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati.

Bahkan sekalipun berita yangtersebar merupakan kebenaran tetapi kalau seseorang yang menjadi topik pembicaraan itu tidak senang bila mendengarnya, itu pun gibah. Tidak ada pilihan pada dua kemungkinan yang buruk tersebut, satu-satunya pilihan adalah meninggalkan keduanya.

***

Kedua, kebaikan. Sama halnya dengan kebenaran, pembicaraan yang bukan tentang kebaikan bisa jatuh dalam lubang keburukan yang serupa. Oleh sebab itu, senantiasa bicarakanlah kebaikan-kebaikan saja. Tentunya pembicaraan tentang kebaikan juga cenderung lebih menyenangkan, menyehatkan hati dan logika, dan penuh hikmah.

Baca Juga  Hoax Covid-19 Membuat Situasi Semakin Runyam

Sebagai tambahan, dalam pembicaraan (terutama saat menyampaikan berita atau informasi atau bahkan nasihat), kadang kala kebenaran dan kebaikan saja belum cukup. Perlu satu hal lagi. Ialah keindahan, yaitu kesesuaian porsi dan proporsi, gabungan dari cara yang baik, waktu yang tepat, situasi yang kondusif, dan tempat yang pas.

Seseorang tidak bisa begitu saja mengatakan kepada temannya bahwa temannya itu tambun dan harus segera berdiet supaya tidak terkena penyakit blablabla. Sekalipun apa yang seseorang sampaikan itu kebenaran, bahwa temannya gemuk, dan benar-benar harus berdiet serta tujuannya menyampaikan itu sebagai nasihat kebaikan. Belum tentu temannya itu senang dengan apa yang orang tersebut sampaikan. Pada titik itulah diperlukan unsur keindahan dalam penyampaian nasihat. Kombinasi ketiga unsur itu—kebenaran, kebaikan, dan keindahan, yang melahirkan kebermanfaatan.

***

Prinsip ketiga yang diajarkan Socrates, yaitu kebermanfaatan, menjadi poin penentu apakah suatu hal itu perlu disampaikan, diterima, dan dibicarakan. Yakinlah, terlalu banyak hal berharga yang akan terbuang seandainya seseorang terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang tak ada faedahnya. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa meninggalkan perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat merupakan tanda baiknya agama seseorang.

Meninggalkan kesia-siaan dalam hal pembicaraan juga berarti meninggalkan suatu perkara yang bukan urusan atau bukan keahlian seseorang tersebut. Melihat-lihat situasi hari ini, sepertinya banyak orang yang belum sepenuhnya mengamalkan hadis tersebut. Hasilnya banyak dari mereka yang merasa perlu untuk nimbrung pada urusan orang lain dan yang bukan pula terkait perkara yang menjadi keahliannya sehingga pada ujungnya hanya menghasilkan nonsens.

Apabila prinsip-prinsip tersebut bisa menjadi dasar pijakan dalam menyikapi berita atau informasi yang berkelebatan di mana-mana hari ini, sedikit-dikitnya kemaslahatan diri sudah terjaga—dengan harapan semoga orang lain juga.

Bagikan
Post a Comment