f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Rohana Kudus

Rohana Kudus Sang Pelopor Renaisans Kaum Perempuan di Minangkabau (Part 1)

Pergerakan perempuan pertama kali lahir pada abad ke-15 yang digagas oleh Christine de Pizan. Ia berpandangan bahwa apabila gadis-gadis kecil diajari dengan baik, mereka akan memahami seluk beluk semua seni dan ilmu pengetahuan sebaik yang dipahami oleh anak laki-laki (Risa Marta, 2017: 152). Semangat akan pentingnya keadilan kaum perempuan di Eropa ikut menyebar sampai ke Hindia-Belanda.

Hal ini ditandai dengan adanya tuntutan hak-hak perempuan untuk bersekolah dan dilanjutkan dengan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan politik dan organisasi sosial saat itu. Sekolah memberikan mereka kesempatan dalam mengembangkan nalar, mendorong dan merancang tujuan hidupnya sendiri; serta bebas menentukan nasibnya sendiri, sehingga eksistensi mereka tidak hanya sekadar pelengkap bagi kebahagiaan dan kesempurnaan orang lain.

Pendidikan terbukti menjadi faktor yang paling fundamental dan signifikan dalam memicu lahirnya pergerakan perempuan pada saat itu. Pada awal abad ke 19, nasib kaum perempuan di Minangkabau belum seberuntung di era sekarang. Kendati di Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, ruang gerak mereka masih terhalang oleh sistem adat istiadat dan ajaran leluhur yang mengharuskan mereka untuk mengabdi di dalam lingkungan domestik.

****

Perempuan harus mengurus rumah tangga, tidak mendapatkan pendidikan dan keterampilan serta keleluasaan dalam aktivitas di ruang publik. Conkey dan Spector mengatakan dalam karyanya Archaeology and the Study of Gender; perempuan sebelum abad ke 19, berada di bawah konstruksi patriarki yang dipraktikkan melalui tatanan politik, ekonomi dan pendidikan.

Prioritas dan superioritas berada pada laki-laki, dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung terjadi inferioritas atau subordinasi terhadap perempuan (Conkey and Spector, 1984: 13). Dengan kondisi demikian, maka di kalangan perempuan melakukan pergerakan untuk keluar dari ketertindasan tersebut. Karena itulah gerakan feminis pertama di Minangkabau awal abad ke-20 bertujuan untuk memberikan akses pendidikan yang sama dan setara bagi perempuan dan laki-laki.

Baca Juga  Mengenal Kamla Bhasin; Aktivis Feminis dari India

Serta pemberdayaan perempuan melalui institusi pendidikan khusus perempuan (Silfia Hanani, 2011: 1-2); yang dipelopori seperti Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, dan Rasuna Said. Secara sosio-historis, institusi pendidikan yang perempuan hadirkan ini sebagai simbol perjuangan dan perlawanan kaum perempuan dari ketidakadilan sistem dalam menengahi mereka. Ketidakadilan itu dipicu oleh pandangan yang tidak seimbang dalam melihat perempuan sebagai komunitas yang memiliki sumber daya manusia.

Di mana perempuan hanya dilihat dari aspek biologis yang cenderung dengan nuansa vulgaristik. Ruang gerak perempuan terbatas hanya pada ranah domestik (sumur, kasur dan dapur). Di sini terlihat adanya disparitas sosial kultural terhadap perempuan. Pergerakan perempuan ini pada dasarnya adalah untuk melepaskan perempuan dari stigma-stigma yang demikian. Oleh sebab itu, dalam lintas sejarah perjuangan kaum perempuan tidak lepas dari keprihatinan dalam melihat nasib kaum sesamanya.

***

Rohana Kudus merupakan salah satu tokoh pejuang kaum perempuan yang hidup sezaman dengan R.A. Kartini dan salah satu pelopor dari gerakan kemajuan perempuan di Minangkabau melalui pendidikan. Rohana memiliki nama asli yakni Siti Rohana. Ia lahir di Koto Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember tahun 1884, dari pasangan Muhammad Rasyad Maharaja Sutan dan Kiam.

Ayahnya seorang jurnalis (seorang pegawai pemerintah Belanda pada saat itu) dan ibunya sebagai perempuan biasa; seperti kaum-kaum perempuan pada masa itu. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama yang juga merupakan salah satu founding person Indonesia. Selain itu, Rohana merupakan bibi dari penyair terkenal Chairil Anwar, penyair Pelopor Angkatan 45 (Ema Pratama, 2019: 267).

Rohana juga sepupu dari H. Agus Salim yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia yang pertama dan Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sjahrir dan Hatta (1947-1949). Dari sini kita bisa menilai bahwa Rohana berada dalam lingkungan keluarga religius dan terdidik; meskipun Rohana tidak pernah mengenyam pendidikan formal saat itu. Sebab, kondisi pada saat itu begitu kuatnya konstruksi ketidakadilan terhadap perempuan terkait dengan pemarjinalan perempuan dalam wilayah publik, termasuk soal pendidikan.

Baca Juga  Semua Perempuan Berhak Merdeka
***

Maka dari itu, Rohana banyak belajar secara otodidak di rumah. Di masa kecilnya, Rohana menghabiskan waktunya di Alahan Panjang. Ayahnya sering membawakan Rohana kecil majalah-majalah berbahasa Belanda. Rohana berteman baik dengan istri pejabat Belanda, atasan ayahnya. Istri pejabat Belanda itu mengajari Rohana materi-materi keputrian seperti menyulam, menjahit, menenun, merajut, memasak.

Dari berteman baik dengan istri pejabat Belanda itu pula ia banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa, yang sangat ia gemari. Rohana juga intens belajar agama kepada para alim ulama di surau dan masjid. Pada tahun 1908, ia menikah dengan Abdul Kudus Pamuncak Sutan, yakni seorang pemuda yang berjiwa sosial dan aktif dalam partai politik. Pada tanggal 17 Agustus 1972, Rohana meninggal dunia dalam usia 88 tahun.

Rohana Kudus berupaya menaburkan benih “pembebasan” dan melakukan “pemberdayaan perempuan”; karena ketika itu perempuan masih terkukung dalam ranah marginal yang sangat berlebihan. Hal ini karena beberapa faktor. Pertama, akibat konstruksi budaya. Artinya perempuan dipetakan atau dipolakan sebagai kaum yang memiliki domain (ranah) kerja yang sentralistiknya domestik.

Kedua, akibat pemberdayaan perempuan yang belum merata. Pemberdayaan ini sangat terkait dengan pendidikan, sebab keterbelakangan perempuan dominan karena rendahnya asupan dan kualitas pendidikan kaum perempuan pada saat itu (Ema Pratama, 2019: 264). Dalam perpektif masyarakat “kontruksi gender” pendidikan bagi perempuan mempunyai katerbatasan, mengingat pekerjaan perempuan itu sudah jelas, sebagai “pelayan rumah tangga”.

Bagikan
Post a Comment