f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Perempuan dan Teori Konspirasi: Hasil Sekolah Bertahun-Tahun

Oleh:  A.S. Rosyid*

Debat antara dr. Tirta dan Jerinx SID viral. Isunya tentang konspirasi elit global di balik Covid-19. Sekalipun perdebatan keduanya cuma berakhir sensasional, dan ‘review netizen’ lebih banyak lawaknya, tapi tetap ada banyak orang yang menganggap serius teori  konspirasi di balik Covid-19. Ramainya konspirasi di balik Covid-19 menggelitik saya. Geli sekali.

Saya sebetulnya percaya dengan yang namanya elit global. Izinkan saya mengurai maksudnya sedikit, agar kepercayaan saya tidak disalahpahami.

Saya percaya ada kelompok 1% yang menguasai 70% sumber daya dan kekayaan. Contoh: bankir internasional. Elit global ini memanfaatkan dan merekayasa krisis untuk mengakuisisi kapital.

Dalam Perang Dunia I, II, dan Perang Vietnam, mereka memanen keuntungan lewat bisnis pinjaman uang untuk membeli senjata, bayar utang, atau untuk pembangunan.

Sesuatu yang bisa disebut ‘elit’ itu juga ada di Indonesia: 1% the haves menguasai 70% lahan. Hegemoni elit berlangsung di level nasional hingga lokal.

Di Lombok ada Godfather yang menguasai bukit-bukit (tambang emas manual), ribuan hektar sawah dan pulau-pulau kecil. Tentu atas nama orang lain. Orang itu berkuasa minta ampun, determinan dalam politik lokal.

‘Elit rahasia’ juga ada, namanya intelijen. Mereka agen yang mengumpulkan informasi dan membuat propaganda dengan cara merekayasa peristiwa tertentu. Sempat ada selentingan, munculnya empire palsu kemarin sebetulnya merupakan rekayasa intelijen untuk menguji ketahanan ideologi negara.

Benar atau tidak, yang jelas semacam itulah pekerjaan mereka.

Cuma, saya harus garisbawahi di sini: kerja-kerja para elit itu bisa diteroka secara ilmiah. Ada banyak periset, secara individu atau lembaga, yang telah dikenal kredibel, yang telah melakukan penelitian terhadap mereka.

Baca Juga  Indonesia Menuju Satu Abad (2045); Merespon Tantangan, Revitalisasi Pancasila dan Akselerasi Menjadi Indonesia

‘Konspirasi’ mereka bisa telusuri asal seseorang tekun mengumpulkan ribuan data dan menerapkan prinsip telaah ilmiah: kritis, logis, dan hati-hati.

Nah, ketekunan mengumpulkan data, dan kemauan berpayah-payah menerapkan prinsip ilmiah itulah yang tidak saya temukan dari orang-orang yang gemar dengan teori konspirasi. Hanya ada dugaan-dugaan, yang dicocok-cocokkan, atau klaim-klaim, yang tak bisa dibuktikan.

Mereka berdiskusi dengan premis-premis yang sumbernya hanya bermodalkan Youtube.

Saya pernah iseng mendebat teori konspirasi yang menghubungkan elit modal dan Darwin. Kata si pengusung, ajaran “manusia dari kera” merupakan rekayasa elit modal untuk merusak akidah umat Islam. Ia mengaku telah membaca karya Darwin.

Kebetulan, saya membawa The Origin of Species. Saya minta ia tunjukkan ajaran Darwin yang dimaksud. Ia menolak sambil misuh.

Padahal saya sendiri baru membaca 3 halaman saja. Hahaha. Seandainya ia lebih pandai berkelit, ia bisa sesumbar dengan mengatakan bahwa: “Gagasan dasar evolusi adalah ‘setiap makhluk biologis berasal-usul dari makhluk biologis sebelumnya’, sehingga kisah penciptaan Adam menjadi tidak sah dan itu merusak akidah.” Tapi, kan, pikirannya tidak sampai ke sana.

Jadi, bagi saya, omongan tentang teori konspirasi yang ngalor-ngidul itu sederhana saja: ia merupakan hasil dari sekolah kita selama bertahun-tahun. Hasil dari berkutat menumpuk bongkah-bongkah pengetahuan tapi tidak melatih keterampilan berpikir, keuletan meriset, dan keberanian mengakui data faktual. Kita menerima ijazah tapi lulus tanpa mental ilmiah.

Sekolah kita bahkan tidak banyak berhasil menciptakan iklim perdebatan. Sebab iklim perdebatan hanya dimungkinkan bila wajah pengetahuan tidak tunggal, dan relasi murid-murid atau guru-murid bersifat setara.

Di ruang-ruang kelas kita masih kerap berkuasa raja-raja kecil, baik guru bagi muridnya, atau satu murid bagi murid lainnya. Bagaimana mau berdebat?

Baca Juga  Perempuan di Pusaran Pandemi Covid-19

Sedangkan, apabila tradisi debat punah, punah pula budaya “kunyah sebelum telan”. Ilmu diperoleh bukan karena diuji dengan pertanyaan-pertanyaan sengit. Ilmu diperoleh karena duduk manis dan patuh pada ‘versi resmi’.

Sebagai metode belajar pada suatu waktu mungkin tidak masalah, tapi kebiasaan menerima tanpa memeriksa kurang baik untuk jangka panjang.

Tapi saya bersyukur. Saya bersyukur karena, sepanjang pengalaman saya berdebat dengan para agen teori konspirasi, tak satu pun dari mereka yang perempuan.

Semuanya laki-laki. Memang satu dua ada berita yang bikin kecele, seperti berita ‘sperma kolam renang’ beberapa waktu lalu, tapi itu di TV. Di sekitar saya, alhamdulillah, perempuannya pada hebat.

Beberapa tahun belakangan ini banyak muncul perempuan produktif. Mereka berkomunitas. Mereka tidak mengekor komando lelaki. Mereka bergerak mandiri. Ada yang mengelola media dan literasi.

Ada yang memperjuangkan kedaulatan pangan. Ada yang membela integritas lingkungan hidup. Ada yang membangun kemandirian ekonomi. Ada yang bersikeras memastikan anak-anak di pelosok bisa sekolah. Ada yang berdakwah.

Satu persamaan: mereka tidak sibuk meladeni teori konspirasi. Mereka melakukan hal-hal yang lebih penting, usaha-usaha yang lebih mendesak kehadirannya, daripada teori yang tidak jelas juntrungannya. Mereka terinspirasi dan menginspirasi. Saya pikir, sangat sah untuk mengatakan bahwa harapan Islam dan Indonesia di masa depan akan ada di tangan mereka.

Bagikan
Post a Comment