f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
sosial

Kenali Dirimu, untuk Mengenal Kebahagiaanmu

Malam itu bulan sangat percaya diri menampakkan dirinya seutuhnya. Ditemani cahaya bintang yang tampak kecil dari arah selatan membuat suasana malam itu kian damai. Setelah menempuh jarak kurang lebih setengah jam dari kota Demak akhirnya Mustakim dan Muhibbin sampai di masjid Menara Kudus. Setelah memarkirkan motor mereka berdua memasuki kawasan masjid dan segera mengambil wudhu. Sesudah mengambil wudhu mereka berdua langsung menuju kawasan makam untuk sekadar berziarah ke makam sang wali dan berwasilah kepada sang wali.

Setelah berada di dalam, mereka berdua mencari tempat yang nyaman untuk duduk menghadap makam sang wali.

“asslamualaiku ya waliyallah….”

Dengan khidmat Mustakim dan Muhibbin membaca tahlil berdoa bertawasul kepada sang wali. Berharap dengan menziarahi maka wali yang menjadi kekasih allah dapat mendekatkan diri mereka kepada ma’rifatullah. Doa-doa yang dipanjatkan para peziarah terdengar syahdu menenangkan qalbu, sampai sampai tak peka diri mereka berdua jika rintik hujan mulai turun seakan akan melunturkan dosa yang ada.

***

Seusai menziarahi makam, Mustakim dan Muhibbin menuju ke masjid untuk melaksanakan salat hajat dua rakaat. Sesudah salat mereka berdua duduk berzikir kemudian menuju teras masjid sekadar melihat turunya hujan yang mulai semakin deras.

            “Mus nyari anget anget yok Mus.”

            “Mau nyari anget anget apa Bin?”

            “Wedang ronde kayak e enak Mus, tadi di depan parkiran kayak e ada yang jualan.”

            “Yaudah ayo ke sana.”

            Mereka berdua menerobos hujan berlari kecil menuju depan parkiran motor tempat wedang ronde berada.

            “Pak wedang rondene kaleh.”

            “Mus gimana nilai UAS matkul mu semester ini?”

            “alhamdulillah bin masih bisa ambil 22 sks buat semester depan. La dirimu gimana?”

Baca Juga  Kebahagiaan Hakiki Terletak pada Hati, Bukan Melulu Uang yang Kita Miliki

            “Sama Mus aku juga cuman bisa ambil 22 sks buat semester depan, mangkel aku mus, sebenarnya penilaian yang benar benar objektif itu ada apa endak ya? Selama ini aku yo serius serius saja ikut mata kuliah akhlak tasawuf, tapi nilaiku ya malah dapat di bawah rata-rata.”

            “Ealah, tapi yo pantes Bin kalo tasawufmu dapet segitu, buat menerima ketetapan yang sudah allah tetapkan saja dirimu masih mangkel kok mau dapet camloude, hihihi…”

            “halah karepmu Mus.”

            Dua mangkok wedang ronde datang diantar oleh sang pedagang. Uap ronde mengepul membawa aroma jahe yang masuk ke lubang hidung menyalurkan rasa hangat ke tubuh mereka.

            “Mus sampean tau Gus Habib yang satu kelas sama aku itu to?”

            “Yang anaknya Pak Kyai Sabar itu?”

            “Iya, yang anaknya Pak Kyai Sabar. Enak ya Mus udah jadi anak kyai, kalo ke kampus bawa mobil, muka di atas rata rata pula, udah kayak aktor-aktor film Bollywood itu Mus.”

            “Huss…endak boleh kayak gitu Bin!”

            “Ya bagaimana ya…kalau dibandingkan sama diriku ini ya mus udah endak sepadan sih.”

“Bin…Bin, selalu saja seperti itu. Rumput tetangga selalu lebih indah dari rumput milik kita sendiri.”

***

Sesuap sendok wedang ronde di seruput Mustakim. Belum ada tanda-tanda hujan akan mereda. Rintik air hujan masih menghujam daratan seakan jatuhnya air memiliki irama yang dapat di dengar oleh alam semesta.

“Bin…sampean sudah lupa apa kalau Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan kadar kemampuan diri mereka sebagai manusia; kan sampean juga sudah paham sebelum manusia itu dilahirkan di dunia ketika mereka masih berada di alam dzuriyah (Rahim) manusia telah bersaksi untuk mengesakan Tuhan dan telah ditetapkan kepada manusia itu jalan takdir kehidupan mereka. Lah kok sekarang sampean baru protes?”

Baca Juga  Kebun di Kota Lamaku

“Ya aku endak bermaksud protes mus. cuman, kayaknya kok hidup dia begitu Bahagia, berbanding terbalik sekali sama kehidupanku.”

“Loh sampean gimana to Bin…sampean kok kayak Nasrudin Hoja yang mencari cicinnya yang hilang di dalam rumah, tapi malah mencari di luar rumah; sampean endak usah banding-bandingkan kehidupan sampean sama kehidupan orang lain bin.Kelihatannya saja memang hidupnya gus habib bahagia sentosa tapi di balik itu semua penuh dengan tanggung jawab yang berat bin; beliau hafal al-quran untuk tetap menjaga hafalan al-quran itu sudah merupakan tanggung jawab yang besar; apalagi beliau juga anak kyai kalau beliau endak alim putus bin nasab kealimannya; la sampean mau tiap hari kudu murojaah 5 juz biar hafalannya tidak hilang.”

“Ya endak kuat juga aku Mus kalau murojaah 5 juz tiap hari.”

“haiya…malah lebih enak hidup mu to…nanti waktu dihisab sama Gusti Allah sampean malah masuk surga duluan wong sampean golongan awam hisabnya cepet Bin…hihihi;”

***

“heleh…ada-ada saja sampean Mus; tapi beneran Mus sampean tahu tidak cara agar dapat hidup Bahagia?”

“Yo gampang itu Bin…cara agar dapat memiliki hidup yang bahagia caranya dengan mengenal diri sendiri bin; siapa kita? Kenapa kita ada? Untuk apa kita ada? Kalau kita sudah kenal dan mengerti sama diri kita sendiri insyaa Allah dijamin bahagia.”

“Yang bener Mus…sampean sudah kenal sama diri sampean Mus?”

“Ya jelas sudah lah Bin…”

“Wah bagus banget dirimu mus sudah kenal sama diri sampean sendiri, berarti sampean sudah bahagia?”

“Ya belum Bin…kalau saya sudah bahagia mana ada saya masih nongkrong sama kamu seperti ini…hahaha.”

“Oohh…dasar Mustakim gemblung.”

Angin dingin berhembus. Hujan masaih setia menemani malam mereka berdua. Malam itu dimalam yang dingin suasana masjid Menara Kudus masih terasa hangat oleh obrolan-obrolan Mustakaim dan Muhibbin yang semakin ngelantur.

Bagikan
Post a Comment