f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
stigma perempuan

Istilah dan Stigma Perempuan

Memasuki abad 21, banyak sekali perkembangan steorotipe bahkan sitgma terhadap seorang perempuan. Makna dari kata “perempuan” juga mengalami pergeseran, seiring majunya zaman.

Pelabelan secara liar terhadap perempuan dengan mentah menjadi persoalan bersama untuk membenahi, sekaligus mengembalikan kemuliaan dalam memaknai kata ‘perempuan’.

***

Terjadinya pergeseran makna perempuan, berawal dari stigma masyarakat yang terus berkembang. Ramai menjadi perbincangan terkait pemaknaan perempuan dalam KBBI.

Menurut Wahya, ahli bahasa UNPAD, bahwa kamus adalah fakta bahasa yang ada di masyarakat, dan bentuk makna akan terus berubah sejalan dengan dinamika masyarakat. KBBI mengejawantahkan arti perempuan yang cenderung mengarah pemaknaan yang negatif.

KBBI mengartikan perempuan, orang yang mempunyai puki, hamil, melahirkan anak, menyusui, anak, bini, istri. Arti perempuan yang ada dalam KBBI tidak selalu menyoal kodrat seorang perempuan.

Persoalannya ialah, KBBI mencamtumkan istilah ‘jalang’, ‘pelacur’, ‘nakal’, ‘simpanan’, yang hal demikian secara tidak langsung, memekarkan pandangan negatif oleh publik bahwa, sebutan demikian untuk perempuan.

Lies Marcoes, seorang aktivis perempuan dalam kajian Islam dan Gender mengkritik hal demikian. Menurut Lies, jika kita lihat dari sejarahnya, sebetulnya kata perempuan sangat baik dan positif. Makna perempuan yang bermula dari bahasa Melayu, yang kata dasarnya ‘empu’ atau orang yang diempukan.

Keempuan adalah sesuatu yang diperjuangkan, diupayakan oleh seseorang. Lalu apa yang menjadi alasan ‘perempuan’ berkonotasi negatif? Sebab kata itu dikontruksi pada rezim orde baru, dan itu sebagai implikasi dari perempuan di masa orde lama.

Sejak masa reformasi, Indonesia sudah menggunakan istilah ‘perempuan’ dengan daya, pemikiran, dan filosofi yang berbeda dari pemaknaan ‘perempuan’ dalam KBBI. Melalui akun @voaindonesia, bahwa KBBI tidak bisa merubah entri negatif ‘perempuan’ sebelum pandangan dan stigma masyarakat pada perempuan berubah.

Baca Juga  Merahmati Perbedaan Awal Puasa

Wahya pun menjelaskan, bahwa perubahan makna dalam KBBI merupakan proyek yang membutuhkan dana dan intruksi, tentunya memakan waktu yang sangat lama, bekisar 10th untuk merubah makna tersebut.

Stigma Masyarakat Menyoal Perempuan

Pada abad ke-21 ini, masifnya stigma masyarakat terhadap perempuan didukung oleh canggihnya teknologi. Perkembangan digitalisasi yang begitu cepat semakin mempermudah beredarnya hal-hal yang baru. Isu maupun hoax, sangat mudah kita akses melalui berbagai media, yang tentunya sikap responsif masyarakat +628 juga mudah tergiring oleh opini-opini mentah.

Pada tahun 2020, media-media tidak ada hentinya terus memasifkan berita Covid-19. Berbeda halnya di tahun 2021, pada tahun ini masyrakat +628 menggiring istilah ‘pelakor’. Pengklaiman ‘perempuan murahan’ atau bahkan ‘perempuan gatel’, muncul pada permukaan instagram, twitter, bahkan tik-tok.

Stigma yang muncul pada perempuan ini sangat berimbas terhadap keberadaan perempuan itu sendiri. Akhir-akir ini, hampir setiap hari sebutan ‘pelakor’ menjadi konten menarik oleh masyarakat luas; dan tentunya ditujukan kepada perempuan, dimaknai secara mentah, yang parahnya tidak sesuai dengan kasus yang terjadi.

Berbicara persoalan pelakor, sesuai kepanjangannya, “perebut Laki Orang”. Ini menjadi pertanyaan besar. Banyak isu-isu yang beredar, terkait perselingkuan yang justru menyeret istilah pelakor.

Bagaimana bisa kita mengklaim sesama perempuan dengan julukan “pelakor”, sedangkan hal yang terjadi adalah perselingkuhan. Salah satu penyintas KDRT, Poppy Dharjo, memaknai perselingkuhan merupakan suatu hal perencanaan secara sadar, dan membutuhkan dua orang untuk melakukannya.

Artinya, tidak ada bentuk ‘perebutan’, ‘perampasan’ yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki. Sebab laki-laki bukan benda mati atau objek yang dapat direbut. Namun, minimnya pengetahuan masyarakat sehingga mudah tergoreng bahkan tergiring dan ikut melanggengkan istilah ‘pelakor’.

Baca Juga  Mendobrak Stigma tentang Perempuan

Perselingkuhan memang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, karena tentunya menyebabkan adanya korban yang tersakiti. Tapi tidak dengan klaim ‘perebut’ yang menyudutkan perempuan. Banyak kasus yang terjadi, bahwa perempuan yang mendapat labeling ‘pelakor’ tidak mengetahui bahwa laki-laki tersebut sudah memiliki anak dan istri. Cap ‘pelakor’ inilah yang justru mengamankan posisi laki-laki.

Upaya Sesama Perempuan Melawan Stigma

Ada banyak cara untuk kita, terutama sesama perempuan untuk merubah stigma masyarakat luas terhadap perempuan. Melek pengetahuan menjadi modal awal untuk merubah suatu stigma yang sangat merugkan perempuan.

Bagaimana mungkin makna KBBI bisa berubah, jika masyarakat akar rumput masih melanggengkan cap-cap negatif terhadap diri perempuan? Istiah pelakor yang masyarakat sematkan kepada perempuan harus segera diatasi.

Sadar akan tugas dan fungsinya sesama perempuan justru menjadi beban moral sesama perempuan. Kenapa kita harus saling menusuk sesama perempuan? Jelas-jelas kita satu golongan. Harusnya, menjadi suatu hal yang mudah bagi kita sesama perempuan untuk saling bahu membahu sesama perempuan.

Upaya pertama, mulai saat ini, mari berhenti menggunakan istilah-istilah negatif kepada perempuan. Sebutan ‘pelakor’, ‘perempuan jalang’, ‘perempuan nakal’, tidak lagi dilanggengkan. Karena tidak ada pula istilah tandingan yang sama untuk para laki-laki yang selingkuh. Hal ini akan terus melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan.

Kedua, berhenti mendukung konten online, yang mendikte atau mencirikan ‘perempuan gatel’, atau ‘pelakor’. Konten-konten yang menyeolahkan laki-laki yang direbut dan tidak bermasalah. Hal-hal seperti ini yang menduelkan sesama perempuan. Berhenti meng-up, meng-­­­like konten-konten tersebut.

Ketiga, menjadi agen transformasi. Kita bisa speak up untuk melawan bersama, bukan untuk membela ‘pelakor’ atau tindakan yang menyimpangnya. Tetapi, untuk melawan kultur kekerasan terhadap perempuan.

Baca Juga  Menyingkap Ibuisme yang Terlanjur Mengendap

Perlu dipahami, ikut melawan stigma ‘pelakor’ bukan berati kita mendukung atau menormalisasi perselingkuhan. Ikut melawan stigma ‘pelakor’ berati kita ikut melawan kultur patriarkis yang senang, atau selalu (blaming) perempuan saja.

Tentu, satu orang (perempuan) memutus satu stigma perempuan dan dilanjutkan oleh orang selanjutnya perlahan akan memudarkan stigma masyarakat +628 dalam memandang perempuan.

Hal ini memang merupakan langkah kecil kita sesama perempuan, untuk menstop stigma terhadap perempuan. Akan tetapi, upaya tersebut adalah langkah sederhana yang tidak sulit untuk kita lakukan, yang kembali saling menguatkan sesama perempuan, melawan stigma masyrakat, serta mengembalikan makna perempuan yang sesuai pada mulanya. 

Bagikan
Comments
  • Mantap ini

    Februari 27, 2021
Post a Comment