f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
muslimah

Ada Pancasila di Antara Kita

Ada Pancasila di antara kita. Ada Pancasila di tengah kita. Ada Pancasila di dasar diri kita. Selamat Hari Lahir Pancasila

Barangkali kata itu menganjurkan kita untuk merefleksikan diri kita, sejauh mana, selama ini dalam mengamalkan makna dan nilai-nilai dari Pancasila berikut sila-silanya. Pancasila yang menjadi pedoman hidup bernegara dan landasan idiil atau landasan dasar. Yang kemudian, menjadi dasar bagi landasan konsititusional kita yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pemerintah, melalui Kepres RI Nomor 24 Tahun 2016, menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Dengan demikian, ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dimulai sejak masa Kepemimpinan Jokowi.

Memaknai hari lahir, apa yang terlintas dalam benak Rahmania sekalian? Sebuah perayaan ataukah tindakan? Sebuah ungkapan atau pembuktian? Tentu, Rahmania sebagai warga negara akan mempersiapkan diri pada tindakan dan pembuktian.

Begitu juga ketika Rahmania mendengar kata Pancasila? Apa yang terpikirkan? Apakah Rahmania sudah menjalankan sila-sila Pancasila? Berperilaku sebagaimana nilai-nilai luhur bangsa kita? Tentu, Rahmania juga akan kembali meningkatkan kapasitas diri dengan memperbanyak bacaan dan meningkatkan kepekaan.

Tepat, Rahmania. Memaknai hari lahir bukan sekedar slogan kosong dan kering. “Saya sudah Pancasila kok, saya tidak pernah berbuat penyelewengan kok, saya juga sudah hafal lima sila Pancasila”. Lebih lagi, kalau kita justru sibuk tenggelam dalam perdebatan yang sarkasme tentang Pancasila. Jangan sampai, ya!

Di era pascareformasi ini, pertanyaan dan pernyataan mengenai Pancasila masih sering diperbedatkan. Perdebatan yang dimaksud, misalnya, dengan membenturkan Pancasila sebagai ideologi yang tidak Islami, Pancasila sebagai agama, hingga Pancasila sebagai sumber liberalisasi. Di tambah dengan munculnya ungkapan-ungkapan bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi sebagai dasar negara.

Perdebatan itu akan terkikiskan. Jika, kita memahami hakikat Pancasila bukan pada kulitnya, melainkan pada pemaknaan yang sebenarnya tentang nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri.

Pancasila Sebagai Modal Bangsa

Kita mahfum bersama, tantangan geopolitik nasional dan internasional hari ini sangat multidimensi. Begitu juga zaman yang terus berubah secara dinamis. Sehingga disadari atau tidak, perubahan itu berpengaruh pada tatanan kehidupan di semua aspek. Baik politik, ekonomi, sosial, hukum, agama, dan lain sebagainya.

Permasalahan-permasalahan baru di kehidupan berbangsa dan bernegara juga terus bermunculan. Apalagi kesenjangan. Pancasila, sebenarnya sudah sangat ideal untuk perwujudan kesejahteraan dan keadilan. Pancasila dapat menjadi nilai praksis dalam mengubah kesenjangan sosial.

Baca Juga  Menanamkan Rasa Nasionalisme Bagi Penerus Bangsa

Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945, menyebutkan Pancasila sebagai “Philosofische Grondslag” . Maknanya, “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gendung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Pancasila menjadi salah satu pilar kebangsaan, di samping NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Di dalam Pancasila juga, terkandung suasana kebatinan dan spiritualitas yang didasari jiwa keagamaan dari para pendiri bangsa. Salah satunya, jika dirujuk pada Sila Pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, negara Indonesia itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa, pikiran, dan nilai-nilai Ketuhanan dan Keagamaan berbasis Tauhid.

Dengan demikian, pada proses perumusan Pancasila juga diakui bahwa kemerdekaan dan berdirinya Negara Indonesia itu, selain atas dorongan keinginan luhur dari seluruh rakyat, juga pada saat yang sama merupakan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Itu baru Sila Pertama, belum lagi kalau kita bahas sila-sila lainnya yang juga sarat makna.

Pancasila Bukan Sekedar Rumusan

Proses perumusan Pancasila yang dilakukan oleh founding father kita telah melalui proses panjang. Di samping karena kondisi yang mendesak untuk agenda kemerdekaan, juga karena, Indonesia terdiri dari banyak suku, budaya, adat, ras dan golongan. Hal itu mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di antara anggota perumus Pancasila.

Badan untuk merumuskan Pancasila yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), diresmikan pada 28 Mei 1945. Pada keesokan harinya, 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945 dimulailah sidang pertamanya.

Perumusan ini diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wedyoningrat, seorang intelektual-kejawen, dengan beranggotakan 62 orang. Di antaranya; Ir. Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Prof. Soepomo, Mr. Muh Yamin. Tokoh agama Islam yaitu; Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir,  Mr. Kasman Singodimejo, K.H. Wahid Hasyim, H. Agus Salim. Tokoh agama Kristen; Mr. Maramis dan Mr. latuharhari. Juga tokoh pimpinan lainnya.

Dalam buku ‘Negara Pancasila sebagai sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah’, pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno telah mengumumkan konsep Pancasila. Namun sebelumnya, konsep tersebut belum disepakati oleh semua anggota. Akhirnya diktum itu menimbulkan pebedaan pendapat di antara anggota-anggota BPUPKI. Anggota pun terbagi ke dalam kelompok-kelompok, yakni kelompok ‘nasionalis sekuler’ yang menerima sepenuhnya konsep dari Ir. Soekarno. Dan, kelompok ‘nasionalis Islami’ yang tidak menolak, tapi menghendaki perubahan tertentu atas usulan Ir. Soekarno itu.

Baca Juga  Muhammadiyah Membawa Perempuan Berkemajuan

Atas perbedaan tersebut, kemudian Dr. K.R.T Radjiman Wedyoningrat sebagai ketua menghendaki untuk membentuk panitia kecil, yang kemudian diberi nama Panitia Sembilan. Tujuannya, untuk menemukan formula dan mengakhiri perbedaan itu. Hasil formula tersebut, kemudian di sahkan dalam Jakarta Charter atau piagam Jakarta. Barulah, sidang BPUPKI kedua dilanjutkan pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945. Proses perumusan terus berlanjut hingga BPUPKI dibubarkan, dan terbentuknya PPKI. Sehingga, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa Pancasila secara utuh sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945.

Terlepas dari itu, diktum-diktum tentang proses perumusan Pancasila itu penting untuk diwujudkan oleh seluruh komponen nasional, elite politik bersama warga negara, dengan penuh makna dan kesungguhan. Kalau Rahmania mau membuka kembali ide dan gagasan tokoh, tanggapan, serta proses dialektikanya dalam banyak teks. Tentu dapat kita lihat, betapa sungguh-sungguhnya para founding father kita dalam merumuskan negara yang berkeadilan.

Dengan spirit sejarah dan tekad, Indonesia dapat menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara maju. Perwujudan Pancasila dapat membantu menguatkan tatanan kehidupan manusia Indonesia secara kultural dan sosial. Kemudian, Pancasila yang menjadi dasar cita-cita nasional, seharusnya mampu mengerahkan potensi-potensi nasional secara optimal.

Pancasila di Tengah Krisis

Setelah merdeka, Indonesia mengalami dinamika kehidupan yang kompleks sebagaimana tercermin dalam beberapa pemerintahan di era Revolusi (1945-1949) Demokrasi Parlementer (1950-1959), Orde Lama (1959-1966), Orde baru (1966-1998), dan Reformasi sejak tahun 1988. Pun era pascareformasi hari ini.

Tantangan yang hadir silih-berganti dan multidimensi. Seperti; stagnasi ekonomi, distrosi (peluruhan) sistem ketenagakerjaan, dan deviasi (penyimpangan) dalam berbagai sektor kehidupan. Sehingga jika dilihat makna Pancasila itu sendiri, maka kondisi hari ini sangat jauh dari cita-cita nasional yang diletakan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Kondisi demikian, tentu menimbulkan berbagai kekrisisan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antaranya;

Pertama, krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Hari ini, masih banyak ditemui kasus korupsi yang terorganisir. Penegakan hukum yang tebang-pilih, kesenjangan sosial yang nyata dan melebar, sumberdaya alam yang dieskploitasi dan dikuasai pihak asing. Namun, pemerintah masih belum mampu menangani ini. Elit politik juga demikian, masih mengedepankan kepentingan perseorangan dan golongan daripada rakyat secara majemuk.

Baca Juga  Pentingnya Konstitusi bagi Suatu Negara

Kedua, krisis kemanusiaan. Kebijaksanaan tidak lagi menjadi panduan bagi keputusan elite nasional. Hari ini, terpampang nyata proses pembodohan melalui kebijakan, kebohongan publik melalui simbol dan bahasa, pengaburan nilai peraturan-peraturan, dan bentuk-bentuk tazlim lainnya. Sebagai negara yang berperi Kemanusiaan, maka praktik hari ini sangat jauh dari kemanusiaan. Bahkan, kemanusiaan tidak lagi menjadi sense of value bagi pemangku kepentingan.

Ketiga, krisis identitas diri. Permasalahan-permasalahan hari ini yang warna-warni membentuk pergeseran identitas diri warga negaranya. Bahkan, kehidupan kebangsaan saat ini diwarnai oleh krisis moral dan etika, dengan bingkai paradoks kemajuan dan kesejahteraan.

Nilai-nilai keutamaan manusia dan kewarganegaraan seolah hilang karena keserakahan sekelompok orang. Moral, yang selama ini diakui sebagai nilai luhur bangsa Indonesia juga telah bergeser praktiknya. Hal itu, ditunjukkan oleh perilaku elite dan warga masyarakat yang korup, konsumtif, hedonis, materialistik, suka menerabas, dan beragam tindakan menyimpang lainnya,

Situasi ini menyebabkan masyarakat Indonesia kehilangan makna tentang Pancasila itu sendiri. Tentu, yang demikian ini sangat jauh dari Perwujudan Pancasila dan cita-cita nasional.

Menafsir Pancasila di Masa Kini

Indonesia, sesungguhnya memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal, dengan modal sosial dan budaya yang tinggi. Potensi itu, jika dipraktikan dalam kehidupan berkebangsaan, akan mewujudkan bangsa Indonesia yang unggul dan berkeadaban tinggi. Di antaranya, nilai-nilai itu adalah daya juang, mengutamakan harmoni, dan gotong royong.

Namun bagaimana menerjemahkan makna daya juang, harmoni, dan gotong royong itu di era yang serba dinamis ini? Pertama, merekonstruksi makna Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan, oleh seluruh komponen nasional dan generasi penerus bangsa.

Kedua, memiliki kesadaran memahami Pancasila sebagai landasan pembangunan manusia Indonesia, dengan penuh sungguh-sungguh, berorientasi pada kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kehidupan kebangsaan.

Ketiga, bagi mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik, maka, wajib menjalankan fungsi utama pemerintahan sesuai dengan jiwa, falsafah, dan cita-cita nasional, sebagaimana para pendiri bangsa. Keempat, Pancasila harus dimaknai dan difungsikan sebagai spirit, pemikiran, dan tindakan. Kelima, Memiliki optimisme dalam keterlibatan pembangunan negara.

*Tati Sedfar, aktivis mahasiswa dan perempuan muda, redaksi rahma.id.

Bagikan
Post a Comment