f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
langit

Langit Tanpa Bintang

Hari-hari kulalui kelabu. Dalam sekejap, lukisan indah keluargaku yang berwarna menjadi suram. Warna-warna ceria yang kami – aku dan suamiku pulas sejak awal membangun biduk rumah tangga ini tetiba menjadi pudar. Seolah ditelan waktu dan ujianNya yang datang tak diundang.

Aku tak peduli bahwa tubuh ini butuh istrahat. Setelah sempet isoman dan dinyatakan sehat, kami sekeluarga harus pasrah menerima kabar bahwa suamiku dinyatakan terpapar Covid-19 dua minggu kemudian. Penyakit menakutkan itu kembali menggerogoti suamiku. Aku merasa, warna kehidupanku berubah 180 derajat. Sebelumnya cerah ceria seperti cat ruangan anak TK di ujung jalan rumahku.

Penderitaanku tak sampai di situ. Setelah masuk UGD, suamiku belum bisa mendapat kamar karena penuh. Aku harus bersabar. Kondisi UGD yang penuh pasien sngat tidak menguntungkan bagi kesehatan kami semua. Untungnya, aku dikuatkan dengan dua anakku yang sedari awal tidak menunjukkan wajah sedih setidaknya di depanku, ibunya.

Saat itu suamiku mengalami sesak nafas parah. Saturasinya sangat rendah. Seingatku, dia tidak punya riwayat sakit paru-paru atau sakit asma. Namanya ujian, siapa yang tahu? Sabar-sabar aku menguatkan diri ini agar tetap tegar. Aku juga tidak mau tampak rapuh di depan kedua anakku yang sedang beranjak menjadi remaja.

Setelah seminggu berada di UGD, akhirnya suamiku dapat kamar. Dua hari di kamar biasa, ia harus dipindahkan ke ICU. Kondisi tubuhnya makin memburuk. Obat-obat yang harus dikonsumsinya pun semakin banyak. Dari hari ke hari aku merasa tubuhku makin tipis juga jiwaku. Mentalku drop. Susah payah aku harus menghibur diri. Beruntung aku dikelilingi teman-teman baik yang selalu mendukung apapun itu.

***

“Assalamualaikum!”

Aku lihat Imad, temenku saat SMA di depan pagar.

Baca Juga  Saya OTG (1) : OTG Ada di Sekitar Kita

Di balik kaca jendela, aku tersenyum. Bergegas keluar dan mempersilakan dia masuk.

“Aku hanya sebentar, ya. Mau anter titipan ini dari teman-teman seangkatan kita.”

Ia berlalu setelah menaruh beberapa paket sembako, obat-obatan dan vitamin juga sebuah amplop – aku pikir isinya uang.

Dalam kondisi seperti ini, bantuan dari teman, baik itu berupa senyum, doa, juga materi terasa seperti durian runtuh. Membuatku sangat bahagia. Merasa bahwa aku tidak sendiri. Masih ada orang baik di luar sana. Hal ini seperti jahitan pada robekan-robekan hatiku.

Alhamdulillah, batinku.

Aku buka isi sembako itu. Ada mi instan, gula, kopi, minyak goreng, biskuit, beras, kecap, kornet dan coklat. Dari bungkusan obat-obatan ada vitamin C, sari kurma, habatussauda, propolis, madu. Lalu, agak canggung aku buka amplopnya. Ada 3 juta rupiah disana. Ya Allah, hatiku menangis. Aku terharu.

Teringat ada obat-obatan yang harus kucover. Uang ini bisa dipergunakan untuk itu. Rencana-rencana berlompatan dari kepalaku. Aku akan berangkat setelah Asar, menuju rumah sakit.

***

Aku tidak bisa mendampingi suamiku. Hubunganku dengannya sebatas via henpon. Terkadang ia lama membalas. Kalau sudah begitu, aku ngeri membayangkan hal-hal yang bisa saja terjadi kepadanya. Sesekali aku vcall. Ini mengobati rinduku dan kekawatiranku. Suatu ketika kami vcall, ia tampak kurus dan berusaha tersenyum. Aku tahu dia sedang menutupi kondisinya. Aku sampaikan padanya bahwa teman-teman dan keluarga sangat mendukung dan selalu berdoa untuk kesembuhannya.

Seolah merasakan apa yang kurasa, ia sempat menitikkan air mata.

“Aku tidak ingin menyusahkanmu. Aku bikin kamu repot saja.”

“Hei, kamu ngomong apa? Aku tidak repot. Ini sudah menjadi tugasku menjagamu sampai kamu sembuh dan kita bisa bersama lagi, kan?” Hatiku patah-patah ketika mengucapkan kalimat ini.

Baca Juga  Sore Bersama Tiga Perempuan

Sejak ia sakit, aku menyadari betapa suamiku selama ini baik sekali. Akhlaknya jadi panutan. Amalan rutinnya puluhan tahun bersamaku tak pernah bosan ia kerjakan.  Aku saja tak sanggup seperti dia. Jangankan seperti nabi, menjadi sosok seperti suamiku saja aku tak bisa. Berat. Perlakuannya terhadap teman dan saudara begitu tulus. Ia sering dikecewakan bahkan dikhianati, tapi itu tak jadi soal baginya. Yang jadi konsennya adalah sebanyak mungkin ia bisa manfaat. Seluas mungkin ia berbuat baik.

“Kamu itu pintar, jadikanlah ilmumu sebagai amal jariahmu. Jadikan itu manfaat bagi orang banyak.”

Kalimat inilah yang aku ingat sampai sekarang.

***

Hampir sebulan ia di rumah sakit. Kondisinya makin buruk. Aku sudah pasrah apapun yang terjadi. Meski dalam hati kecil ada titik yang mengatakan, “Aku ingin engkau sehat kembali. Bersama kita melakukan kebaikan. Merawat anak-anak kita hingga besar dan kita menua bersama.”

Kutekan perasaan sedih dan kutiupkan semangat ke dalam diri. Kutepis jenis-jenis khawatir dan cemas yang menerpa.

Allah tidak pernah zolim pada hambaNya, batinku.

Semua bagi Allah adalah baik. Aku dan imanku yang masih memilah-milah ini baik ini buruk yang datang dariNya. Sejatinya, semuanya baik. Dalam setiap kondisi adalah bagus karena aku makin menempel padaNya.

“Ya Allah, aku pasrah akan dibawa kemana skenarioMu ini. Bawalah aku kemana Engkau persiapkan. Biarkan aku dalam langkahMu menujuMu. Sambut aku berjalan bersamaMu.”

Aku berkata dalam hati. Sembari duduk di angkot, hendak pulang setelah menjenguk suami. Meski menjenguk adalah bukan bertemu, melainkan aku hanya duduk di lantai bawah tempat para wali pasien Covid yang disediakan RS.

Tertidur pulas aku di angkot. Masker yang kupakai naik sedikit. Di angkot itu aku bermimpi.

Baca Juga  Menjadi Suami Kualitas Ori di Kala Pandemi

“Kamu sudah kuat ya sekarang.”

Aku merasa suamiku berkata padaku di sebuah taman yang indah.

“Maksudnya?”

“Aku hendak pergi jauh. Tapi kamu jangan ikut, ya.”

“Kemana? Kenapa?”

“Kamu harus merawat anak-anak kita. Mereka akan tumbuh jadi anak soleh. Kamu harus mendidiknya. Ajarkan seperti yang telah kita lakukan selama ini, ya?”

“Tapi, kamu mau kemana? Kenapa harus aku sendiri yang merawat mereka? Bukankah akan bagus jika ..”

Teriakan supir membangunkanku. Oh, aku sudah sampai di terminal. Dari sini aku bisa jalan kaki selama lima menit menuju rumahku.

***

Aku baru saja menuntaskan salat Isya berjamaah dengan dua anakku ketika kabar tak sedap itu datang. Pihak rumah sakit baru saja mengabarkan bahwa suamiku sudah berpulang untuk selamanya. Ia sempat mengalami gagal nafas sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Innalillahi wa inna ilahi raji’un.

Semuanya milik Allah dan akan kembali kepadaNya.

Suamiku, kekasihku, sahabatku yang selama ini menemani kisah kehidupanku telah berjalan menujuNya, meninggalkan aku dan dua anakku.

Di luar, langit tanpa bintang mewakili hatiku yang menangis dalam diam.

***

Note:

Kepada siapapun yang kehilangan orang terkasih, sahabat tercinta saat pandemi; dalam gelap kita bisa lihat cahaya. Bahkan ketika di luar gelap gulita, kamu bisa melihat sekeliling karena kamu adalah cahaya.

Bagikan
Comments
  • Gigih Jufri Wisda

    Cerpen langit tanpa bintang, terasa sedihnya saat kehilangan suami, ayah tercinta.
    jadi bener yang ada dicerpen ini jadi harus selalu bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain.

    Maret 6, 2022
    • Hehe…thanks udah mampir…

      Maret 7, 2022
Post a Comment