f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
bayi

Kemampuan Metafisika Bayi

Oleh: Ahada Ramadhana*

Anak Saya berusia 1,5 bulan, dia sering terpana pada suatu benda, apa yang sebenarnya dia lihat?

“Belikan kerincingan apa ya?” tanyaku sebelum berangkat ke swalayan M, tempat belanja langganan kami yang harganya sesuai kantong.

Aku menunggu tanggapan, tapi Septi diam saja. Kelihatannya dia belum maksud arah pembicaraanku.

“Biar mengalihkan perhatian kalau malam..” lanjutku.

Si kecil Ara, bayi kami yang baru lahir sehari sebelum Ramadan, belum lama ini sudah mulai berfungsi penglihatannya, kalau tak salah setelah syukuran selapanan (35 hari). Perkembangan ini, ditambah dia sudah bisa senyum/tertawa dalam keadaan melek, tentu membahagiakan-sebelumnya dia sering tertawa tapi dalam kondisi bermimpi.

Namun, ada kekhawatiran juga bagi kami orang tuanya. Sebab, beberapa kali di waktu malam kami memergoki dia terpana cukup lama ke arah koper cokelat di atas lemari besar atau gorden pink di sebelah tempat tidur. Kadang, bola matanya bergeser seperti mengikuti benda bergerak yang berhasil menarik perhatiannya. Malah belakangan, spot-spot yang menarik perhatian si kecil bertambah, kadang dekat jam, kadang dekat kipas angin dinding, kadang dekat lampu. Tak cuma malam, siang-siang juga si kecil sering memperhatikan sisi-sisi itu.

Lalu khawatirnya di mana? Sebagai orang yang percaya perkara metafisik, saya sempat berasumsi bahwa ‘mereka’ sedang menjalin kontak dengan si kecil, sekaligus memberi ‘respons’ usai aku dan Septi kerap menyetel selawatan serta tilawah Mishary Rasyid atau Abdul Rahman Al-Sudais.

Aku ingat pertama kali membahas topik ini dengan Septi. Waktu itu si kecil di gendonganku tak kunjung tidur. Aku yang mulai pegal berdecak kesal, “ckk,”

“Nggak tidur-tidur kan..” timpal Septi, seolah menegaskan kalau menidurkan anak kecil itu sulit.

Langsung saja kutimpali, “Aku curiganya ada makhluk yang ngganggu,”

Septi diam, sedikit kaget.

“Soalnya kalau malem jam 1-an apa jam 3-an dia sering ngeliatin atas lemari,” lanjutku.

Kecurigaanku makin besar ketika belakangan ini dia makin sering nangis tiba-tiba saat tidur.

Lho, bukannya bayi memang wajar kalau nangis…

Maksudku begini, memang sesekali dia terbangun nangis karena kaget ada air anget ngalir di pahanya dan setelahnya risih popoknya basah. Atau karena kehausan minta nenen-ketahuannya kalau pipinya dipencet, mulutnya bakal mangap atau lidahnya melet. Atau nangis saat perutnya mules karena eeknya nggak keluar berhari-hari, biasanya kelihatan mukanya merah mengeluarkan tenaga, bersuara khas orang ngeden, sambil perutnya gerak-gerak. Atau rewel karena dia sehabis pipis nggak bisa langsung tidur lagi, biasanya dia minta nenen sebagai alat menuju tidurnya.

Baca Juga  Menjadikan Keluarga Sebagai Tempat Pulang yang Aman Bagi Anak

Tapi selain beberapa penyebab itu, beberapa kali dia rewelnya melebihi kalau popok basah dan minta nenen, nah sewaktu dibawa keluar kamar dia langsung diam dan bisa merem lagi, tidurnya lelap di gendongan. Saya yang makin mantap dengan kecurigaan itu pun mengecek literatur bebas di internet. Di situ disebutkan, ‘gangguan’ itu bisa dari sisi penglihatan maupun pendengaran.

Tapi kan mungkin aja rewelnya karena sumuk

Aku yakin nggak sih. Karena kalau siang jendela kita buka lebar, kalau malam nyalakan kipas.

Atau mungkin dia cuma minta digendong, wajar kan bayi pengennya ditemani terus…

Mungkin sih, tapi gini…

Aku pernah coba mainin kerincingan di dekatnya. Ternyata dia tertarik memperhatikan, sama terpananya seperti pas dia lihat koper coklat. Kali lain aku mengarahkan kepalanya ke bandul jam dinding yang gerak kanan-kiri dan bunyi setiap 15 menit, dia juga nggak kalah terkesima seperti waktu lihat gorden pink.

Beberapa hari awal si bocil suka melihat spot-spot itu, dengan meyakini kecurigaan tadi, aku menimbun jengkel pada ‘mereka’. Di pikiranku, bisa jadi mereka sengaja menjalin interaksi untuk mengganggu dan menakuti si kecil. Di titik ini aku merasa mereka adalah makhluk bernyali cemen karena beraninya mengganggu bayi.

Tapi belakangan, aku bisa lebih santai. Setelah tebersit pikiran bahwa bisa jadi mereka sebenarnya tidak bermaksud mengganggu, alias cuma beraktivitas seperti biasa, tapi kebetulan si kecil bisa lihat sampai perhatiannya kerap tertuju ke mereka. Kini, kalau si kecil terpana ke arah itu yang kami lihat dengan mata orang dewasa tak ada apa-apanya, aku berseloroh, “Lihat apa dek? Diajak syahadat aja itu,”

Tapi dari kekhawatiran itu, aku juga tergerak untuk sedikit usaha nggoogling seputar penglihatan bayi. Dimulai dari bagaimana perkembangan penglihatan bayi, kapan bayi bisa melihat warna, hingga apa yang sebenarnya yang bayi lihat. Penelusuranku berlanjut hingga bahasan apakah bayi bisa melihat apa yang orang dewasa tak bisa lihat, serta dapatkah bayi merasakan hal gaib.

Beberapa referensi yang kubaca ini ada yang saling bersinggungan juga ada yang berselisih, tapi tak terlalu jauh perbedaannya. Misalnya, American Optometric Asosiation menyebut, pandangan bayi baru lahir terbatas pada jarak 8-11 inci (20-28 cm). Disebutkan juga, meski terlihat sedang memperhatikan sesuatu dengan saksama namun sebenarnya bayi belum mampu membedakan dua objek. Di usia 1 bulan, mata bayi masih rabun jauh tapi kedua bola matanya sudah bisa bekerja bersamaan dan mulai melacak objek bergerak. Di usia 2 bulan, mata bayi mulai bisa mendeteksi wajah orang terdekatnya. Di usia 3 bulan, barulah mata bayi bisa tracking mengikuti benda bergerak, serta menyukai warna cerah.

Baca Juga  Kado untuk Ratmi

Sementara di American Academy of Ophthalmologi disebutkan, bayi baru lahir sedang dalam penyesuaian terhadap cahaya, oleh karenanya sensitif terhadap yang bersifat terang. Hal itu bisa dilihat dari kecilnya pupil mereka, yang berarti membatasi cahaya masuk ke mata. Pupil akan melebar dalam beberapa minggu seiring perkembangan retina. Mereka baru bisa fokus melihat objek yang persis di depan mata, dengan jarak terbatas. Sedangkan untuk melihat objek di samping, mereka menggunakan bagian tepi (retina) karena bagian sentralnya (pupil) masih berkembang. Inilah mengapa kita kerap melihat bayi suka melirik. Mereka juga bisa melihat suatu pola, membedakan area gelap dan terang, serta tertarik pada objek besar dan warna cerah.

Barulah di usia 1 bulan bayi bisa fokus pada orang tuanya meski cuma sebentar. Mereka lebih tertarik pada objek cerah dengan jarak pandang 3 kaki (90 cm). Di usia 2 bulan, koordinasi kedua bola mata telah meningkat sehingga bisa bekerja bersamaan saat melacak objek bergerak. Di usia 3 bulan, bayi mampu mengoordinasi mata dan lengan untuk menjamah objek bergerak di dekatnya.

Sementara itu Kids Health menuturkan, mainan warna cerah bagus untuk meningkatkan kemampuan membedakan warna bagi bayi akhir 3 bulan. Di usia ini mereka juga mampu melihat wajah yang sudah familiar bagi mereka meski di kejauhan. Selain itu, mereka mampu mengikuti benda bergerak serta tertarik pada bentuk dan pola. Disarankan untuk memasang cermin di tempat tidur bayi. Sebab selain wajah orang tua, bayi usia ini juga suka melihat wajahnya sendiri. Itulah kenapa bayi sudah bisa diajak selfie/wefie.

Oh ya, di pencarian referensi itu, aku juga diarahkan pada link yang membahas tentang ‘bisakah bayi melihat sesuatu yang kita tidak lihat?’. Setelah diklik, ternyata bahasannya berbeda dari yang kubayangkan, tidak sama sekali membahas yang berbau metafisik. Disebutkan, pada usia 3-4 bulan bayi punya kemampuan yang tak dimiliki orang dewasa yakni melihat detail pada sebuah objek. Tapi, bayi tak punya cara untuk menyampaikannya. Benda-benda yang terlihat mirip/identik bagi orang dewasa terlihat berbeda bagi bayi usia ini. Tapi, kemampuan ini berangsur hilang saat memasuki 5 bulan. Laporan Scientific American menyebut kemampuan ini ‘ketetapan perseptual’ (perceptual constancy).

Baca Juga  Mak Mani Ingin Melihat (2)

Nah, kembali ke persoalan awal. Dari beberapa referensi di atas berarti, di usia 1,5 bulan kini, objek yang paling pasti bisa Ara lihat adalah ibunya saat dia lagi nenen, atau ayahnya saat menggendong intim. Nah, jarak kasur ke gorden itu ada lebih 1 meter. Sedangkan kasur ke koper coklat lebih 2 meter. Lalu apa yang sebenarnya dia lihat?

Dari beberapa bahasan di atas, saya berasumsi bahwa Ara melihat objek besar saat melihat koper cokelat, di mana dia belum terlalu bisa membedakan antara koper dan lemari karena penglihatan yang belum berkembang sekaligus karena jarak. Untuk gorden pink, mungkin dia sedang melihat warna cerah. Untuk kipas angin juga bisa diasumsikan sebagai objek besar tunggal di dinding. Sedangkan lampu bisa jadi karena itu area terang.

Yah, itu semua adalah taksiran semata sebagai suatu cara menepis berbagai pikiran irasional, haha… Semua kembali pada keyakinan masing-masing dan saya tidak sedang memaksakan asumsi saya ini ke siapa pun.

Ahli psikologi perinatal asal Australia, Erin Bowe pun saat membahas babbling tak memungkiri bahwa sebagian orang tua punya pemikiran yang mengarah pada mistis. Kepercayaan itu, menurutnya dipengaruhi oleh kultur dan budaya masing-masing orang tua.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa seringkali tidak ada penjelasan benar atau salah. “Ada segala macam pandangan dan perspektif dunia dan (penjelasan ilmiah) hanyalah salah satunya. Orang bisa percaya apa pun yang mereka suka. Yang utama adalah jangan memaksakan keyakinan itu,” terangnya.

Jadi dengan itu, ketika pandangan Ara terpana pada suatu titik tertentu, saya pikir lebih baik menjalin interaksi verbal aka ngobrol tentang apa yang dia lihat. Hal itu selain meningkatkan bonding antara orang tua dengan anak, juga bisa jadi cara dia belajar mengenali dunia sekeliling, mengasah pendengaran maupun penglihatannya.

*Pekerja media online yang baru jadi bapak

Bagikan
Post a Comment