f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Fokus Saling Dukung Soal Parenting, Jangan Lagi Bahas Kubu-kubu!

Oleh: Holy I. Wahyuni*

Menjadi seorang ibu merupakan pengalaman paling berharga bagi setiap perempuan yang telah menikah. Bagi kebanyakan perempuan, menjadi ibu adalah sebagian besar dari tujuan pernikahan yang dinantikan. Menjadi seorang ibu adalah pembelajaran berkelanjutan, dengan tempo sepanjang masa, yang mana pada setiap saatnya akan ada saja pengetahuan baru sebagai bentuk pembelajaran. Mengasuh dan mendidik anak merupakan misi membangun peradaban, dan itu tidaklah mudah. Sayangnya dalam ketidak-mudahan itu, justru seorang ibu seringkali dibebani oleh hal lain yang menyita energi, waktu, dan fikiran, contoh dari hal lain yang dimaksud adalah kemunculan ‘kubu-kubu’.

Kubu-kubu apa sajakah itu?

Berdasarkan pengamatan saya di beberapa situs jajaring sosial, beberapa pembahasan di dunia ibu yang seringkali menjadi topik menggelitik adalah tentang kubu ibu melahirkan normal versus kubu ibu melahirkan secara sectio caesaria (SC), kubu ibu ASI eksklusif versus kubu ibu ASIC (ASI campur susu formula), kubu ibu pengguna popok cuci ulang versus ibu pengguna popok sekali pakai, kubu ibu MPASI instan versus kubu ibu MPASI homemade, dan lain sebagainya.

Pembahasan ini tidak jarang berujung runyam, saling memojokkan, saling merendahkan, saling julid, saling klaim sebagai terbaik, hingga beradu sindiran dalam tulisan. Beberapa kubu merasa dipandang sebelah mata, dalam hal ini yang paling sering sensitif pada pembahasan tersebut adalah kubu ibu melahirkan secara SC (red; sesar), dan kubu ibu yang memberi anak susu formula.

Mungkin bagi sebagian orang, hal ini dianggap sebagai pembahasan usang yang tidak penting, hanya sebatas cuitan emak-emak, tapi menurut hemat saya, setidaknya perseteruan kubu ini harus disudahi, minimal dialihkan pada pembahasan yang lebih membawa manfaat dan perdamaian. Sebab beberapa ada yang bercerita dalam kolom komentar atau pada thread bahwa ada saja yang kehilangan kepercayaan diri sebagai ibu, bahkan mengklaim diri sendiri sebagai ibu gagal karena aktivitas pengotak-ngotakan ini.

Baca Juga  Ayah Ibu, Hati-Hati dengan Doamu

Hal tersebut tentu saja sebuah berita buruk dalam dunia parenting, bagaimana tidak, seorang ibu yang usai menjalani sebuah proses biologis yakni mengandung dan melahirkan sangat membutuhkan dukungan dan lingkungan yang kondusif untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan jiwanya. Bukan judgement tidak berfaedah, yang hanya akan berujung pada terjadinya hal yang lebih serius, seperti baby blues bahkan depresi post partum. Benar, dua kejadian tersebut bisa berawal dari masalah lisan yang masih sering dianggap sepele.

Angka kejadian baby blues di Asia tergolong cukup tinggi dan bervariasi, yakni antara 26-85%. Di Indonesia angka kejadian baby blues antara 50-70% (Munawaroh, 2008). Angka ini menunjukkan bahwa membangun kekuatan moril dan survivalitas bagi seorang ibu adalah hal mendesak. Statemen-statemen penengah dan penyejuk sangat dibutuhkan di tengah sengitnya perseteruan antara kubu-kubu ini.

Semisal pernyataan bahwa baik melahirkan secara pervaginam (normal) maupun secara SC (Red; sesar) keduanya sama-sama seorang ibu hebat yang berjuang, keduanya mengharapkan tujuan yang sama, yakni keselamatan ibu dan bayi.

Atau pernyataan lain untuk menyikapi antara ibu ASI eksklusif versus Ibu susu formula, bahwa bagi seorang ibu dengan kondisi medis tertentu sehingga tidak memungkinkan memberikan ASI eksklusif bagi bayinya bukan seorang ibu yang gagal, karena setiap ibu pasti ingin memberikan anaknya ASI penuh, setiap ibu pasti ingin memberikan yang terbaik bagi sang buah hati.

Kesibukan para ibu beradu argumen di sosial media tentang perbedaan tersebut menyebabkan mereka melupakan hal yang jauh lebih penting dan lebih berfaedah, yakni aktivitas berbagi info seputar metode parenting. Semata agar sampailah pada bangunan kesadaran di kalangan para ibu bahwa segala perbedaan tersebut sebetulnya bukan untuk diperdebatkan, tidak peduli seorang bayi itu dilahirkan secara normal ataupun SC(red: sesar) , apakah bayi itu bayi ASI ataupun susu formula, sebab peran pengasuhan, pendidikan dan pengajaran serta proses pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orang tua dan lingkungan akan turut serta menjadi variabel penting dalam menentukan tumbuh kembang buah hati.

Baca Juga  Mengapa Anak Menjadi Nakal?

Artinya seorang ibu jangan dulu terburu-buru berkecil hati, sebab masih dan akan selalu ada harapan bagi perkembangan terbaik untuk anak-anak. Beberapa teori di bawah ini akan mendukung harapan tersebut, harapan tentang sebuah proses dalam tumbuh kembang seorang anak yang faktanya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan semata mengonsumsi A, B, C, dan lalu bim salabim anak akan menjadi genius dan bermoral tinggi, bukan Bu! Itu adalah salah satu faktor dari sekian banyak faktor, sementara itu, masih banyak tugas dan misi yang musti kita emban.

Teori Tabula Rasa dan Kemampuan Bawaan

John Locke (1960) dengan teorinya tabula rasa menyatakan bahwa setiap anak terlahir ke dunia diibaratkan sebagai kertas kosong, pengalaman inderawi dan lingkungan akan memengaruhi perkembangannya. Jadi, ingin berisi coretan apa saja kertas putih itu sangat bergantung dari orang tua yang mendidiknya, walau bagaimanapun orang tua membawa andil besar dalam proses pembentukan karakter dan jati diri seorang anak. Lebih tepatnya lingkungan akan turut serta membentuk karakter, jatidiri serta pengetahuan seorang anak melalui proses asosiasi (penggabungan dua gagasan), repetisi (pengulangan), imitasi (peniruan) serta reward dan punishment, yang mana konsep ini dikenal dengan konsep environmentalisme (Sit, 2012).

Perkembangan Kognitif

Jean Piaget (1896-1980) menyatakan bahwa tahapan berpikir manusia sejalan dengan tahapan umurnya (Sit, 2012). Dalam hal ini ibu bertugas untuk senantiasa memberikan rangsangan atau stimulasi sesuai tahapan usia anak. Stimulasi yang diberikan bagaikan sebuah daya yang akan mengaktivasi kemampuan anak sesuai usia. Pada akhirnya, pengalaman kognitif anak akan menjadi rangkaian yang akan menjadi jembatan pengetahuan awal menuju pendalaman-pendalaman kemampuan kognitif yang lebih kompleks.

Sosial-Historis

Baca Juga  Perempuan dalam Lingkaran Kekuasaan

Teori ini dikemukakan oleh Vygotsky yang menyatakan bahwa konteks sosial adalah faktor yang sangat penting dalam proses belajar anak. Sebab mapan secara kognitif saja belum cukup. Sehingga bagi seorang ibu penting untuk memperkenalkan anak dengan dunia luar, mendampingi anak dalam berinteraksi dengan teman sepermainan, orang yang lebih muda, ataupun orang yang lebih tua.

Beberapa teori tersebut di atas adalah bukti bahwa setiap ibu memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan pengasuhan terbaik bagi anaknya. Tidak peduli bagaimana riwayat medis proses melahirkannya, tidak peduli ibu ASI atau ibu susu formula. Karena berbicara tentang bagaimana pengetahuan, serta karakter manusia terbentuk sekali lagi bukan hanya faktor apa yang ia konsumsi, melainkan multifaktor, multi variabel.

Di penghujung tulisan ini, saya ingin mengajak kepada setiap ibu, terlebih dalam membangun interaksi sesama ibu, agar lebih baik mengalihkan topik tentang metode-metode efektif dalam parenting, tentang media-media yang kreatif dan inofatif untuk stimulasi tumbuh kembang anak, sehingga energi akan lebih berdaya dan memberdayakan, tidak berkutat pada perseteruan antar kubu yang tak pernah berujung dan tak akan membuahkan hasil yang bermanfaat. Justru sebaliknya, bisa jadi sikap dan lisan kita yang tidak terkontrol akan menyakiti hati sesama perempuan, khususnya sesama ibu yang sedang dan sama-sama tengah berjuang. [S]

*) Holy I. Wahyuni ; ibu satu anak, tenaga kependidikan UMSurabaya

Bagikan
Post a Comment