f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kapitalisasi pendidikan

Bagaimana Bila Keluarga Bukanlah Rumah Bagi Anak?

Sama seperti sebagian banyak hal, parenting di mata beberapa orang juga selalu salah. Bahkan sebelum sosial media ada, hal-hal yang berkaitan dengan cara mengurus dan mendidik anak itu memang selalu menuai polemik. Anak bahagia dibilang terlalu dimanjakan. Anak menangis dibilang banyak diberi tekanan. Di tengah pandemi seperti ini, bagaimana cara kita mendidik dan mengurus anak lagi-lagi juga ikut diuji.

Benarkah Kelurga adalah Rumah Bagi Anak?

Pikir saya, gegara pandemi, justru seharusnya anak dan orang tua bisa semakin akrab. Anak dan orang tua yang dahulu jarang bertemu, sekarang selama hampir 24 jam bisa melihat aktivitas masing-masing mulai dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali. Tetapi, apakah fakta di lapangan betul begitu? Tentu tidak. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap anak justru malah meningkat. Tepatnya terhitung ada total 3000 kasus berdasarkan SIMFONI PPA—pertanggal 1 Januari 2020 sampai dengan bulan Juni 2020—dimana 852 di antaranya adalah kekerasan fisik, 1.848 yang lain adalah kasus kekerasan seksual, dan 768 kasus sisanya adalah kekerasan psikis.

Angka ini tentu bukan jumlah yang kecil dan itupun belum diakumulasikan dengan kasus-kasus lain yang tidak tercatat sampai dengan hari ini. Aneh bahwa faktanya kasus-kasus kekerasan itu justru dilakukan oleh orang terdekat. Oleh keluarga. Kok bisa? Lalu kalau sudah begini, bagaimana jadinya bila keluarga bukanlah rumah bagi anak?

Edukasi mengenai cara mengurus dan mendidik anak tentu-lah memegang peran vital dalam hal ini. Pasalnya, harus diakui bahwa—boleh setuju, boleh juga tidak—belum tentu orang yang menikah adalah orang yang paham parenting. Akibatnya, seringkali faktor-faktor eksternal yang orang tua alami malah dilampiaskan ke anak. Baik secara sadar maupun tidak sadar. Baik dari perkataan maupun perbuatan.

Baca Juga  Mendongeng atau Berkisah?

Kita memang belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Yang jelas, bila kemudian kekerasan pada anak terus melonjak, meskipun hanya selama satu atau dua bulan, trauma yang diderita anak bisa jadi terus menempel bahkan mengakar sampai ia dewasa.

Sandi Pradithama, Nurhadi, dan Budiarti pernah membuat penelitian mengenai bagaimana kekerasan terhadap anak dalam keluarga dipandang melalui perspektif fakta sosial. Ada beberapa bagian menarik dari hasil penelitian itu yang saya rasa perlu dibahas kembali.

Pertama, hasil penelitian itu membuktikan bahwa kekerasan yang dilakukan pada anak adalah cara dalam mendidik karakter si anak.

Dalil orang tua-orang tua yang melakukan ini tak lain dan tak bukan: cara mendidik anaknya saat ini meniru apa yang orang tuanya dulu lakukan padanya. Ini jelas-jelas penyelewengan dan pelanggaran hak anak. Pendidikan yang menggunakan kekerasan ini seolah-olah terus dihalalkan karena dilanggengkan dari generasi ke generasi, bahkan sampai dengan hari ini. Fakta menyedihkan ini tentu membuat banyak dari kita bergeming. Menggunakan kekerasan dalam mendidik anak tidak akan membentuk karakter anak secara sehat. Justru sebaliknya.

Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung menjadi pribadi yang murung, tempramental, dan bahkan mudah kehilangan kepercayaan dirinya. Dalam psikologi pendidikan, faktor-faktor tadi akan memengaruhi prestasi akademik anak. Terlebih karena tentu anak jadi tidak bersemangat dan mudah kehilangan motivasi dalam belajar. Dampak jangka panjangnya juga tak main-main. Anak laki-laki akan cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain, sementara anak perempuan akan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasi sendiri.

Kedua, hasil penelitian itu juga membuktikan bahwa kekerasan yang dilakukan pada anak disebabkan oleh adanya pandangan bahwa kedudukan anak adalah yang nomor yang kesekian dalam keluarga.

Hadeh. Please, deh. Menganggap anak—juga manusia lain—sebagai objek kosong adalah ciri penindasan yang paling mudah dikenali. Anak juga adalah manusia yang berkeinginan, memiliki pikiran, dan kehendak bebas. Oleh karenanya, tugas orang tua sebetulnya adalah membimbing, bukan memaksa.

Baca Juga  Asal Kita Baik, Cukupkah ?

Dalam beberapa kasus, tak heranlah bahwa yang kayak begitu masih tumbuh subur. Hal ini terjadi karena penempatan anak sebagai objek yang lebih rendah sudah lama dikonstruksi oleh budaya masyarakat tertentu. Pemahaman dari konsep kepatuhan yang salah inilah yang harus kita perhatikan. Bahwa anak memang harus patuh adalah benar adanya. Rida Allah adalah rida orang tua. Tetapi, menghilangkan hak anak untuk berbicara dan bersuara juga tentu bukan hal yang bisa dibenarkan begitu saja. Sebab, pendidikan dan pola komunikasi yang dialogis dan konstruktif penting dalam keluarga, karena itulah yang menghubungkan interaksi antar individu di dalamnya.

Saatnya Merevitalisasi Peran dalam Keluarga

Pandemi ini membuka ruang bagi kita—baik sebagai anak maupun orangtua—untuk kembali merevitalisasi peran masing-masing dalam keluarga. Bagi saya, yang juga dalam hal ini masih berstatus anak, kooperatif dan memperbaiki komunikasi dengan orang tua adalah upaya penting untuk memperbaiki relasi dan membangun kedekatan. Membiasakan diri untuk turut ikut andil dalam pekerjaan-pekerjaan rumah, ikut menyiram tanaman, memberi makan ikan, atau sekadar mencuci piring, misalnya. Begitupun dengan Rahmania yang sudah berkeluarga. Menginisiasi untuk menciptakan ruang dialog dengan anak perlu untuk dilakukan agar anak terbiasa dan terbuka dengan orangtua.

 Saya selalu percaya bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk singgah, juga tempat paling nyaman untuk kembali. Karena memang karena itulah ia disebut rumah. Bangunan yang fondasinya adalah kepercayaan, kedekatan, juga keragaman; awal dan akhir dari petualangan; dan tempat sebaik-baiknya tujuan pulang setelah perjalanan jauh.

Jadi, sudahkah keluarga kita menjadi rumah bagi anak?

Bagikan
Post a Comment