f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
segera menyiapkan

Ramadan Kami Tanpamu

Awan hitam mengepul bagaikan bunga kol menutupi penuh di langit yang sebelumnya cerah. Gemelegar petir menyambar-nyambar mengagetkan bapak yang sedari tadi tidur mengistirahatkan badannya yang lemas, karena seharian berkebun. Bapak terlihat kaget, tetapi setelah tahu bahwa telah terjadi hujan di luar sana, senyuman manis terlihat di keriputan wajahnya yang mulai menua.

Sebenarnya sejak tiga hari terakhir, sering terjadi gemuruh petir dan awan hitam. Tapi tak pernah sampai terjadi turun hujan. Dan hari ini, Aku tak menyangka, jika bulan Ramadan pertama sore ini telah turun hujan deras di desa kami. Penduduk sekitar menjadi berkegirangan menyambut datangnya hujan itu. Sudah selayaknya kami menantikan momen yang telah lama ditunggu ini. Bagaikan kekasih yang lama memendam rindu kemudian bertemu. Bumi pun menantikan siraman kesejukan dari langit. Mungkin sudah menjadi sebuah kuasa Ilahi jika hujan diturunkan di awal bulan yang penuh berkah ini.

Saat setelah hujan deras itu mulai mereda, bapak mengajakku untuk segera pergi ke sawah untuk membajaknya sebagai media tanam padi seteah sebelumnya ditanami kacang hijau. Dengan membawa mesin traktor yang akan digunakan untuk membajak sawah, bapak mengengkol mesin itu beberapa kali, sampai kali ke tiga, mesin itupun baru mulai dapat berjalan.

Kali ini, aku yang mengandalikan mesin penggembur tanah itu ke area persawahan kami. Mumpung air di sawah masih menggenang dan sebelum terlanjur surut, para petani yang lainnya pun juga tak kalah untuk mengeluarka mesin­-mesin traktornya menuju ke area persawahannya masing-masing. Karena memang waktu seperti itulah yang sangat mendukung para petani untuk bisa menjadikan lahan pertaniannya bisa ditanami padi. Kalau sudah terlanjur surut pasti akan sulit untuk dibajak sekalipun menggunakan mesin traktor berharga selangit.

***

Bermodalkan cangkul, bapak merapikan pematang sawah sedemikian rupa agar terlihat lebih tinggi, karena ketika musim kemarau kemaren banyak di sisi pematang sawah yang dilubangi oleh tikus sawah yang mejadi musuh utama para petani. Sawah mulai menggembur dan hampir sempurna hasil kerja keras sesore ini. Aku meminta bapak untuk menggantikanku, karena aku mulai keletihan. Kuraba-raba perutku yang sudah bergemuruh seperti ingin diganjal sesuap makanan.

Walau telah terjadi hujan deras tadi, tenggorokan yang kurasa adalah kering keronta bak sungai yang surut dimusim panas. Kududukkan badan lemasku di pojokan sawah, sambil menyenderkan punggung kecilku ini di bawah pohon cermai. Aku melihati bapak yang sedang mengoperasikan traktor itu dengan profesional, tentunya jauh lebih hebat dariku. Di selang istirahatku itu, aku teringat dengan sesosok yang biasa ikut terjun ke sawah selain hanya aku dan bapak.

Baca Juga  Suami : Sumber Stress di Masa Kehamilan ?

Dia selalu ikut berkecimpung dengan kami, berangkat dan pulang pun bersama kami. Menyiapkan makanan, entah sarapan ketika kami ke sawah di pagi hari, maupun siang ataupun sore ketika ada pekerjaan yang dadakan saat seperti ini. Tetapi yang terpenting di kehidupanku, dia adalah tempat pertama kali yang mengajariku tentang apapun di dunia ini. Melerai setiap tangisan dan kesedihanku menjadi sebuah tawa dalam kebahagiaan. Menemaniku dari bangun tidur higga menjelang tidur lelapku.

Yang selalu mengejar-ngejarku ketika diriku ini hendak dimandikan. Menyuapiku ketika makan sebelum akhirnya aku bisa makan dan minum dengan benar sendiri. Hingga  waktu masuk sekolah pun tak pernah luput dari peran sertanya yang setia mengantarkan sampai gerbang sekolahan hingga kemudian juga menjemputku tatkala pembelajaran sekolah telah usai. Dia adalah ibuku yang sangat kucintai.

Tak Mengantar Ibu

Sekitar bulan Ruwah kemaren, ibuku mengalami sebuah kecelakaan kendaraan yang merenggut nyawanya. Bermula ibu yang akan berangkat ke pasar untuk berbelanja, beliau mengendarai sepeda motor matic berwarna merah seperti biasanya. Sebenarnya ibu sudah memintaku untuk mengantarkannya, semenjak aku dibangunkan subuh pada jam lima dini hari itu.

“Le! Aziz, nanti ibu mau belanja ke pasar. Tolong anterin, ya. Agak santai kok, mungkin nanti sekitar jam tujuh,” kata ibu saat menghampiriku seusai sholat subuh.

“Iya, buk, insyaallah, masih nantikan kan, buk, jam tujuh. Kalau begitu, Aziz mau tidur terlebih dahulu. Masih ngantuk soalnya, lumayan buat gantiin yang semalem,” jawabku dengan sambil merapikan bantal di atas ranjang.

Tapi siapa yang dapat menyangkanya, karena malamnya aku ikut begadang di tempat hajatan Pak Dhe Gito sampai larut jam dua malam lebih. Aku yang sepakat mengantarkan ibu jam tujuh, tak dapat dikompromikan lagi mata yang terlanjur pekat dengan kelelapan tidur. Sayup-sayup suara ibu membangunkanku. Membukakan jendela kamar yang memberikan jalan cahaya mentari menghangatkan ranjang tempatku tidur.

Bahkan sampai ibu menggonjang-goncangkannya tak dapat ku segera terbangun dari mimpiku. Mungkin saking jengkelnya ibu untuk membangunkanku, dia tak ambil langkah lama lagi untuk berangkat sendiri. Diambillah motor matic berwarna merah itu dari dalam rumah. Dengan tas belanja anyaman dari plastik itu, ibu berangkat menuju Pasar Raya.

Baca Juga  Berdosa Demi Gaya Hidup dan Gengsi
Mimpi Buruk

Di dalam lelap tidurku yang tak mampu diganggu oleh siapa saja, aku memimpikan suatu hal yang aneh. Bisa dibilang itu adalah mimpi yang buruk. Pada mimpi itu, aku sedang bermain bola yang mana timku hanya berjumlah dua orang yaitu diriku sebagai pemain penyerang dan satu orang lagi adalah bapakku yang bermain sebagai penjaga gawang. Sedangkan di pihak lawan, mereka berjumlah utuh seperti tim kesebelasan sepak bola biasanya. Wasit memulai pertandingan dengan tiupan panjangnya. Bola berada di pihak lawan, maka ketika mereka saling operan bola, aku mencoba mengambil bola di kaki lawan itu.

Yap, bola berhasil kurebut. Kini kugiring bola itu menuju ke gawang lawan. Tak ada yang mampu mengambil bola yang berada di kakiku, maka ketika dekat dengan gawang musuh, aku bersiap-siap untuk menendangnya. Aku mengincar pojok atas gawang itu. Dan ketika kuayunkan kaki kananku kebelakang, tiba-tiba dari arah belakang ada yang mencoba membabatkan kakinya ke arah kakiku. BRAK. Kakiku terpental tak dapat menyeimbangkan berat badanku, karena babatan kaki itu berhasil mengenai tulang kering di kaki kiriku. Akupun terjatuh tersungkur ke depan. Wajahku terjatuh langsung berhadapan tanah. Orang-orang mengerubungi di sekelilingku, dan sekonyong-konyong bapakku menghampiriku,  mendekat di kepalaku.

Bapakku berkata padaku bahwa gigiku copot gara-gara membentur tanah dengan keras. Karena mengetahui kalau gigiku copot, akupun terbangun dari mimpiku itu. Kuraba-raba mulutku, memastikan bahwa gigiku masih berjajar rapi dan utuh. Ternyata benar, itu hanya mimpi belaka, tapi d isampingku ternyata sudah ada bapakku yang sedari tadi duduk membangunkanku. Di hadapanku, dia tersendu sedang sambil menundukkan kepalanya. Sedangkan di luar sana terdengar suara orang-orang yang beramai-ramai disibukkan dengan suatu hal. Akupun mencoba mencari tahu dengan menanyainya lembut apa yang telah terjadi di luar sana.

***

“Ibumu mengalami kecelakaan, saat tadi hendak pergi ke pasar. Motornya oleng ketika kemudinya tersengggol dengan mobil di tepi jalan yang hendak didahuluinya.” Bapakku mengunjal napas sebentar seolah melepas kesedihan-kesedihan yang menyesakki dadanya. “Dan ketika motornya terjatuh di atas aspal itu, dari arah berlawanan ada mobil pick up yang bercepatan tinggi mengarah ke ibumu itu. Akhirnya ibumu tak dapat diselamatkan lagi nyawanya.”

Baca Juga  Kopi Paling Nikmat

Mataku pun mulai berkaca-kaca mendengar cerita itu. Napasku tersenggal-senggal tak beraturan. Kupeluk bapakku dengan erat. Tangis kami pun pecah dalam kamar tidur kecilku itu. Seakan ini adalah pertanda dari mimpi anehku tadi. Aku tak percaya, bahwa copotnya gigiku dalam mimpiku tadi adalah pemberi isyarat bahwa kami akan kehilangan salah satu dari anggota keluarga kami.

Aku harus turun dari ranjang tidurku. Kemudian aku berlari menuju kerumunan orang-orang yang tengah mengerumuni jenazah ibuku, ternyata sudah dimandikan. Kemana saja selama pagi ini. Bilamana aku yang mengantarkan ibuku pergi ke pasar tadi pagi, pasti tidak akan terjadi kejadian semacam ini. Oh ibu, bangunlah. Maafkan Aziz yang tak menepati janji ini. Jangan tinggal aku, ibu. Aku masih membutuhkan belai kasihmu. Pitutur-pitutur santunmu. Bangunlah, ibu. Bangun.

***

Semenjak itulah aku tak lagi memiliki sesosok ibu. Anggota keluarga kami tak utuh seperti keluarga yang lainnya. Aku dan bapak menerima itu semua dengan lapang. Insyaallah. Lambat laun kami mulai terbiasa hidup tanpa ibu. perlahan-lahan bapak belajar menjadi seorang yang bisa menggantikan ibu, walau tak sebenarnya bisa menggantikannya secara utuh. Beliau membagi waktunya untuk bercocok tanam dan berkebun dengan kegiatan rumahan, seperti mencuci pakaian dan juga memasak. Kami belajar bersama-sama.

Dan sesore ini, kami kembali memahami bahwa semua akan kembali pada penciptanya. Tanpa harus bisa ditawar terlebih dahulu. Dengan semburat surya yang perlahan ingin menenggelamkan dirinya dari bumi, kamipun segera bersiap-siap untuk pulang. Suara-suara tadarus dari beberapa mushola di kampung sudah mulai tiada. Semua orang bersiap-siap untuk berbuka puasa. Para petani juga mulai pulang meninggalkan sawahnya.

“Le, udah, ayok pulang. Sebentar lagi memasuki waktu magrib. Kita harus segera menyiapkan makanan untuk berbuka puasa,” pinta bapak mengajakku.

“Iya, pak. Ayok, segera pulang. Nanti keburu magrib, sampai rumah gak jadi berbuka malah.”

Kami pun bersama-sama pulang dari area persawahan itu. Menuju rumah untuk segera menyiapkan makanan untuk berbuka puasa.

Bagikan
Post a Comment