f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
puasa media sosial

Puasa Media Sosial: Sebuah Kontemplasi Manusia Modern dalam Upaya Transformasi Sosial

Di bulan suci Ramadan, puasa menjadi ibadah wajib umat muslim dengan tujuan utama untuk meningkatkan ketaqwaan seorang hamba secara vertikal kepada Allah; yang tentunya juga berdampak secara horizontal terhadap dimensi sosial. Meninjau puasa dari berbagai aspek, tentu puasa menjadi aktivitas positif yang memiliki multi-benefit apabila telah manusia tunaikan secara paripurna. Sebagai agama yang mempunyai visi Rahmatan lil ‘alamin, tentu Islam menjadikan puasa sebagai aktivitas kontemplatif untuk dapat merenovasi dimensi spiritual dalam diri manusia; yang kemudian diaktualisasikan ke dalam dunia sosial sehingga mampu melahirkan kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat.

Secara etimologis puasa dalam bahasa arab ‘ahs-shoum’ dan ‘ash-shiyam’ yang artinya ‘menahan’. Menahan di sini ialah menahan diri dari segala bentuk godaan duniawi baik berupa makan; minum; berucap; dan berbuat yang mengarah kepada segala hal yang negatif. Dengan bertebarnya aura positif kebaikan, maka bulan suci Ramadan menjadi momentum tepat untuk memenuhi dan menambah nutrisi rohaniah manusia; dengan segala aktivitas ibadah yang mampu menyiram spiritualitas yang tengah mengalami kegersangan akibat prilaku negatif, maupun menjaga spiritualitas manusia agar tetap senantiasa terjaga kesuburan akan nilai-nilai rohaninya.

***

Menyoal terkait kegersangan spiritualitas, agaknya penting untuk sejenak melihat potret realitas kehidupan dunia modern yang semakin mengabaikan dimensi spiritualitas; sehingga nampak jelas betapa tandusnya spiritualitas manusia modern saat ini. Dapat kita lihat bagaimana kegersangan spiritualitas yang dewasa ini melahirkan praktik dehumanisasi yang senantiasa mencemarkan dunia sosial melalui perilaku buruk dengan saling melontarkan kebencian; mencela; memfitnah; berselisih; mencuri; membunuh; menindas; serta perilaku buruk lainnya yang melanggar rambu-rambu kemanusian. Karenanya, puasa sebagai perintah Allah yang bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan dalam rangka membumikan kesalehan sosial; menjadi langkah preventif untuk mencegah virus kezaliman menodai ruang sosial dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga  Ramadan Kami Tanpamu

Era modern yang sarat akan kemajuan teknologi namun surut akan nilai spiritual tentu menjadi paradoks bilamana kemajuan tersebut melahirkan kejahatan baru dengan memanfaatkan berbagai perangkat yang berasal dari produk modernisasi. Bahkan era modern yang mencetak digitalisasi bagi peradaban, melahirkan ruang kejahatan baru yang berada pada alam dunia maya; dengan media sosial sebagai salah satu produk modernisasi tersebut. Tidak jarang media sosial menjadi ruang komunikasi publik yang memicu disintegrasi sosial atau kekacauan lainnya akibat kegersangan spiritualitas oleh penggunanya. Karenanya, potensi kejahatan akibat modernisasi tersebutlah yang disebut oleh sosiolog Jerman Ulrich Beck dengan istilah “risk society” atau ‘resiko sosial’ sebagai respon atas maraknya kejahatan yang lahir akibat modernisasi.

Dalam menelisik urgensi puasa media sosial bagi manusia modern; tentu akan ditemukan titik temu antara puasa media sosial dan transformasi sosial. Kendatipun di era digital saat ini agaknya sukar untuk meninggalkan media sosial dalam meninjau berbagai informasi atas kompleksitas permasalahan sosial. Sehingga jika menyoal transformasi sosial, cukup penting bilamana informasi di media sosial sebagai komponen bahan bakar dalam menciptakan transformasi sosial. Namun bertolak dari hal tersebut, dapat ditemukan bahwa titik temu antara puasa media sosial dengan transformasi sosial ialah terletak pada terbukanya ruang kontemplasi individu untuk merenungkan realitas yang terjadi.

***

Secara sederhana, kontemplasi merupakan sebuah aktivitas merenung dengan disertai kebulatan pikiran atau perhatian penuh terhadap diri maupun lingkungan sekitar. Dalam Islam, kontemplasi menjadi aktivitas istimewa yang pada Al-Qur’an subjek tersebut diberikan predikat sebagai Ulul Albab (orang yang berakal). Surah Ali Imaran: 191 tentu memberikan sebuah indikasi bahwa predikat Ulul Albab diberikan kepada individu dalam melakukan kontemplasi jika memenuhi dua syarat; pertama dengan berdzikir (dimensi keimanan) dan kedua dengan bertafakkur (dimensi akal).

Baca Juga  Enteng-Entengan, Membaca Kesetaraan dari Hidangan Sahur

Dengan adanya aktivitas puasa media sosial, tentu dapat membuka ruang kontemplasi manusia guna meraih predikat Ulul Albab atas berbagai renungan hasil aktualisasi keimanan. Tentu keakraban manusia dan gadget dewasa ini dapat menghambat manusia untuk berkontemplasi. Sebagaimana pernyataan Drianus (Drianus, 2018) bahwa saat ini manusia telah menjadi entitas yang hidup bersama gadgetnya bahkan menyehari dalam ruang dan waktu. Tentunya fenomena tersebut tidak dapat dinafikkan jika manusia dan gadget telah menyatu, dengan media sosial sebagai ruang eksistensinya.

Ironi media sosial sebagai penghambat manusia dalam berkontemplasi telah diungkap oleh seorang filsuf asal Jerman Martin Heidegger dalam (Hardiman, 2021); yang menyatakan bahwa alat-alat telah memengaruhi pikiran-pikiran manusia dan lebih daripada itu memengaruhi pemahaman (perspektif) manusia terhadap dunia. Sederhananya, manusia yang dituntut untuk menguasai teknologi justru sebaliknya, teknologilah yang menguasi manusia. Karenanya, manusia memerlukan jeda waktu sejenak untuk beristirahat dari media sosial atau gadgetnya dalam menghidupkan sinyal kontemplasi dengan berdzikir dan bertafakkur guna mendekatkan diri kepada Allah; dan merenungkan realitas yang terjadi.

***

Rasulullah Saw. telah mempraktikan hal serupa dengan mengasingkan diri di tempat sunyi untuk beribadah dan tafakkur atau yang dikenal dengan istilah khalwat; yang ia lakukan di Gua Hira tatkala turunnya firman Allah pertama dalam Al-Qur’an. Tentu aktivitas mengasingkan diri tersebut tidak semata untuk anti sosial; namun sebagai sarana perenungan secara vertikal (hablummniallah) dan secara horizontal (hablumminannas). Hasil renungan tersebutlah yang tentunya dapat menjadi penyegaran spiritualitas serta menumbuhkan kesadaran akan transformasi sosial melalui dialektika batiniyyah. Karena itu, seorang pemikir Muslim yakni Kuntowijoyo menegaskan bahwa transformasi sosial tidak hanya sekadar perubahan, namun perubahan tersebut berdasarkan pada cita-cita etik dan profetik (Kuntowijoyo, 1993); yang tentunya hasil dari pada perenungan akan kondisi sosial yang terjadi.

Baca Juga  Penghancur Peran Pemuda

Puasa media sosial dalam konteks saat ini, mestinya menjadi renungan bagi manusia modern bahwa banyaknya filsuf yang secara fisik terpenjara; namun masih tetap eksis dengan memproduksi gagasan dan karya yang dijadikan sebagai komponen transformasi sosial. Dapat dilihat bagaimana seorang cendekiawan muslim Buya Hamka menyelesaikan mahakarya kitab tafsir Al-Azhar di balik jeruji penjara;Tan Malaka menorehkan banyak gagasannya ketika di asingkan di penjara oleh kolonial; Antonio Grmasci yang mendekam di pejara oleh pemerintah fasis Itala namun masih mampu menulis lebih dari 30 buku; dan para filsuf lainnya yang melalui hasil kontemplasinya mampu menghasilkan karya dan mampu menciptakan transformasi sosial.

Dengan demikian, manusia modern dengan digitalisasi harusnya mampu menghasilkan gagasan dan karya; karena dukungan dari perangkat digital yang dengan mudah dapat mengakses informasi dari berbagai lintas negara sekalipun. Namun paradoksnya, manusia modern justru lebih banyak menghabiskan waktunya hanya untuk bercengkrama dengan media sosial; tanpa bertafakkur dengan realitas sosial yang dipenuhi permasalahan. Karena itu, dalam momentum ramadan, puasa media sosial menjadi salah satu alternatif untuk dapat membuka ruang kontemplasi manusia modern dalam upaya transformasi sosial melalui gagasannya.

Bagikan
Post a Comment