f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
telat

Menolak Stigma Negatif “Telat”

Pekan lalu menjadi begitu syahdu bagi saya, apalagi ditambah rintiknya hujan sore kala itu yang begitu ritmis. Saya pikir judul salah satu puisi Sapardi Djoko Darmono “Hujan Bulan Juni” sangat pas menggambarkan suasana hati saya kala itu. Pasalnya saya telat menelfon paman saya—adik almarhumah Ibu saya—yang telah kembali menghadap Sang Pencipta. Padahal kemarin paginya, saya berniat akan menelfon almarhum—seperti yang saya utarakan kepada Bapak saya, usai berbicara dengannya melalui video call.

Kata “telat” juga saya dengar dari seorang kolega kantor, ASN yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Ia berkisah bahwa ia tak dapat membayangkan jika akhirnya ia dan seluruh pegawai-pegawai di tempat ia bekerja melebur menjadi satu seperti sebuah holding company dengan instansi lainnya. Ia khawatir tak mampu berkompetisi dengan SDM yang muda dan kompeten. “Sudah telat,” ujarnya pesimis

Saya coba menenangkan ia yang sedang gundah dengan meyakinkannya bahwa jika ASN sudah mempunyai jabatan fungsional tak perlu khawatir. Selain usia pensiun menjadi lebih panjang 2 (tahun)—yakni dari 58 menjadi 60 tahun. Dan apabila seorang ASN belum berusia 60 tahun saat itu, makai ia masih berkesempatan mengikuti lelang jabatan pimpinan tinggi pratama, muda, madya maupun utama. Namun meskipun saya telah meniru gaya khas para motivator sepertinya tetap sia-sia. Ia masih pesimis dengan kemampuan yang ia miliki.

***

Saudara, ucapan “telat” sangat sering kita dengar. Kalau telat masuk kantor, telat masuk sekolah, telat datang rapat, telat bayar pajak motor, saya pikir sudah biasa. Namun ada pula ucapan “telat” yang menjadi stigma negatif dan disematkan kepada seseorang, seperti telat kuliah, telat menjadi karyawan, telat menikah, bahkan telat punya anak. Semuanya mengarah pada stigma negatif yang berkorelasi dengan usia seseorang. Padahal parameter batas maksimal usia orang kuliah, orang menjadi karyawan, orang menikah, orang punya anak, tidak saya temukan saklek dalam sebuah aturan yang mengikat.

Baca Juga  Cantik Hati, Pikiran dan Tindakan

Saya sendiri pernah merasakan stigma negatif tersebut. Pernah mendapat cap “telat” dalam kuliah sebab pernah dua tahun kuliah pasca lulus SMA, namun memutuskan berhenti karena merasa tidak cocok akibat fobia matematika (matemathics anxiety) sementara saya ambil jurusan akuntansi. Saya pun memilih meneruskan kuliah kembali di sebuah PTN dan mengambil jurusan bahasa program diploma tiga. Lulus 3 tahun setengah. Lalu jeda lagi dua tahun tanpa kerja berpenghasilan signifikan.

Selanjutnya saya meneruskan kembali kuliah program ekstensi jurusan berbeda di PTN yang sama, hingga lulus dalam usia 27 tahun.  Diterima kerja menjelang usia 30 tahun sebagai PNS. Menikah di usia lebih dari 32 tahun dan memiliki anak di usia menjelang 34 tahun. Stigma negatif “tukang telat” pun disematkan kepada saya.

Namun, untuk apa dipikirkan, karena saya kira usia hanya angka. Malah ketika itu terlalu dipikirkan maka akan membatasi saya berfikir dan mengembangkan diri. Saya teringat nasehat-nasehat sebuah broadcast grup percakapan yang maknanya sangat dalam tentang menikah, “Bukan seberapa cepat engkau menikah tapi seberapa lama engkau dapat mempertahankan pernikahanmu.” Setiap orang mempunyai zona waktu masing-masing. Saya ingat betul kalimat tersebut—begitu bermakna, dalam sekali.

***

Kembali lagi ke persoalan kolega saya di awal tulisan. Saya pikir meningkatkan kompetensi diri dengan mengikuti bimbingan teknik sesuai jabatan fungsionalnya dapat menjadi solusi peningkatan kepercayaan diri saat instansi bertransformasi apapun bentuk dan namanya. Mempunyai jabatan fungsional sudah menjadi satu keuntungan tersendiri. Tinggal diri sendiri apakah mau dan niat mengembangkan diri, berapa pun usia saat ini. Bukankah mencari ilmu wajib hukumnya bagi lelaki dan perempuan—dari buaian hingga menjemput kematian? Apalagi jika kita digaji karena skill dan ilmu yang kita miliki, maka wajib pula hukumnya mempelajari dan meningkatkan ilmu terkait bidang pekerjaan yang kita tekuni tersebut.

Baca Juga  Salahkah Perempuan yang “Telat” Menikah ?

Saya pikir tak ada waktu untuk memikirkan stigma negatif “telat” yang orang sematkan kepada kita. Kita berada dalam zona waktu kita sendiri. Tak ada kata “telat” dalam kamus orang yang mau maju. Bisa jadi saat kita memulai sesuatu saat usia 50 tahun, ternyata usia kita hingga 80 tahun. Siapa tahu? Usia bukan kita yang menentukan. Yang penting apa yang kita lakukan memberi manfaat pada diri sendiri dan sesama. Bukankah sebaik-baik manusia yang bermanfaat buat manusia lainnya? Bukan karena usianya yang muda atau tua. Parameternya dilihat dari sisi kemanfaatannya.

Jadi mulai saat ini buang jauh labelisasi stigma negatif “telat”. Saudaraku, stigma negatif “telat” hanya membuat toxic dalam pikiran kita, dan menyebabkan turunnya semangat untuk menatap ke depan. Kalau kata Sayyidina Umar ibn Al-Khattab, “Tidak ada rasa bersalah yang bisa mengubah masa lalu dan tidak ada kekhawatiran yang bisa mengubah masa depan.” Jika mau mulai sesuatu yang baik, ya mulai saja. Bismillah. Ikhtiar maksimal, sisanya serahkan kepada Allah Swt. Manusia berencana Tuhan yang menentukan.

Bagikan
Post a Comment