f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kekerasan di pesantren

Memutus Mata Rantai Kekerasan di Pesantren

Tata kelola pesantren kian hari kian diterpa tantangan hebat. Manajerial pesantren yang sedari dulu baik-baik saja seolah tak semujarab sewaktu dipraktikan di masa dulu, rupanya perlu pembenahan dan penyesuaian aturan yang semakin ketat, mengingat tantangan zaman dengan situasi dan kondisi pendidikan yang tak lagi sama.

Jauh sebelum isu kekerasan terjadi di Pesantren, di lingkungan sekolah pun marak terjadi. Bahkan Kemendikbud telah berupaya membuat regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Seolah tindakan preventif ini tak menuai hasil yang memuaskan oleh karena semakin membludaknya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan dari waktu ke waktu. Itu artinya, regulasi saja tidaklah cukup.

Pun halnya dengan tergugahnya Kemenag untuk membuat regulasi serupa atas kasus yang kini melibatkan pesantren. Namun setidaknya, menerbitkan aturan seputar pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan di lingkungan pesantren sangat urgen sebagai langkah mitigasi dan antisipasi.

Menyoal Kasus Pesantren Gontor

Di lihat dari duduk perkara, rupanya budaya senioritas dapat menjadi pemicu utama. Penganiayaan dengan sewenang-sewenang dari seorang kakak kelas/tingkat memang bukan hal baru. Di balik manfaat dalam ajang melatih kepemimpinan seseorang, mereka tetap tak bisa lepas dari pengawasan dan bimbingan gurunya. Penafian budaya senioritas yang cendrung negatif perlu mendapat perhatian penting. Agar peran senioritas tidak membuka ruang penyalahgunaan.

Gontor bukanlah pesantren biasa. Ia berhasil menjadi kiblat seluruh pesantren di Indonesia. Artinya, yang perlu disoroti di sini bukanlah menyalahkan pola pendidikannya dengan kritikan membabi buta. Sungguh, pondok terbaik sekaliber Gontor tak luput dari celah penyalahgunaan dan kejahatan. Namun bukan berarti masyarakat memberikan judgment pola pendidikan yang buruk.

Baca Juga  Kehidupan Pesantren

Sepertinya, pesantren terbaik yang tengah berduka ini tentu tak tinggal diam. Mereka harus berbenah dari mulai arahan yang ketat hingga penyeleksian kembali tim pengasuhan pesantren yang dinilai lalai melalukan pengawasan pada saat kejadian, hingga pemberantasan bibit-bibit buruk yang dapat membahayakan semisal pelaku dalam kejadian yang diprediksi tidaklah sedikit. Apalagi mereka yang dengan karakter bermudah-mudahan melakukan kekerasan. Mata rantai diantara mereka wajib diputus secara tegas. Minimnya pengawasan pesantren perlu dievaluasi agar hal serupa tak lagi terulang.

Penyelesaian suatu konflik secara keluargaan yang bahkan dimuat perjanjiannya sejak para santri mendaftar untuk mondok bukanlah tanpa dasar. Betapa banyak fenomena para orang tua yang menghambat keberlangsungan pesantren hingga bermudah-mudahan menempuh jalur hukum. Maka perjanjian itulah sebagai langkah pesantren yang solutif.

Namun, kekeliruan terjadi saat konteks kekeluargaan diberlakukan untuk semua jenis konflik. Padahal, tidak semua konflik dapat ditangani secara kekeluargaan. Ada semacam catatan perihal menejemen konflik yang perlu dikaji secara mendalam demi terselenggaranya proses penanganan permasalahan dengan tepat. Singkatnya, butuh SOP yang jelas dalam memutuskan perkara yang menyangkut pidana.

Hal ikhwal nama baik memang sensitif. Lewat kejadian ini, pesantren menjadi terang benderang menangani perkara hukum. Tidaklah hilang martabat pesantren, justru ia semakin arif manakala dapat menyelesaikan konflik sesuai prosedur dan konteksnya. Termasuk jika harus melibatkan hukum. Apalagi, terbitnya regulasi Kemenag semakin mempedomani pesantren untuk tidak lagi mempersepsikan keterlibatan hukum sebagai sesuatu yang negatif.

Dari segi pendekatan pembelajaran pun perlu diawasi, cara seorang guru mengungkapkan pendisiplinan perlu dibenahi, agar jangan sampai melakukan pendekatan kekerasan yang bisa ditiru anak-anak didiknya. Pun ajaran agama selalu mengutamakan kelemahlembutan dan kasih sayang sebagai sikap yang seharusnya direalisasikan.

Baca Juga  Membangun Kedekatan dengan Sang Anak

Di lihat dari aspek parenting, sangat mungkin kekerasan itu sebagai produk dari pola asuh mereka. Persis seperti yang diungkap Susan Newman, seorang psikolog sosial: “Jika pernah menerima kekerasan, Anda mungkin juga akan menjadi pelaku kekerasan. Sama seperti kecanduan alkohol, jika orang tua minum alkohol di rumah, kemungkinan besar anak-anaknya akan menjadi peminum “

Artinya, didikan yang diwarnai kekerasan dapat melahirkan karakter yang mudah dalam melalukan kekerasan. Orang tua yang melakukan pola asuh yang jauh dari kekerasan adalah diantara salah satu solusi paling efektif dalam memutus mata rantai kekerasan.

Orang tua tidak sepatutnya menjadi alasan terkendalanya para guru dalam menghukum pelaku perundungan. Betapa banyak orang tua yang justru membela anaknya yang walau dalam keadaan salah. Bahkan kasus para guru yang dalam konteks takut dimarahi wali santri seolah menunjukan bahwa salah satu penghambatnya adalah orang tua itu sendiri. Dibutuhkan kerja sama yang baik dari orang tua demi tegaknya aturan di lembaga pendidikan.

Simpulan

Semua pihak sudah semestinya saling bersinergi satu sama lain. Regulasi yang dinilai solutif oleh pemerintah hanya akan sia-sia jika tanpa support sistem dari berbagai kalangan, apakah itu aspek pesantren, guru, hingga orang tua.

Evaluasi bagi pesantren pada prinsipnya adalah untuk terus bersemangat melakukan pembenahan dengan menegakan aturan guna mencegah dan meminimalisir kekerasan, semua internal pesantren perlu diawasi ketat. Adapun catatan bagi orang tua adalah menerapkan pola asuh tanpa kekerasan agar tidak menjadi penghasil produk kekerasan. Pun dalam hal kesalahan anaknya agar bersikap kooperatif dengan pihak lembaga demi terselenggaranya aturan, baik dari segi mengedukasi anaknya maupun dari segi tegaknya aturan.

Baca Juga  Pesan Penting Azyumardi Azra untuk Pesantren

Akhir kata, agama menentang keras kekerasan. Pesantren sebagai wadah yang semestinya mencerminkan keislaman justru diwarnai hal yang bertolak belakang. Ada semacam indikasi ilmu agama yang tidak terealisasi  ke dalam karakter diri. Maka dari itulah, internalisasi nilai-nilai Islam perlu dibidik sedemikian rupa untuk mengukuhkan kembali pesantren dalam hakikat dan marwahnya.

Pesantren baik-baik saja, para kiayinya pun mampu menjadi pencegah kasus ini oleh karena eksistensi mereka yang terus menebar keberkahan dan keikhlasan yang diharapkan dapat diteladani santrinya. Sama sekali tidak ada satupun pesantren yang pro dengan kekerasan.

Adalah keliru bila pola pendidikan terbaik yang membesarkan pesantren ini kemudian menjadi objek yang dipersalahkan. Hanya saja, ada kelalaian yang menghambat sistem itu sehingga ada banyak hal yang perlu dibenahi dan ditingkatkan, khususnya dalam memperbaiki fungsional pengawasan di tengah edukasi kebebasan belajar memimpin ke tangan para santrinya.

Tantangan pesantren semakin berat. Pesantren harus semangat berbenah melaksanakan tugas mulia ini, di tengah banyaknya pelanggaran aturan yang kian tak terbendung.

Bagikan
Post a Comment