f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.

Membaca Surat Cinta Bang Boris

7 April lalu surat berwarna putih datang kerumahku, kudapati amplop berisi kertas 1 lembar dengan tulisan tinta hitam di halaman bolak baliknya, mencantumkan kop bertuliskan “10 Downing Street”.

Kop resmi ini menandakan surat datang dari pemerintah Inggris, lengkap dengan bubuhan tanda tangan Perdana Mentri Boris Johnson.

Isi surat ini sesungguhnya sama dengan himbauan-himbauan pemerintah UK yang sudah tersebar di sosial media, media cetak maupun kantor berita resmi Inggris BBC.

Tercatat surat seperti ini dikirimkan ke 30 juta alamat rumah yang tersebar di wilayah United Kingdom termasuk wilayah Inggris (England), Skotlandia (Scotland), Wales dan Irlandia Utara (Northern Ireland).

Sama halnya keadaan yang terjadi di hampir semua negara di seluruh dunia saat ini, saat mayoritas pemerintah di dunia melarang masyarakat untuk berpergian, kecuali untuk membeli kebutuhan pangan/obat, berolahraga, atau pergi bekerja (terkhusus key worker seperti petugas medis dan penjaga supermarket).

Selain dengan tulisan bahasa Inggris, surat ini ditulis dengan bahasa Polish (Polandia), Punjabi (India), Russian (Rusia), Urdu dan beberapa bahasa lainnya yang dianggap mewakili dominasi bahasa para imigran yang datang ke UK.

Tujuannya jelas, memastikan sebanyak-banyaknya orang untuk bisa membaca pesan penting dari pemerintah untuk tetap dirumah selama masa pandemik Covid-19 ini.

Dalam surat ini juga disebutkan kalimat “protect NHS and save lives”. NHS itu kependekan dari The National Health Service, merupakan sistem jaminan kesehatan di Inggris yang dikelola langsung oleh pemerintah.

Dalam konteks mahasiswa international seperti saya, pembiayaan NHS berbentuk pelayanan kesehatan dibayarkan di awal saat mengurus visa student, begitu pula bagi turis wisata yang akan datang berkunjung ke wilayah UK.

Sesungguhnya saya sudah mulai jenuh berdiskusi, membaca dan menulis soal pesan-pesan seputar pandemik ini #hayatilelah.

“Begitu juga soal surat cinta dari Bang Boris yang lagi-lagi isinya soal virus menyebalkan ini.”

Baca Juga  Sufisme di Era Utsmaniyyah

Tapi justru hal yang lebih menarik bagi saya adalah menjawab pertanyaan yang tiba-tiba mampir di kepala, mengapa pemerintah UK merasa perlu membuat dan mengirimkan 30 juta surat kepada warganya?

Bukankah seperti yang saya sebutkan sebelumnya, pesan-pesan seperti ini sudah hilir mudik di lini masa dunia termasuk di UK sendiri, sampai kita semua merasa bosan membaca? dan bukankah dengan mengirimkan surat cetak ke rumah-rumah warga seperti ini memakan biaya yang tidak murah?

Oke untuk surat cetak sebagai pengalaman pribadi, pasti setiap bulan saya mendapatkan surat dari berbagai pihak, baik dari bank tempat saya menyimpan dana beasiswa, surat dari provider internet dirumah, sampai berbagai tagihan listrik dan gas yang meskipun telah saya urus melalui aplikasi online, tagihan fisiknya tetap saja datang dengan surat cetak.

Kemudian muncul pertanyaan lain dikepala saya, mengapa tradisi mengirimkan surat di Inggris tidak pernah berhenti meskipun telah ada kemudahan akses media sosial, surat elektronik dan aplikasi online di dalam genggaman?

Rasa ingin tahu saya mulai terjawab saat saya mulai mencari artikel dan buku-buku itu, lalu menjumpai kenyataan kalau tradisi surat menyurat di Inggris dimulai pada tahun 1843 oleh Sir Henry Cole, ia mencari cara yang lebih mudah untuk menyebarkan keceriaan musiman daripada surat-surat yang biasa dipakai pada waktu itu.

Kalau dipahami, mengingat cuasa di UK yang memiliki 4 musim yang cukup berat (karena matahari cenderung sedikit bersinar), masyarakat Inggris perlu memiliki banyak alasan untuk bergembira dalam setiap musim. Nah, mengirimkan kartu ucapan sesuai musim adalah salah satu caranya.

Sepanjang abad ke-19, proses pencetakan warna pada kartu dilakukan dengan menggunakan batu atau biasa disebut Kromolitografi. Proses ini dapat memunculkan warna-warna menarik sesuai desain gambar cerita binatang yang populer mendominasi awal-awal kartu ucapan ditemukan. Penjelasan lebih lengkap mengenai sejarah awal kartu ucapan berwarna-warni di Inggris bisa dibaca disini

Baca Juga  Kisah Mahkluk Penghuni Tanah Jajahan

Mengutip artikel www.cityam.com, orang Inggris ternyata mengirim lebih banyak kartu daripada kebangsaan lain mana pun di dunia, menurut angka dari Greeting Card Association (GCA), pada tahun 2014 orang Inggris rata-rata mengirim 31 kartu ucapan setiap tahun, di luar kebutuhan mengirimkan email dan pesan teks seperti sms/whatsapp.

Bahkan masih dari sumber yang sama, laporan pasar 2019 GCA, publik Inggris membelanjakan £ 1,7 miliar untuk kartu pada tahun 2018, dengan generasi Z (usia 18 hingga 24 tahun) membeli lebih banyak kartu daripada kelompok umur lainnya.

Menariknya, menurut penelitian ilmiah pengiriman kartu ucapan ini juga menumbuhkan sinyal positif di otak untuk membantu menangkal depresi, tentu karena setidaknya dalam aktivitas mengirim surat ucapan, pengirim akan membubuhkan kalimat-kalimat positif, seperti menuliskan ucapan selamat, memberikan pujian atau sekedar ucapan terimakasih dalam selembar kartu.

Aktivitas ini akan mengakibatkan otak memberikan sinyal “for a gratitude” atau kalau dalam bahasa Indonesianya “rasa bersyukur” atas situasi diri sendiri. Akibatnya otak secara otomatis akan menjadi relaks dan mempengaruhi mental health seseorang #hmmm menarik ya#.

Begitu pula saat seseorang menerima greeting cards, kebutuhan afeksi dipuji, diperhatikan dan dicintai akan terasa dua kali lebih besar melalui tulisan yang dapat dibaca berkali-kali, daripada hanya melalui ucapan verbal.

Penjelasan lebih dalam mengenai pendekatan psikologis mengenai rasa bersyukur ini bisa dibaca dalam buku The Psychology of Gratitude (Series in Affective Science) yang ditulis oleh Emmons, R. A., & McCullough, M. E. pada terbitan tahun 2004.

Di sisi lain, industri kartu ucapan memiliki kehadiran ekonomi yang cukup besar di Inggris, karena kebiasaan mengirimkan kartu ucapan ternyata menghidupkan industri ini selama berabad-abad, seperti menumbuhkan industri kartu cetak dan desainer khusus kartu developing warna amplop.

Belum lagi, bentuk-bentuk hadiah yang biasa menyertai kartu ucapan seperti boneka, balon dan pernak-pernik imut yang sebenarnya unfaedah.

Selama berabad-abad, kebangsaan tertua Inggris ini memang sudah terbiasa dengan budaya tulis, membaca, berimajinasi dan bercerita, sehingga kartu-kartu ucapan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat Inggris pada umumnya, sejalan kemampuan literasi media mereka.

Baca Juga  Covid-19 dan Ujian Kepasrahan

British People sejak jaman dulu memang suka menggambar dan bercerita. Melalui kartu ucapan itulah asal muasal, narasi-narasi indah dan cerita menarik dilukiskan di kartu-kartu ucapan Natal, Tahun Baru, Valentine, Easter, Selamat Ulang Tahun atau di Hari Ibu/Ayah yang diperingati setiap tahunnya.

Hal ini juga seakan menjawab rasa penasaran saya sejak lebih dari dua tahun dulu menginjakkan kaki pertama kali di UK dan menjumpai begitu banyak dan meriahnya berbagai toko khusus Kartu Ucapan (Greeting Cards) yang tersebar, menarik dan berwarna-warni di sudut-sudut kota di Inggris.

Menariknya menurut survey pada tahun 2017 yang dilakukan oleh lembaga British Oxfam, 64% orang dewasa di UK akan merasa “hancur perasaannya” apabila menerima ucapan Natal melalui sosial media daripada melalui ucapan kartu Natal cetak.

Kenyatannya separuh dari responden dalam penelitian ini menyebutkan selalu ada perasaan berbeda apabila mereka mendapatkan “greeting card” dari orang-orang yang dicintai.

Hal ini seakan menjawab pertanyaan saya di awal, mengapa Bang Boris, perlu dengan sengaja mengirimkan surat himbauan satu persatu ke rumah-rumah untuk melakukan pendekatan personal kepada warga.

Pendekatan surat menyurat ini dianggap cukup memberi dampak positif dengan menempatkan perhatian dan afeksi kepada warga negara untuk patuh dan mengikuti semua instruksi dari pemerintah.

Pendek kata, pemerintah di UK cukup berhasil dalam menerapkan kampanye sosial yang efektif. Yaitu dengan menggunakan pendekatan budaya, dan salah satu budayanya adalah tulis menulis.

Bagikan
Post a Comment