f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
belva sabrina

Lamaran Belva dan Sabrina : Refleksi Relationship Goals Pasangan Muda

Kalian tahu kan kalau Belva Devara baru saja melamar kekasihnya, Sabrina Anggraini? Pasti tahu lah ya. Kalau ndak tahu, kalian pasti umat Facebook yang gagal beradaptasi dengan Instagram. Kalau belum tahu, ndang kono ndelok neng Instagram. Udah? Udah diintip? Nah, kalau sudah, bagaimana perasaan kalian saat melihat momen-momen pertunangan mereka? Berikut saya kutipkan sebagian kecil komentar-komentar netizen di lapak Belva.

“Iiihh.. gemesh banget!”

“Aaak.. co cwiiiittt!!”

“Aaaw.. couple goals!”

“Duuuh.. iri banget!!”

“Ingin rasanya menjadi Sabrina…”

Yang terakhir, sesungguhnya saya nggak menemukan ada yang menulis begitu. Tapi ngaku saja, di antara ratusan ribu netizen yang menjadi follower Belva pasti ada aja yang mbathin demikian. Namanya juga manusia setengah matang, bawaannya pingin menjadi orang lain yang tampaknya lebih bahagia.

Respon histeris netizen yang penuh decak kagum sekaligus rasa iri yang membanjiri kolom komentar Belva dan Sabrina sangatlah bisa dipahami. Bagaimanapun pertunangan Belva dan Sabrina bukanlah pertunangan biasa bagi banyak dari kita. Belva melamar Sabrina di Killian Court, persis di depan MIT Dome. Lokasi lamarannya saja udah bikin keder. Ibaratnya, hanya segelintir anak muda Indonesia yang bisa pacaran di Lembah UGM (eh!). Dan, lebih sedikit lagi yang bisa asyik pacaran dan melamar pacarnya di seputaran kampus MIT! Kerasa jauh banget kelas kita ya, Adinda….

Memandang Acara Lamaran Belva-Sabrina

Dengan unggahan-unggahan yang mereka tampilkan akhir-akhir ini, segera saja Belva dan Sabrina menjadi simbol pasangan yang rupawan, cerdas, dan berpendidikan tinggi. Mereka menjadi pasangan super power yang dari sekarang orang-orang sudah bersemangat untuk memprediksi secerdas apa anak mereka nanti. Padahal, kita juga nggak tau apakah Belva dan Sabrina itu menginginkan anak atau menginginkan childfree.

Berbeda dari nuansa komentar-komentar netizen pada umumnya, seorang ibu yang baru saja melewati dekade pertama pernikahannya dan tak sengaja melihat pertunjukan pertunangan Belva di Instagram, hanya membatin satu kata: “Halah.” Membatinnya memang hanya satu kata, tapi ngeciprisnya panjang bener di Instagram story. Berikut petikannya:

Baca Juga  Sudah Dikhitbah atau Sudah Tunangan?

“Tau kan kalen kalo lagi heboh Belva melamar kekasihnya? Respon awalku kok negatif ya? ‘Heleh, heleh..” gitu lho batinku. Makin lama kawin, Hayati makin skeptis dengan aksi-aksi romantis pasangan muda. Tapi kalo aksi semacam ini dilakukan oleh pasangan yang udah kawin puluhan tahun, widiiihh… baru Hayati melu-melu excited.

Monmaap ya fans nya Belva. Hayati bukan bermaksud julid, ini cuma karena beda fase perkembangan aja. Piiiisss!”

Fase perkembangan yang berbeda memang akan menentukan bagaimana cara pandang kita terhadap pertunjukan pertunangan yang dipamerkan oleh Belva dan Sabrina. Rahmania muda yang sedang berada pada usia awal 20-an dan belum menikah, cenderung akan terpesona melihat foto Belva yang memeluk Sabrina sambil memegang kotak cincin dan menaruh telunjuknya di bibir. Kelompok ini lah yang membanjiri kolom komentar Belva dengan komentar-komentar senada, “Duh iriii,” “Duh, gemeessh,” “Duh, co cwiiittt…”

Tapi bagi Rahmania yang sudah memasuki usia 30-an, yang sebagian besar dari mereka sudah bertahun-tahun menikah, apa yang Belva pamerkan hanya memicu rasa ingin ketawa… ketawa karena eneg! Kelompok ini lah yang saling rasan-rasan di DM dengan komentar-komentar yang juga senada, “Halah, belum tau aja nanti kalo udah menikah gimana.”

Otak Remaja vs Otak Dewasa

Dari penjabaran di atas, kita bisa melihat bahwa kelompok usia yang lebih mudah tampak lebih bisa menghargai hal-hal yang berbau romantis, tapi kelompok usia yang lebih dewasa bersikap jauh lebih realistis. Mengapa kelompok usia yang berbeda bisa merespon berbeda terhadap stimulus yang sama?

Penjelasan yang muncul dalam kepala saya saat ini adalah penjelasan dengan pendekatan neurosains. Penelitian mutakhir di bidang neurosains menyebutkan bahwa otak manusia berkembang sempurna pada pertengahan usia 20-an. Hasil penelitian ini memicu wacana pengelompokan usia remaja yang menjadi lebih panjang. Jika sebelumnya kita mengelompokkan remaja ke dalam usia belasan, namun Laurence Steinberg, seorang ahli perkembangan, dalam bukunya yang berjudul Age of Opportunity (2014) mengusulkan usia remaja berakhir pada usia 25.

Baca Juga  El-Bukhari Institute dalam Penuntasan Kekerasan Seksual

Apa konsekuensi dari wacana masa remaja yang diperpanjang ini? Konsekuensinya adalah anak-anak yang berusia di awal 20-an belum bisa dikatakan sebagai orang dewasa. Fungsi otak depan mereka masih dalam tahap perkembangan. Dalam masa-masa perkembangan tersebut, otak remaja menjadi begitu sensitif terhadap apa yang disebut dengan 3R: reward system, relationship system, dan regulatory system.

Jika kita melihat antusiasme netizen muda terhadap pertunangan Belva dan Sabrina, kita bisa tahu bahwa pertunjukan pertunangan itu menyentuh reward system dan relationship system dalam otak mereka. Ya siapa sih yang nggak merasa rewarding ketika ada yang mengatakan, “Cantik banget calon istri siapakah ini?” Hanya dengan membaca kepsyennya Belva, ada banyak otak yang teraktivasi sehingga merasa ingin dibegitukan juga (Ya Allah, pas nulis bagian ini kok aku ngampet pingin ketawa).

Relationship

Pun demikian dengan relationship system. Bagi remaja, termasuk di sini orang-orang yang berada di usia 20-an awal, relationship yang terbangun dengan orang-orang sekitarnya adalah hal yang penting. Pada fase ini, remaja belajar untuk mengembangkan hubungan yang bermakna. Apapun yang terjadi pada hubungan-hubunganyang mereka miliki sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Perasaan terhubung dengan orang-orang terdekat terasa sebagai hal yang membuat sehat dan bersemangat. Itulah mengapa remaja sangat terganggu dengan rusaknya pertemanan, macetnya komunikasi dengan orang tua, atau bahkan putus dari pacar. Nah, melihat Belva dan Sabrina yang tampak saling cinta, berbahagia, dan sebentar lagi bersatu dalam hubungan pernikahan, remaja mana sih yang nggak girap-girap melihatnya?

Sedangkan pada netizen yang berusia lebih dewasa, fungsi otak mereka sudah berkembang sempurna. Otak tidak lagi sesensitif otak remaja saat merespon hal-hal yang bersifat rewarding. Relationship yang bermakna pun biasanya sudah terbangun dan menjadi lebih mapan. Kemilau perjalanan cinta Belva dan Sabrina sudah tidak lagi terasa sebagai sesuatu yang ‘wah’, sebab mereka sudah menjalani relationship, dalam hal ini pernikahan, sebagai sebuah realitas, bukan lagi sebagai asumsi di dalam pikiran.

Baca Juga  “Saudara Kembar” dalam Silaturahim 4.0

Dan, realitas pernikahan itu sungguh-sungguh tak terkait dengan bagaimana cara lamarannya dan bagaimana merayakan pesta pernikahannya. Netizen yang sudah menikah sadar benar bahwa realitas pernikahan menuntut serangkaian keterampilan yang harus dikembangkan untuk tercapainya pernikahan yang memuaskan. Mulai dari keterampilan mengatur emosi, keterampilan berkomunikasi, keterampilan beradaptasi, keterampilan bersosialisasi, keterampilan mengatasi konflik, keterampilan membuat keputusan, keterampilan mengatur keuangan, dan banyak keterampilan lain yang masih panjang daftarnya.

***

Dilamar di MIT tidak membuatmu lebih pintar dalam mengatur emosi, pesta pernikahanmu disiarkan di TV nasional tidak membuatmu lebih lentur dalam beradaptasi, atau pacaran di sekitaran UGM jelas-jelas tidak membuatmu lebih jago dalam membuat keputusan. Bagaimana  cara kita dilamar atau seperti apa pernikahan kita dirayakan, sefantastis apapun pertunjukannya, hanya akan menjadi memori yang pemaknaannya bergantung pada kepuasan pernikahan kita. Jika pernikahan kita memuaskan, momen dilamar dan menikah akan menjadi memori indah sekalipun dulu berlangsung dengan sangat sederhana. Jika pernikahan kita tidak memuaskan, momen dilamar atau menikah mungkin menjadi memori yang tak disukai sekalipun pernah berlangsung semeriah apa.

Maka dari itu, tak perlu terlalu iri dengan pertunjukan pertunangan Belva dan Sabrina. Bagaimana cara kita dilamar dan bagaimana pesta pernikahan kita dirayakan bukan hal yang substansial dalam pernikahan. Yang lebih substansial adalah belajar mengembangkan keterampilan-keterampilan yang kita butuhkan agar mencapai kepuasan pernikahan. Dan, yang lebih penting lagi bagi Rahmania muda yang ikutan mabuk dengan euforia pertunangan Belva dan Sabrina, ingatlah bahwa Rahmania adalah aktor dan aktris utama dalam kehidupan masing-masing. Adik bukan figuran dalam kehidupan para selebgram.

Bagikan
Post a Comment