f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ketupat dan bedug

Ketupat dan Bedug Simbol Lebaran, Benarkah Bid’ah?

Menjelang berakhirnya Ramadan, pasar dan pusat perbelanjaan sudah mulai ramai. Terlebih Ramadan dan Idulfitri tahun ini tidak seketat dua tahun terakhir. Selain pasar dan pusat perbelanjaan, media sosial pun tak kalah ramai dengan simbol-simbol yang menandakan bahwa Idulfitri/lebaran sudah di depan mata. Sebut saja bedug dan ketupat. Dua benda yang secara tekstual tak disebutkan pada dalil manapun dalam agama Islam, namun di Indonesia kehadirannya menjadi simbol yang cukup penting.

Dr. KH. Tafsir, M.Ag. pada suatu kesempatan pernah menyampaikan bahwa manusia merupakan homo simbolikus (makhluk simbol); makhluk yang menyukai simbol dan menggunakan simbol-simbol tertentu dalam berinteraksi. Kemudian ia juga mengatakan bahwa di Indonesia, sebagai contoh, ketupat dan bedug sangat identik dengan Idulfitri. Masyarakat akan cepat memahami bahwa akan segera memasuki Bulan Idulfitri ketika sudah banyak gambar ketupat dan bedug yang muncul di berbagai tempat. Selain itu, ia juga menyampaikan jika ketupat dan bedug merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya Indonesia.

Islam dan Jawa

Masuknya Islam di Indonesia sebagaimana kita ketahui memiliki beberapa teori sejarah. Khusus di Jawa, sebagaimana menurut Donny Khoirul Aziz dalam jurnalnya Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (2003), penyebaran Islam di Jawa sangat berkaitan dengan kultur masyarakat di pesisir jawa, tempat di mana Syaikh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Islam–di Demak pada waktu itu. Adapun kemudian disusul datangnya Raden Patah (Sunan Ampel) yang merupakan anak seorang dai dari Campa; melanjutkan penyebaran Islam di Jawa, ia juga diyakini sebagai pemimpin Walisongo (Azra, 2004).

Walisongo sendiri sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan pendekatan mistik Islam (tasawuf)  (Amin, 2016). Secara perlahan dan bertahap Walisongo memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa, bahkan dengan tanpa menolak keras budaya yang ada pada saat itu. Lebih jauh, Walisongo mengajarkan Islam yang toleran dan mengusung persamaan derajat manusia.

Seiring berjalannya waktu, dengan adanya perkawinan antara para muballigh dari Jazirah Arab yang datang menyebarkan Islam dengan pribumi ningrat; merekapun mendapatkan legitimasi dan posisi yang kuat pada struktur tatanan masyarakat saat itu.

Baca Juga  Idulfitri Tahun Ini, dari Berbeda hingga Beri Pelajaran

Pada abad ke-14, komunitas muslim–khususnya para pedagang–semakin menguat posisinya, berbarengan dengan mulai melemahnya posisi raja Majapahit. Peluang ini mampu para pedagang manfaatkan untuk membuat kerajaan-kerajaan kecil yang nantinya akan bersaing menggantikan kedudukan Majapahit. Pada akhirnya, Kerajaan Demak yang notabenenya adalah kerajaan Islam menggeser Majapahit, menjadikan dirinya sebagai pusat kekuasaan di Jawa  (Yatim, 2010).

Islam dan Dakwah Budaya di Indonesia

Dengan hadir dan menguatnya Walisongo di tanah Jawa, hal ini semakin memperkuat upaya dakwah Islam yang tampil dengan wajah yang ramah. Walisongo dengan gaya Islam yang bercorak sufi melakukan dakwah dengan pendekatan budaya; yang nantinya menyebar dan mengakar kuat ke penjuru pulau Jawa.

Apa yang “Struktur Walisongo” lakukan menurut hemat penulis mengimplementasikan teologi dakwah An-Nahl ayat 125 dan Al-Hujurat ayat 13, sebagaimana pernah Dr. KH. Tafsir, M.Ag. sampaikan pada beberapa kesempatan.

Dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi,

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Secara tersurat pada ayat ini paling tidak terdapat tiga metodologi dakwah, yakni bil hikmah (nasehat yang baik); mau’idhoh hasanah (dialog/ceramah); dan mujadalah bil ikhsan (diskusi/berdebat dengan baik). Yang kemudian dilakukan dengan mengenali objek dakwah (manusia) dan budayanya itu sendiri; sebagaimana yang tertuang pada Surat Al-Hujurat ayat 13.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Pada ayat ini menurut KH. Tafsir, seorang dai harus mengenali/memahami (لِتَعَارَفُوْا) objek dakwahnya itu sendiri yakni manusia (نَّاسُ).

Mengenali objek dakwah tidak hanya mengenali identitasnya, namun juga mengenali karakteristik dan sosiokulturnya. Hal ini kemudian diperjelas dengan frasa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ); yang mana tiap-tiap suku dan bangsa pasti memiliki karakteristik, kearifan lokal dan budaya.

Baca Juga  Usai Idulfitri, Lalu Apa?

Namun sebelumnya, frasa mengenali/memahami (لِتَعَارَفُوْا)  pada ayat ini bukan hanya just know; namun lebih dari itu, memahami di sini berarti memahami kultur dan budayanya (عرف)–‘urf yang merupakan akar kata dari ‘arofu.

Paham tersebut yang kemudian diyakini dan diimplementasikan para Walisongo, khususnya di Bintoro (Demak) untuk menyebarkan Islam melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Jawa asalkan tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam  (Sunanto, 2010).

Ketupat dan Bedug sebagai Simbol Islami bukan Bid’ah

Kembali pada pembahasan ketupat dan bedug sebagai simbol-simbol yang berkaitan erat dengan budaya Islam di Indonesia; dua simbol ini tidak serta merta muncul begitu saja tanpa adanya sebab musabab yang mendasarinya.

Ketupat sendiri pada beberapa literatur yang penulis analisa memiliki sejarah kebudayaan yang cukup panjang. Di Agama Hindu, ketupat merupakan simbol dari cetusan hati nurani seseorang sebagai rasa terimakasih terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasiNya atas segala karunia yang telah Ia berikan kepada manusia (Karda, 2003). Masyarakat Jawa zaman dulu juga berkeyakinan bahwa ketupat merupakan penolak bala; maka di beberapa rumah kadang kita masih menemui ketupat yang pemiliknya gantung di atas pintu.

Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa (2009) mengartikan ketupat dalam kerangka linguistik “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan).

Dari budaya yang telah melekat pada masyarakat Jawa saat itu, lambat laun ketupat menjadi simbol syukur kepada Allah Swt. atas berbagai rezeki yang telah Ia berikan kepada manusia; dan sebagai menjadi simbol mengakui kesalahan saat sugkeman dan saat bermaaf-maafan, baik dengan keluarga maupun orang lain.

Adapun laku papat yang telah penulis sebutkan di atas, masyarakat jawa artikan dalam beberapa istilah, di antaranya : Lebaran (selesai/menandakan bahwa Ramadan telah usai); luberan (melimpak/budaya mau berbagi dan mengeluarkan sebagian harta); leburan (melebur/momen saling melebur dosa dengan saling memaafkan); dan laburan (kapur/hati seorang muslim harus kembali jernih/fitri).

Adapun bedug pada tradisi masyarakat Jawa diyakini telah ada sejak zaman Majapahit, sebagaimana hasil penelitian Drs. M Dwi Cahyono arkeolog Universitas Negeri Malang. Ada pula penelitian yang berpendapat bahwa bedug merupakan budaya yang dibawa Laksamana Cheng Ho dari Kekaisaran Ming (China) ke Indonesia dalam ekspedisinya. Ia menginginkan suara bedug menggema di masjid-masjid  yang ada pada saat ini seperti kuil-kuil Budha yang ada di China.

Baca Juga  Menjalani Lebaran Pertama Tanpa Seorang Ibu

Namun terlepas daripada itu, kemudian suara bedug yang awalnya masyarakat Jawa zaman dulu gunakan sebagai pertanda pergantian waktu; kemudian bertransformasi menjadi pertanda memasuki waktu salat.

Kegunaan bedug seiring berjalannya waktu juga makin berkembang, hingga menjadi simbol pergantian dari Bulan Ramadan menuju Bulan Idulfitri.

Dari kedua simbol (ketupat dan bedug) dan sejarahnya masing-masing dapat kita simpulkan bahwa dua simbol ini erat kaitannya dengan penyebaran ajaran Islam oleh Walisongo. Di mana spirit dakwah Islam kala itu memang menggunakan budaya, termasuk tradisinya, sebagai konduktor untuk menyampaikan ajaran dan pesan-pesan keislaman.

Muhammadiyahpun kemudian merespon tentang apa itu budaya atau kebudayaan. Dalam pandangannya, kebudayaan sebenarnya melekat dalam kehidupan manusia. Lahirnya kebudayaan bersamaan dengan lahir dan berkembangnya kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia, yang tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat, dan sebagainya (LSBO PP Muhammadiyah, 2015).

Di dalam konsep dakwah kultural disebutkan bahwa proses penyadaran iman perlu memperhatikan situasi budaya yang ada. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam rangka menjadikan Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin, Muhammadiyah menempuh berbagai pendekatan dan strategi dakwah, antara lain dakwah kultural. Dakwah kultural sebagai suatu pendekatan dan strategi dakwah dalam konteks aktualisasi ajaran Islam di tengah dinamika kebudayaan dan perubahan sosial (PP Muhammadiyah, 2005).

Bagikan
Post a Comment