f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Gajahwong

Gajahwong, “Oh Anak Berkarakter”

Alhamdulillah pada hari Senin 20 September 2021, saya mendapat kesempatan untuk memandu kegiatan kampus yang menghadirkan pendiri Sekolah Gajahwong, Mas Faiz Fakhruddin. Barangkali pembaca sudah mengenalnya, bukan seorang anggota DPR, bukan seorang pejabat, bukan juga seorang artis. Namun, sosok inspirator dalam bidang pendidikan. Sekolah yang ia inisiasi ini berada pada kalangan KMK (kaum miskin kota) di Ledhok Timoho, Jogja. Saya bersyukur bisa menimba ilmu darinya. Mengapa? Karena dari sharing dengan beliau, saya lebih mendalami makna syukur dan urgensi penanaman nilai moral daripada hanya sekadar formalitas pada diri anak. Jika membahas tentang profil dan Sekolah Gajahwong, maka perlu tulisan tersendiri. Kali ini, saya lebih fokus pada refleksi yang saya lakukan, yang notabene seorang ayah dari dua anak; terhadap materi yang Mas Faiz sampaikan tentang bagaimana kita mendampingi anak dalam pendidikan.

***

Pertama, tidak semua anak terlahir di lingkungan yang memadai, khusunya dari aspek ekonomi dan pendidikan. Mas Faiz bercerita, di Sekolah Gajahwong menerima dan mengajak anak-anak yang secara ekonomi termasuk kalangan bawah, juga dari segi keilmuan yang cenderung minim. Misalnya, anak-anak yang mengamen dan mengemis di pinggir jalan. Yang mereka lakukan bisa jadi karena mengikuti orang tuanya, atau tuntutan dan alasan lainnya. Jelasnya, butuh sosok yang harus mengubah keadaan mereka. Di antara cara mendasar untuk mengubahnya melalui pendidikan dan pendampingan. Dari sini, patutlah bersyukur bagi pihak-pihak yang terlahir dan hidup dalam keadaan mapan.

Kedua, anak adalah masa bermain. Dengan bermain maka anak senang, ketika senang maka akan sangat mudah menerima ilmu. Anak memiliki rasa, hati, dan akal yang kesemuanya penting untuk menjadi perhatian. Mas Faiz berbagi pengalaman metode pembelajaran di Sekolah Gajahwong, bahwa setiap mendahului pembelajaran maka seorang guru di Gajahwong mengajak anak didik bermain sesuai dengan tema yang mereka sepakati bersama sebelumnya. Tidak hanya 3 atau 5 menit, bahkan guru bisa mengajak bermain sampai 30 menit sehingga mereka menjadi dalam kondisi yang senang. Metode ini merespons emosional bawaan pesesta didik dari rumahnya, yang tidak semuanya dalam keadaan “baik-baik” saja. Jika ada kesedihan yang terbawa maka diharapkan hilang sehingga dapat memulai materi pembelajar dengan lebih baik. Harapannya, ilmu lebih mudah diserap oleh anak. Begitu pun saat pembelajaran daring maka orang tua dapat memerankan sebagai seorang guru dengan metode tersebut.

Baca Juga  Kebahagiaan Seorang Wanita Menjadi Orang Tua Tunggal
***

Ketiga, anak adalah masa emas dan akar perubahan. Pada usia ini, mereka menjadi sosok peniru yang jitu, maka apa yang mereka lihat dan dengarkan akan sangat mudah mereka tiru. Artinya, selama yang kita contohkan adalah hal-hal yang positif maka anak tersebut menjadi anak yang baik. Komunikasi menjadi hal yang utama. Misalnya saja berkomunikasi dengan anak menggunakan bahasa yang positif, santun, dengan menatap mata, memberi contoh, dan tentunya sabar.

Memfasilitasi anak dengan aman perlu kita perhatikan, seperti alas bermain dengan media yang ramah anak; bahan-bahan mainan yang tidak membahayakan; dan lainnya. Masa ini harus sangat kita perhatikan. “Kalo saya diminta memilih di jenjang mana anak harus diberikan pendidikan terbaik dan berkualitas (meskipun mahal) maka saya pilih jenjang PAUD atau TK, dibandingkan dengan jenjang yang lebih tinggi lainnya. Sebab, di masa itu akar dan masa dimana anak sangat terkesan dan mudah menerima pengetahuan,” jelas Mas Faiz (kurang lebih begitu, yang saya tangkap). Meskipun, memberikan pendidikan terbaik dan berkualitas idealnya dilakukan di setiap jenjangnya. Poin penting yang saya tangkap dari statement Mas Faiz adalah masa terbaik dan modal utama untuk membentuk karakter anak dan mendidiknya; sehingga menjadi bekal pada kehidupan selanjunya, yaitu pada masa anak usia dini.

***

Pendidikan pada anak yang lebih mendasar adalah pemahaman nilai-nilai luhur pada diri mereka. Tentu, seorang anak yang bisa menulis atau membaca menjadi hal yang membahagiakan bagi orang tua dan yang mengetahuinya. Namun, lebih membahagiakan lagi, ketika seorang anak yang masih usia dini mampu membiasakan berterima kasih ketika diberi sesuatu atau ditolong oleh orang lain. Juga, ketika melihat seorang anak yang masih dalam usia dini, mampu meminta maaf ketika melakukan kesalahan kepada orang lain. Kemudian, juga ketika seorang anak usia dini mampu membuang sampah pada tempatnya. Selainnya, anak yang terbiasa tertib dengan habit mau antre ketika berada di tempat umum, menjadi nilai tersendiri yang membahagiakan bagi pihak lain.

Baca Juga  Mewujudkan Anak sebagai Penerus Sujud Orang Tua

Saya jadi teringat sosok Nabi Muhammad Saw. yang seorang ummi, sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al-A’raf ayat 157. Dalam Tafsir Muyassar dijelaskan, ummi adalah seorang yang tidak bisa baca dan tulis. Namun dalam ayat ini dijelaskan golongan orang-orang yang muflihun (beruntung) bagi siapa yang mengakui kenabiannya, yaitu dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan dan menghindari yang dilarangnya. Apa itu? Dalam ayat dijelaskan tentang sosok yang memerintahkan kepada hal yang makruf dan menghindari yang mungkar; juga termasuk menghindari makanan yang agama haramkan, serta bentuk-bentuk perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Ada kesinkronan antara prinsip yang Mas Faiz bangun dalam sharing yang kami lakukan. Betapa pentingnya nilai ‘akhlak’ pada diri anak usia dini sehingga membawa mereka kepada mental mulia dan membawa kepada perjalanan hidup bahagia di dunia, juga di akhirat.

***

Pun demikian, sisi lain ajaran Islam sangat menjujung tinggi nilai “ilmu”, bahkan setiap muslim dan muslimat wajib hukumnya untuk belajar. Sebuah kalimat bijak, meskipun bukan hadis, yaitu “uthlubul ilma min al-lahdi ila al-mahdi”, tuntutlah ilmu dari ayunan sampai dengan liang lahat, menjadi kalimat penyemangat seseorang untuk senantiasa menuntut ilmu, di usia berapa pun. Saya ingin menggarisbawahi tentang pentingnya pendidikan moral dan akhlak pada anak, selain juga pendidikan formal. Dalam memahamkan keduanya pada anak, orang tua perlu memperhatikan cara berkomunikasi pada anak.

Memposisikan diri sebagai guru, terkadang perlu orang tua lakukan untuk membangun suasana belajar saat mendampinginya, misalnya ikut duduk bersama, tidak dengan melakukan aktivitas lain yang dapat mengganggu suasana belajar, seperti main gadget atau nonton tv. Selain itu, memberikan pujian (apresiasi) dan teguran perlu dilakukan secara proporsional dan tidak berlebihan. Jangan sampai, anak menjadi kecanduan pujian. Nabi pernah berpesan dalam hadisnya, “Addabani rabbi, fa ahsana ta’dib,i” yang maknanya, Rabbku telah mendidikku maka jadilah sosok berkeadaban dalam laku. Intinya, mendidik tidak hanya sekadar 1, 2, 3 atau a, b, c, melaikan bagaimana cara berlaku yang baik dan bijak dari siapapun dan di manapun. Jika kita terlambat menyadarinya, maka jangan demikian untuk anak dan generasi selanjutnya. Wallahu a’lam bi sawab.

Bagikan
Comments
  • Kurnia zawal

    Terimakasih share ilmunya sangat bermanfaat

    September 24, 2021
Post a Comment