f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
ibuku

Demi Ibuku Tercinta, Akupun Pulang

Bekerja selama sebulan memang membuat hati ini rindu dengan keluarga di kampung halaman. Tepat pada awal bulan pasti akan ada gajian yang diselipkan ke karyawan oleh sang majikan. Setelah kuterima gaji itu, maka aku meminta izin untuk pulang ke kampung halaman. Dengan baik hati, majikan memperbolehkanku untuk pulang ke kampung halaman dengan berpesan untuk berhati-hati di jalan dan menitipkan salam untuk keluarga di rumah.

“Terima kasih atas izinnya, Pak Wal. Semoga bisnisnya lancar dan sukses selalu. Saya berjanji, kalau sudah dua mingu di rumah, pasti akan kembali ke sini lagi. Insyaallah,” pamitku kepada Pak Waluyo, pemilik usaha rental scaffholding yang aku kerjai.

*

Aku terbangun lebih pagi mengingat hari ini ada agenda pulang ke kampung halaman. Tempat kerjaku tidak jauh dengan jalan raya. Ransel hitam menemaniku berjalan sampai sekitar 200 meter dari tempat kerjaku. Di atas halte busway aku menghentikan langkah.

Sambil meminum air putih dari botol yang kubawa, aku merenungi nasib perjalanan hidupku yang begitu terjal. Bising kendaraan terlihat lalu lalang di jalan. Terlintas di pikiranku untuk tidak terburu-buru meninggalkan kota istimewa ini. Keinginan pulang kampung pun kutunda sebentar. Karena menurutku, ini masih terlalu pagi dan masih banyak waktu untuk menyisiri keindahan kota Jogjakarta, yang keindahannya mampu menarik banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Rencaku kini adalah menuju ke Malioboro. Nama jalan yang merupakan tempat tertujunya muda-mudi karena nilai eksotismenya. Sedangkan banyak temanku yang bercerita bahwa tempat itu juga sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain sebagainya di sepanjang jalan itu.

*

Sebagai orang awam yang tidak tahu harus kemana untuk bisa ke Malioboro, aku bertanya ke orang yang bersebelah danganku. Tampaknya dia orang yang baik dan berwajah ramah. Akupun melontarkan pertanyaan kepadanya tentang kemana dan bagaimana agar aku bisa ke Malioboro. Dia malah menjawab bahwa dia akan menemaniku menuju ke Malioboro jika berkenan.

Dia adalah orang asli Jogja yang akan pulang sejalur dengan arah ke Malioboro. Wah, sebuah keberuntungan bagiku. Akupun mengiyakan tawaran orang tersebut. Aku bersama orang itu naik busway Trans Jogja menuju tempat yang sudah direncanakan. Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang banyak hal, dengan sesekali, orang itu menceritakan bangunan dan obyek wisata di sepinggiran jalan yang kami lewati.

Baca Juga  Dream Chasers

“Mas, kalau ke jogja jangan kawatir tersesat. Orang-orang jogja itu ramah-ramah, kok. Gak mungkin mereka tidak mau membantu. Pasti mau direpotin. Kepada siapapun, terlebih wisatawan kayak Mas,” ucap bapak itu kepadaku.

*

Memang Jogja membuatku terkesima kali ini. Sampai pada akhirnya, aku harus memisahkan diri dengannya, karena Malioboro adalah tempat yang kutuju. Aku pun turun dari busway dan tentunya mengucapkan terima kasih kepada orang tadi. Lambaian tangannya mengiringi kepergiannya meninggalkanku sendiri.

Yap, inilah Malioboro. Aku sudah di sini sekarang. Kukeluarkan smartphone dari dalam sakuku. Jebret, jebret, jebret. Kucoba abadikan setiap sudut pemandangan tempatnya para pelancong ini. Tertawa geli kulihati hasil tangkapan kameraku itu.

Ada beberapa bule yang tengah ngevlog menaiki becak, ada pemandu wisata yang memandu para wisatawan menikmati perjalananya, ada yang tengah membacakan puisi kepada kekasihnya, ada pula yang tengah membuat video grafis dengan latar jalan Malioboro yang ekstetis.

Semua dalam kesibukannya masing-masing. Sungguh keramahan kota yang unik. Budaya keraton yang menjiwai orang-orangya untuk berunggah-ungguh baik.

Di sisi timur jalan lebih sepi dari pada disisi barat. Karena jomblo, akupun duduk termangu sendirian di kursi kayu. Kulihati orang-orang pemilik toko yang ikut termangu tanpa ada pengunjung yang membeli dagangannya, bahkan mampir melihat-lihat pun tidak ada.

Sekonyong-konyong kemudian, ada seorang pedagang asongan yang menghampiriku. Ia menawarkan dagangannya kepadaku. Kulihati dia, ibu tua yang berawakan kurus kering berparas keriput dengan rambut yang memutih rata. Membawakan macam-macam rokok dalam sekotak kayu yang diikatkan ke lehernya.

“Mas, monggo dibeli rokoknya,” tawarnya kepadaku.

*

Aku iba dengannya dan ingin membeli beberapa rokok agar orang itu senang. Tetapi untuk apa aku membelinya, aku bukanlah perokok seperti lelaki pada umumnya. Berkumpul dengan orang-orang perokok saja aku males, apalagi merokok. Karena atas nama kebaikan, aku membelinya. Tidak hanya sebatang, dua batang, tetapi aku belikan sebungkus rokok dari ibu tua itu.

Baca Juga  Revitalisasi Teknologi dalam Bidang Pendidikan

“Buk, kulo beli sebungkus ya, buk. Itu rokok yang bungkusnya warna coklat,” pintaku padanya sembari menunjuk bungkus rokok yang berwarna coklat, entah namanya rokok apa, pokoknya aku memilih rokok yang paling besar dari bungkus rokok yang lain.

Betapa senang hatinya begitu dagangannya terjual. Lebar senyum ibu tua itu memperlihatkan deretan giginya yang sudah menanggal satu. Saking senangnya ibu itu, ia hendak membacakan sebuah puisi yang indah kepadaku.

“Duh cah bagus seng dermawan

Tangan entengmu tak kau simpan untuk demi kebaikan

Tergopoh-gopoh lesu aku keliling berjualan

Tak ada yang menanggapi atau bahkan mengacuhkan

Lewat tanganmu, rizki diturunkan Tuhan

Bersyukur hamba ini masih ada orang yang dermawan”

Aku memberi respon baik dengan bertepuk tangan. Masih belum beranjak aku dari tempat dudukku itu. Suatu hal yan unik dan tak pernah aku jumpai di mana pun. Ibu tua, seorang pedagang asongan yang berkeliling menjual rokok yang juga mahir membacakan puisi.

Aku ingin mengobrol dengannya. Penasaran aku dibuatnya, namun, sudahlah, mungkin bawaan orang-orang sini yang memang jago bersastra. Namanya saja kota pelajar. Pasti setiap orang sekitar sini pun berkemampuan yang tak berbeda jauh. Jadi, maklum saja bila ibu tua ini mampu membacakan puisi kepada pelanggannya.

“Dulu ibu sering pentas puisi ya?,” tanyaku penasaran.

“Gak cuman puisi saja. Ibu gini juga mantan pemain drama teater terkenal di masa itu loh,” ibu tua itu mencoba mengenang masa mudanya. “Dulu ibu ikut komunitas PSK juga”

“Hah? Ibu dulu juga jadi PSK?”

*

“Eh, bukan PSK yang berkeliaran mencari pelanggan untuk para lelaki belang itu, bukan. Tapi PSK itu; Persada Studi Klub. Itu semacam komunitas yang sudah menjadi kampus belajar kesusastraan di Malioboro sini.

Dari itu kami belajar, berdiskusi dan menghasilkan karya di komunitas ini,” ibu itu menundukan kepala sebelum mengakhiri ceritanya itu. “Namun ibu harus berhenti dari komunitas itu, karena juga harus mencari penghidupan. Harus mencari pekerjaan, menikah, ngurusin anak dan suami, hingga  anak dan suamiku meninggalkanku.”

Baca Juga  Yuk, Menua dengan Bahagia Bersama Pasangan

“Anak dan suami ibu  meninggal dunia?”

“Bukan meninggal dunia. Tapi suami ibu memilih perempuan lain, dan anak ibu ikut  bapaknnya dengan ibu barunya itu. Kan ibu gak punya apa-apa, jadinya ya ibu ditinggal sendirianlah,”

Tak lama kemudian ibu tua itu langsung bergegas meninggalkanku. Wus, akupun termenung dengan cerita singkat ibu itu. Aku malah teringat dengan ibu yang di rumah, yang sekarang tengah sendirian di sana, tanpa  ada orang yang menemaninya. Karena memang tiga tahun yang lalu bapakku tega meningggalkann kami berdua, demi menikah lagi dengan perempuan lain.

*

Maka dari pengalaman-pengalaman pahit di keluargaku, aku tak boleh gosar  untuk selalu berbakti kepada ibuku dan juga berbuat baik kepada siapapun. Karena semua pasti akan ada balasannya sendiri. Seperti pesan ibuku yang selalu aku ingat hingga aku jauh disini adalah “Setiap yang berbuat baik pasti akan ada imbalannya dan yang berbuat buruh pula ada yang membalasnya. Tapi ketika kamu berpikir kalau harus membalas orang yang pernah berbuat buruk kepada kita, maka kamu hanya akan memperoleh kerugian. Karena gusti Allah tak pernah meridhoi hambanya untuk berbuat buruk kepada siapapun dan gusti Allah tak mengkhianati janjinya atas segala perbuatan makhluknya di muka bumi ini.”  

Ketika aku melirik jam tangan yang sudah menambatkan jarum pendek dan jarum panjangnya  yang tak jauh berbeda di angka sebelas, akupun segera menaiki becak yang sudah siap dinaiki penumpang. Oleh pak tukang becak aku diarahkan untuk menaiki busway yang mengarah ke terminal Giwangan. Sesampai di terminal Giwangan aku menaiki bus jurusan Jogja-Solo. Demi ibuku tercinta, akupun pulang.            

Bagikan
Post tags:
Post a Comment