f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
nyi roro kidul

Keluhan Ekologis Nyi Roro Kidul untuk Kita Renungkan

Kemarin, pada Hari Jum’at (28/05/2021) saya tanpa sengaja bertemu Nyi Roro Kidul di Pondok Pesantren Biharul Bahri al-Asali Fadhailurrahmah, Turen, Kab. Malang. Saat sedang bersilaturrahim dengan pendiri pondok salafiyah ini, yakni almarhum Romo Syaikh KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh al-Mahbub Rahmat Alam, Nyi Roro Kidul dan rombongan datang mengucap salam pada kami berdua. Mereka juga hendak sowan.

Sebelum berpisah dan menetap sepenuhnya di Lombok, saya memang berencana berziarah ke setiap sudut kenangan di kawasan yang sejuk ini. Salah satunya ke pondok salafiyah ini. Tapi bisa bertemu Nyi Roro Kidul di pondok ini adalah sesuatu yang istimewa. Biasanya saya dan Nyi Roro Kidul bertemu di sekitar Jogjakarta saja. Seperti setahun lalu, sebelum pandemi Covid-19, kami sempat berbincang di alun-alun Keraton Jogjakarta, sambil minum jamu.

“Saya memang sering sowan ke para mursyid di tanah Jawa, Cal, baik yang masih hidup maupun yang sudah mangkat. Menjalin silaturrahim.” Beliau menjelaskan.

“Maafkan saya karena baru tahu hal ini, Ndoro.” Saya sungkem.

Tapi saya tahu, Nyi Roro Kidul tidak mungkin sekadarsowan. Benar saja: setelah bicara yang remeh temeh, mulailah beliau mengeluhkan hal-hal serius pada Romo Kiai. Nyi Roro Kidul curhat, dengan wajah nelongso, ibarat anak perempuan yang mengadu pada bapaknya, dan mungkin mengharapkan satu dua petuah.

*

Romo Kiai dengan sabar menyimak keluhan Nyi Roro Kidul akan tabiat manusia yang kian hari kian hilang ketakzimannya pada bawana, baik yang kasat mata dan yang tidak. Padahal sebagai khalifah, menurut Nyi Roro Kidul, tugas manusia seharusnya adalah mamayu hayuning bawana. Saya menyimak baik-baik. “Bawana” dalam falsafah Jawa adalah konsep ruang―ruang hidup, sesuatu yang ekologis-kosmologis.

Baca Juga  Iklan Kosmetik Penyumbang Bibit Rasisme Pada Anak?

“Bangsa manusia, kan, seharusnya menjaga keutuhan dan keindahan bawana mereka. Manusia bisa melakukan itu hanya dan hanya jika mereka tetap takzim pada bawana, takzim sedalam-dalamnya Sekarang tidak begitu, Romo. Mereka pikir bawana ini isinya cuma mereka. Mereka pikir tanah itu sekadar tanah, pohon itu sekadar pohon. Manusia sudah pekok, picik matanya. Dikira pohon dan tanah itu tidak punya jiwa.”

Romo Kiai mangut-mangut, menghela napas. Rombongan Nyi Roro Kidul tampak masygul. Sepertinya mereka telah mengalami situasi yang berat. Saya angkat tangan. “Ndoro, ada apa kiranya yang dengan Laut Selatan? Apa yang manusia sudah lakukan pada Laut Selatan?”

“Sampah, Cal. Sampah yang manusia buang di darat, kan, akan berakhir di laut. Kamu tahu, Cal, sampah manusia lebih banyak mengendap di dalam laut daripada di muka air. Dalam perjalanan ke sini, di kedalaman dua ribu kaki, saya menerima aduan dari warga ikan yang rumahnya ditimbun sampah. Kasihan mereka, racun dari sampah itu menjalar ke mana-mana. Mereka sebetulnya sering mengeluh, tapi saya cuma bisa meminta mereka bersabar.”

*

Pastilah yang dimaksud oleh Nyi Roro Kidul itu adalah sampah plastik. Kabarnya, di dasar Palung Mariana yang kedalamannya sebelas ribu meter itu pun sudah ditemukan sampah plastik. Sampah packaging makanan Indonesia kabarnya mendarat dan mengotori pantai di luar negeri. Sungai-sungai besar di Jawa, misalnya Bengawan Solo, sudah menghitam karena limbah industri dan penuh sampah plastik. Semua itu akan bermuara di lautan.

“Ndoro, mengapa tidak para prajurit dunia gaib yang Ndoro dan Ratu Kidul pimpin tampil sekali untuk memberi peringatan? Misalnya, dengan kekuatan tertentu, seluruh sampah di laut diangkat ke langit lalu ditumpahkan lagi ke daratan. Lalu berikanlah suatu ultimatum yang bisa didengar oleh seluruh manusia. Agar manusia itu melek matanya terhadap bawana. Agar manusia itu tahu dunia gaib telah terganggu oleh kecongkakan mereka!”

Baca Juga  Sudahkah Kita Mengenali Anak Kita?

Entah kenapa, saya jadi sedikit emosi. Tapi ndilalah Nyi Roro Kidul dan rombongannya tersenyum, menggeleng.

“Pertama, bila kami harus melakukan itu, maka di daratan manakah kami harus menumpahkannya, Cal? Di kota, karena di kotalah kebanyakan sampah itu dibuat dan dibuang sembarangan? Kenyataannya, di desa-desa sampah juga dibuat dan dibuang sembarangan. Kami harus adil sekalipun hendak membalas kejahatan, Cal. Hanyalah manusia, makhluk yang sulit berbuat adil bahkan pada sesama mereka sendiri.”

Saya terdiam seribu bahasa.

“Kedua, ini urusan bawana kasat. Ketahuilah, karena hakikatnya bawana itu satu, maka segalanya terhubung dan saling memengaruhi. Ancaman di bawana kasat adalah ancaman di bawana gaib. Kami terganggu lantaran sampah manusia, Cal, tapi kami tidak berdaya karena masalah sampah ini bukan urusan dunia kami. Sampah adalah urusan dunia manusia. Manusialah yang harus bertanggungjawab menyelesaikannya.”

*

Kepala saya menunduk.

Salah seorang rombongan Nyi Roro Kidul angkat suara. Suara yang sedih. “Adinda, sesungguhnya bawana kasat sendiri sering mengirim pesan amarah pada manusia. Banjir, angin ribut, dan lain sebagainya, semua itu pesan amarah bawana kasat pada manusia si makhluk kasat yang lupa diri dan congkak. Tapi lihat, tidak ada manusia yang sadar dan peduli. Sebab, seperti sabda Ndoro tadi, ketakziman manusia pada bawana sudah hilang.

Saya malu. Dalam malu itu saya jengkel. Kenapa keraton yang mengaku punya hubungan mesra dengan Ratu Kidul itu tidak banyak mengambil peran mamayu hayuning bawana dalam pengertian ekologis-kosmologis seperti yang dikeluhkan Nyi Roro Kidul tadi? Pembangunan dipesatkan, rantai konsumsi-produksi di-tiada henti-kan, rakyat kecil di gusur, hedonisme berkembang: kota keraton itu melaju ke titik yang tidak lagi berbudaya.

Baca Juga  Promil dan Perjuangan Bersama bagi Pasutri

Saya menggerutu karena menyalahkan keraton. Tidak, persoalan yang disampaikan Nyi Roro Kidul adalah persoalan yang sangat besar dan kompleks, sehingga ini bukan hanya urusan keraton dan pemerintah umumnya. Kebijakan ekonomi-anti-ekologi bersambutan dengan sistem kebudayaan manusia yang tidak mengenal batas dalam memuaskan hasrat untuk memiliki, menguasai dan menikmati segala sesuatu. Sampah hanyalah masalah turunan.

*

Setelah berkonsultasi satu dua hal dengan Romo Kiai, Nyi Roro Kidul dan rombongan pamit pulang. Nyi Roro Kidul mengingatkan untuk mampir ke Jogjakarta sesekali. Saya mengiyakan dengan kepala yang penat pikiran. Apakah Dewi Anjani, datu penguasa tanah Rinjani, mengeluhkan hal yang sama? Gunung Rinjani sekarang pekak sekali dengan suara manusia: bebunyian musik, petasan dan sorak-sorai. Sampah penuh. Apakah beliau juga mengomel?

Mungkin. Lain kali akan saya coba bincangkan dengan beliau, bila kebetulan bertemu di Pantai Ampenan. []

Bagikan
Comments
  • EnemyDog

    Selalu menarik membaca tulisan bang ical, peka dengan hal-hal yang dianggap sepele, dan sudut pandangnya selalu keren.

    Mei 31, 2021
Post a Comment