f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
anak

Memilih Sekolah Anak: Melatih Kejujuran di Era Serba Sulit

Proses penerimaan murid baru selalu menimbulkan polemik tersendiri. Sejak saya mendaftarkan sekolah anak sulung sampai si bungsu, polemik selalu timbul dengan cerita yang beragam. Untuk mendapatkan porsi sekolah di SD, SMP dan SMA akan menimbulkan gejolak, terlebih kalau kita mencari sekolah dengan embel-embel sekolah negeri.

Terakhir kali saya mendaftarkan anak saya yang bungsu di bulan Juni tahun 2020 untuk masuk ke jenjang sekolah menengah (SMP). Beruntung anak saya bisa masuk ke SMP N dengan menggunakan jalur prestasi, karena dia punya beberapa piagam penghargaan dari lomba-lomba selama masih sekolah dasar. Sempat kebingungan juga seandainya anak saya memilih masuk lewat jalur zonasi, karena rumah saya jaraknya lebih dari dua km dari beberapa SMP N yang ada di dekat rumah.

Sistem penerimaan murid baru secara online memudahkan para orang tua dan anak bisa memantau penerimaan murid baru secara langsung.

***

“Ma, coba mama lihat, temanku si A bukannya alamat rumahnya di Jalan XYZ, tapi kenapa ini di online alamatnya ganti di Jalan ABC?” terlihat sekali wajah anak saya kebingungan.

Saya menanggapinya dengan santai.

“Mungkin kartu meluarganya ikut di alamat Jalan XYZ,”  jawab saya sekenanya.

Saya sebetulnya tahu arah pertanyaan anak saya. Tapi saya sebisa mungkin meredamnya. Tidak tega rasanya membahas hal tersebut dengan anak yang belum cukup umur. Kebetulan si A adalah teman akrab anak saya saat masih sekolah di SD, jadi anak saya tahu persis di mana si A tinggal.

“Kasihan Ma, si B tidak bisa masuk di sekolah yang menjadi keinginan,” cerita anak saya keesokan harinya.

“Kenapa?” tanya saya.

“Aku lihat di sistem online namanya terpental, karena jarak rumahnya dengan sekolah lebih dari satu kilometer,” anak saya menyampaian hal tersebut melalui video call sambil menangis.

Baca Juga  Tidak Hanya Ilmu, Strategi Komunikasi Penting Bagi Edukasi Seksual Anak

“Enak si A Ma…, dia bisa ngurus surat keterangan pindah domisili akhirnya bisa masuk SMP favorit.”

Saya merasa jengah dengan beberapa kejanggalan yang terlihat sangat mencolok mata, bahkan seumuran anak saya sudah bisa melihat ketimpangan-ketimpangan yang tidak seharusnya terjadi.

***

Mendekati musim penerimaan murid baru, banyak beredar desas-desus sebagian orang tua yang dadakan mengurus surat pindah untuk mengantongi surat keterangan pindah domisili di alamat rumah yang berdekatan dengan sekolah-sekolah favorit. Saya termasuk orang yang tidak mempercayai, betapa para orang tua sangat berambisi mengurus segala sesuatu yang saya anggap kurang wajar demi memuluskan keinginan mereka mendaftarkan anak-anaknya di sekolah-sekolah favorit. Mereka seolah lupa kalau upaya yang mereka jalankan sama dengan memberikan contoh nyata tentang ketidakjujuran kepada anak-anak mereka. Sangat prihatin ketika anak saya menanyakan tentang upaya orang tua temannya.

“Ma, kalau seperti orang tua si A itu boleh nggak menurut Mama?”

“Menurut Mama sih… nggak boleh.” Ternyata jawaban saya yang pendek semakin membuat anak saya penasaran.

“Alasannya apa kok nggak boleh?”

“Karena orang tuanya mengajarkan kepada anaknya tentang kebohongan, kasihan lhoh si A, teman-temannya semua akhirnya tahu kalau dia memakai data yang tidak sesuai.”

Anak saya diam, saya merasa ada ketidakpuasan atas jawaban yang saya berikan.

Untuk mengalihkan pembicaraan tentang topik surat keterangan pindah domisili, saya mengajaknya untuk bersyukur karena dia bisa mendapatkan sekolah favorit dengan jalur resmi yang lainnya.

Dua bulan berlalu, anak saya sudah sibuk dengan ulangan harian, selanjutnya ulangan tengah semester. Alhamdulillah nilai yang dia dapat di atas rata-rata semua.

***

“Ma…., kalau aku masuk SMA nanti aku pengin sekolah di SMA Z, boleh?” tanyanya.

Baca Juga  Project Based Learning: Solusi Belajar Efektif dari Rumah

“Boleh saja, kalau mau masuk SMA Z nilai rata-rata raportmu mulai semester 1 sampai semester 5 minimal sekian.”

Kurang puas dengan jawaban saya, anak saya mengutarakan idenya agar saya mengurus surat keterangan pindah domisili sebelum kenaikan kelas. Otomatis permintaannya yang tidak masuk akal, saya tolak. Dengan tegas saya katakan kalau saya tidak pernah tertarik mengikuti jejak seperti orang tua si A. Anak saya masih menyanggahnya, dengan dalih hanya untuk persiapan kalau nanti mencari SMAN akan punya dua alternatif. Jika nilainya kurang mencukupi untuk mendaftar dengan jalur prestasi nilai, bisa memilih jalur zonasi.

“Kata temanku lhoh, kalau untuk tujuan sekolah nggak apa-apa, kan bukan untuk tujuan yang lain.”

Rupanya anak saya berhasil mengkomunikasikan ke si A kalau dia masuk sekolah memakai keterangan pindah domisili yang tidak semestinya.

Bagai tersulut api, saya berusaha meredam gejolak, biar tidak meledak amarah saya. Rasanya tidak terima anak saya punya pikiran seperti itu. Saya yang mengajarkan untuk memegang teguh kejujuran sejak dia kecil, tercoreng contoh nyata yang terlihat jelas olehnya.

***

Ternyata kejadian yang terekam anak saya mengendap di otak bawah sadarnya. Saya sangat prihatin ilmu yang dia lihat langsung dan contoh nyata mampu mengendap di pikiran bawah sadarnya. Beruntung dia mau mengkomunikasikan dengan saya selaku orang tua. Seandainya pikiran dan imajinasinya hanya dipendam, saya selaku orang tua tidak akan tahu bahwa kejujuran yang saya tanamkan terbantahkan dengan contoh yang dia lihat.

Para orang tua tidak menyadari jika trik mencari sekolah yang mereka terapkan untuk anaknya akan jadi bumerang di kemudian hari bagi anaknya. Mulai dari alibi demi untuk kebaikan, para orang tua memberi contoh nyata untuk mengesampingkan kejujuran. Mereka bisa tertawa riang saat ditanyakan teman atau keluarga, anaknya diterima sekolah dimana? Mereka akan bangga memamerkan jika anaknya berhasil sekolah di salah satu sekolah favorit yang banyak diidamkan oleh kebanyakan orang tua.

Baca Juga  Golden Age, Pondasi Pendidikan Pertama

Para orang tua lupa bahwa memulai sesuatu dengan sedikit kesalahan akan menimbulkan kesalahan yang berulang. Celah untuk mengulangi kesalahan akan tercetus bagi si anak, karena mereka sudah dilibatkan dalam berproses mencari sekolah yang “layak” menurut ukuran pribadi orang tuanya. Selayaknya instansi terkait yang bersinggungan dengan proses penerimaan murid baru tanggap dengan kelemahan sistemnya. Agar kecurangan-kecurangan dengan memanfaatkan celah-celah bisa dicegah.

Proses penerimaan murid baru untuk tahun ini, kurang  beberapa bulan lagi. Semoga drama yang selalu mengiringi prosesnya bisa diminimalisir.

Bagikan
Post a Comment