f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
hukum positif

Transformasi Hukum Islam ke Dalam Hukum Positif

Tingkat transformasi suatu hukum dalam suatu negara bergantung pada posisi hukum itu dalam sistem hukum negara tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui transformasi hukum Islam kedalam hukum positif perlu mengetahui posisi hukum tersebut dalam sistem hukum Indonesia. Menentukan posisi hukum Islam dalam sebuah sistem hukum merupakan suatu tindakan politik hukum nasional.

Faktor yang menentukan politik hukum, tidak semata-mata cita-cita kehendak pembentukan hukum, praktisi atau sikap teoritis belaka. Sunarti sebagai salah seorang pakar hukum menambahkan bahwa faktor yang menentukan politik hukum juga oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain negara serta perkembangan hukum Internasional. Terlebih dalam era globalisasi saat ini, di mana batas antar negara menjadi lebih transparan.

Dalam negara Indonesia, berlaku tiga macam hukum, yaitu hukum adat, barat dan hukum Islam. Terlepas dari persoalan kapan Islam masuk ke Indonesia, pada saat kerajaan-kerajaan Islam berdiri di berbagai tempat di Nusantara ini; hukum Islam telah menjadi hukum positif yang mandiri bagi rakyat (hukum yang hidup dalam masyarakat ini adalah hukum Islam menurut Madzhab Syafi’i).

***

Prof. Dr. M Daud Ali mengatakan; “Bahkan pada saat itu sempat penguasa VOC menghimpun peraturan-peraturan mengenai Hukum Islam, yang lebih dikenal dengan Copendium Freijer (berisi tentang perkawinan dan kewarisan). Sementara untuk perkara-perkara perdata lainya diambil sebagian besar dari buku Hukum Islam al-Muharrar karangan al-Rafi yang dipakai oleh Pengadilan Negeri Semarang.

Setelah VOC bubar, kekuasaan beralih kepada kerajaan Belanda. Maka sekitar tahun 1800, terjadilah kristenisasi karena beberapa di antara orang-orang Belanda menginginkan pengaruh Islam di Indonesia berkurang. Tetapi agar tidak timbul perlawanan, maka hukum tersebut masih tetap berlaku bagi pribumi sepanjang tidak bertentangan dengan  norma  yang mereka akui.

Baca Juga  Memantaskan Diri Hidup di Panggung Dunia Dengan Akhlak Rasul

Pada tahun 1884, Van Den Berg menyusun sebuah buku tentang hukum Islam dan berpendapat bahwa umat Islam di Hindia Belanda sudah menerima hukum Islam secara keseluruhan. Pendapat ini yang masih menjadi dasar kebijaksanaan penguasa waktu itu.

Kemudian munculah Scouch Horgronje (1857-1936) sebagai penasihat pemerintah penjajah Belanda untuk urusan Islam; yang mengatakan bahwa orang Islam di Hindia-Belanda sebenarnya menaati hukum adat, bukan hukum Islam. Sehingga dia menyimpulkan bahwa jika ada orang Islam yang menaati agamanya, itu karena hukum agamanya telah menjadi hukum adat (teori resepsi oleh Ter Har dan Van Vollenhoven).

Upaya untuk mengembalikan posisi hukum Islam dari kedudukanya yang tidak mandiri telah diwujudkan melalui munculnya piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun kata-kata tersebut mengalami perubahan dengan alasan persatuan bangsa. Upaya selanjutnya baru berhasil setelah keluarnya UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Dengan begitu hukum Islam sudah menjadi hukum yang mandiri dalam sistem hukum di Indonesia.

***

Islamil Shaleh mengemukakan tiga dimensi yang harus ada dalam langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka pembentukan hukum nasional; yaitu: dimensi pemeliharaan, dengan maksud untuk memelihara hukum dari kekosongan hukum; dimensi pembaharuan, dengan maksud untuk menciptakan UU yang baru disamping menyempurnakan yang masih ada agar relevan dengan kebutuhan dan keinginan; selanjutnya dimensi penciptaan, dengan maksud untuk menciptakan UU yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Sedangkan materi hukum nasional (baik hukum adat, barat atau islam), harus memiliki wawasan nasional yang terdiri dari tiga segi. Pertama, wawasan Kebangsaan, yang berarti berorientasi kepada kepentingan bangsa. Kedua, wawasan Nusantara, yang berarti adanya Unifikasi di bidang hukum semaksimal mungkin. Ketiga, wawasan Bhineka Tunggal Ika, unifikasi hukum dengan memerhatikan latar belakang sosial dan kebutuhan hukum khusus bagi masyarakat atau kelompok tertentu. Dengan ketiga wawasan tersebut harapannya azas-azas hukum Islam yang bersifat universalitas; dapat menjadi bagian integral dari hukum nasional maupun norma yang berlaku di masyarakat.

Baca Juga  Anak dalam Bingkai Islam

Namun jika kita mengacu kepada sistem hukum yang memiliki tiga komponen (Struktur, Substansi dan Kultur). Berbicara mengenai struktur, Indonesia mendapat angin baru di bidang politik dengan adanya UU Perkawinan. Namun berbicara mengenai substansi, kaidah-kaidah hukum Islam ini kaku bahkan mungkin menakutkan, sehingga perlu pengkajian khusus agar lebih bersifat terbuka dan kontekstual. Begitupun mengenai kultur, statistik menunjukan hampir 90% pemeluk Islam belum menjadi bagian dari pendukung berlakunya sistem hukum (basis sosial). Sehingga butuh rasionalisasi Hukum Islam agar pemeluknya punya kesadaran terhadap hukum Islam.

Sistem Hukum Islam akan bersaing dengan sistem hukum adat dan barat. Sehingga kendala-kendala struktural, substansi dan kultur harus dihilangkan agar posisinya kuat dalam tawar-menawar (bargaining position) hukum Islam dalam proses transformasi menuju hukum nasional.

Referensi:

Sunaryati Hartono, Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Press, 1985, hlm.11).
M Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Press, 1990, hlm.214
Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilanya, Bulan Bintang, 1968, hlm 20

Bagikan
Post a Comment