f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
toxic masculinity

Toxic Masculinity : Laki-laki Harus Gagah, Tidak Boleh Lemah!

Kalo kriteria cowokku itu, ya harus gagah, tinggi, kekar, dan ganteng. Aku gamau kalo cowokku pendek, buncit, gemuk, gak good looking. Pokoknya harus yang terbaik!”.

Begitulah ungkapan-ungkapan beberapa perempuan yang menginginkan sosok pria idamannya. Tentunya sesuai dengan kriteria yang ia ingin. Seolah ingin sosok malaikat, yang sempurna, dan tidak punya kekurangan sedikit pun; laki-laki menurut ungkapan di atas dituntut untuk menjadi sosok manusia standar iklan produk televisi. Sosok laki-laki biasanya digambarkan dalam iklan sebagai sosok manusia yang kuat, kekar, berisi, dan body goals.

Fenomena tersebut akhirnya mereduksi pemikiran masyarakat, bahwa laki-laki harus kuat, dilarang menangis, laki-laki tidak boleh menjadi kalahan, dan anggapan lainnya seolah laki-laki tidak boleh menjadi manusia lemah. Hal tersebut yang kemudian diistilahkan sebagai fenomena Toxic Masculinity.

***

Toxic masculinity adalah salah satu istilah yang dikenalkan oleh Shephed Bliss, seorang psikolog Amerika Serikat. Dalam artikel ilmiahnya yang bertajuk Revisioning Masculinity: A report on the growing men’s movement. (Bliss, 1997), mengubah definis maskulin yang telah terkenal lama. Menurut Bliss, ada dua faktor pendorong mengapa ia mengubah konsep tradisional mengenai maskulinitas. Dua faktor tersebut ialah faktor gerakan perempuan dan faktor perbuahan situasi ekonomi.

Pada masa tersebut, banyak perempuan yang menginginkan terbukanya akses menuju pekerjaan tradisional laki-laki. Alhasil, karena hal tersebut, mengancam citra laki-laki sebagai “pencari nafkah”. Bilss juga menambahkan jika perempuan saat itu, ikut menuntut laki-laki untuk ikut serta merawat anak-anak dan melaksanakan pekerjaan domestik atau rumah tangga. Hal tersebut yang kemudian menurut Shephed Bliss sebagai fenomena Toxic Masculinity.

Toxic Masculinity, menurut Lavinia Rotundi  sebagai perkumpulan psikologis, fisik, dan karakteristik perilaku yang terkait dengan laki-laki. Lavinia dalam tesisnya yang berjudul The Issue of Toxic Masculinity, menjelaskan jika karakteristik sekaligus psikologis seorang laki-laki telah terbentuk sedari belia. Akibatnya banyak anak laki-laki yang didoktrin untuk menjadi sosok yang kuat dan tidak boleh menangis. Dengan demikian memori anak akan tersimpan hingga saat ia dewasa.

Baca Juga  Menjadi Jurnalis Perempuan, Why Not?
***

Menurut Anderson, anak laki-laki diidentikkan dengan beberapa ajaran frasa umum, misalnya “jangan bersikap seperti banci”; kalau kamu merengek tandanya kamu perempuan. Kebiasaan dan norma toxic itulah yang telah para orang tua ajarkan kepada anak laki-laki ketika masa pertumbuhan.yang celakanya semakin hari semakin mandarah daging, sampai dengan mereka tumbuh dewasa.

(Grewal, 2020), mengungkapkan dalam studinya terkait akibat dari toxic masculinity yang mengakibatkan turunnya kesehatan mental, dan mendorong berperilaku kekerasan. Ia menjelaskan bahwa akibat terburuk dari toxic mascunility ini mengarah pada keinginan bunuh diri pada laki-laki. Studi lain yang dilakukan oleh (Elizabeth Pearson, 2019) menemukan temuan jika toxic masculinity menyebabkan krisis, dan bisa masuk dalam taraf ekstrimisme.

Penulis bisa katakan, jika toxic masculinity merupakan antitesis dari paradigma patriarki. Karena pada budaya patrarki, laki-laki dianggap memiliki peran sebagai kontrol utama dalam sistem masyarakat; sedangkan perempuan hanya memiliki pengaruh yang kecil, atau dalam bahasa kasarnya perempuan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah publik pada sektor ekonomi, politik, sosial, dan psikologi. Bahkan, hingga pada sektor pernikahan. Karena hal tersebut, perempuan ditempatkan pada posisi subordinat atau inferior. Alhasil akibat dari budaya patriarki, perempuan kerap mengalami diskriminasi, Seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kemudian pelecehan seksual, pernikahan dini, dan lain sebagainya.

Laki-laki selalu dianggap menjadi sosok yang perkasa, pelaku kekerasan, dan juga alat penindas bagi perempuan. Seakan laki-laki tak pernah mengalami kekerasan yang serupa. Bahkan, beberapa kasus kekerasan kepada laki-laki, dibiarkan begitu saja kasusnya, serta ada juga yang akhirnya tidak terselesaikan dengan baik.

***

Studi riset yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS), bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), menyatakan jika 71,8 dari  2.210 seluruh respondennya, menyatakan telah mengalami kekerasan seksual. Persentasenya 33,3 persen dialami oleh laki-laki. Angka tersebut bukan hanya sekadar angka kuantitatif saja. Melainkan angka tersebut juga mengisyaratkan bagi kita semua, bahwa kekerasan seksual terhadap laki-laki itu ada, dan angkanya hampir setengah dari seluruh jumlah responden yang terhimpun dalam riset. Maskulinitas yang merujuk pada konfigurasi praktik laki-laki dalam relasi gender, pun tidak boleh menjadi acuan mutlak semata.

Baca Juga  Menulislah, Maka Anda Akan Masuk Surga

Kalau kita flashback ke belakang, terdapat peristiwa kekerasan seksual yang sempat menjadi buah bibir masyarakat. Seorang pegawai laki-laki yang mengalami perundungan oleh rekan kerjanya di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Informasi yang berawal dari thread Twitter akun @mediateraniaq pada Rabu (1/9/2021), akhirnya menjadi berita nasional setelah banyak orang merespon di thread tersebut.

Catatan dari Tempo.co  tahun 2021, korban MS telah mengalami perundungan oleh rekan kerjanya di KPI  sejak tahun 2011. Puncaknya pada tahun 2015, MS mengalami kekerasan seksual. Hal tersebut mengakibatkan MS trauma. Ia sempat mengadu kepada Komnas HAM. Namun, ia direkomendasikan untuk melapor langsung ke Kepolisian. Hingga pada akhirnya kasus tersebut mandek, dan tidak dilanjutkan oleh Kepolisian. MS sempat ingin dilaporkan balik oleh sang terduga pelaku, karena dianggap telah mencemarkan nama baik terduga pelaku di muka publik.

Potret tersebut, merupakan salah satu contoh pengabaian laporan tindakan perundungan dalam bentuk kekerasan seksual. Institusi hukum pun seakan tutup mata atas kasus tersebut. Payung hukum saat pun masih belum kuat. Sehingga, memungkinkan terjadinya penyelewengan penegakan hukum.

Isu Toxic Masculinity perlu menjadi perhatian kita semua. Jangan sampai kemudian kita justru menormalisasi hal tersebut. Bukan hanya berdampak bagi laki-laki juga, namun fenomena tersebut juga bisa berdampak pada perempuan. Tentunya kita semua menginginkan adanya keadilan, kesetaraan, dan harmonisasi gender. Sehingga, seluruh bentuk kekerasan seksual dapat ditekan. Tentunya ini menjadi tanggungjawab saya, anda, dan kita semua.    

Daftar Pustaka :

Anderson, L. (2021). It’s time to put toxic masculinity to rest. The Daily Aztec. https://thedailyaztec.com/107393/opinion/its-time-to-put-toxic-masculinity-to-rest/

Bliss, S. (1997). Revisioning Masculinity: A report on the growing men’s movement. Spring Journal.

Brown, L. M., Chesney-Lind, M., & Stein, N. (2007). Patriarchy matters: Toward a gendered theory of teen violence and victimization. Violence Against Women, 13(12), 1249–1273. https://doi.org/10.1177/1077801207310430

Baca Juga  Perilaku Sex Bebas di Kalangan Remaja dan Pentingnya Pendidikan Kespro pada Anak

CNN Indonesia. (2021). Korban Pelecehan KPI Terguncang Dengar Bakal Dilaporkan Balik. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210907140132-12-690872/korban-pelecehan-kpi-terguncang-dengar-bakal-dilaporkan-balik

Connell, R. (1995). Masculinities. University of California Press.

Grewal, A. (2020). The Impact of Toxic Masculinity On Men’s Mental Health. Sociology Student Work Collection. https://digitalcommons.tacoma.uw.edu/gender_studieshttps://digitalcommons.tacoma.uw.edu/gender_studies/68

Harrington, C. (2021). What is “Toxic Masculinity” and Why Does it Matter? Men and Masculinities, 24(2), 345–352. https://doi.org/10.1177/1097184X20943254

Kompas.com. (2021). Viral Twit tentang Pegawai KPI Alami Pelecehan Seksual dan Perundungan. KOMPAS.Com. https://www.kompas.com/tren/read/2021/09/02/150500265/viral-twit-tentang-pegawai-kpi-alami-pelecehan-seksual-dan-perundungan?page=all

Medcom.id. (2021). Survei: 33% Responden Pria Mengaku Pernah Mengalami Kekerasan Seksual. Medcom.Id. https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/Wb7xEV2k-survei-33-responden-pria-mengaku-pernah-mengalami-kekerasan-seksual

Pearson, E. (2019). Extremism and toxic masculinity: The man question re-posed. International Affairs, 95(6), 1251–1270. https://doi.org/10.1093/ia/iiz177

Rotundi, L. (2020). The Issue of Toxic Masculinity.

Sakina, A. I., & A., D. H. S. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Share : Social Work Journal, 7(1), 71. https://doi.org/10.24198/share.v7i1.13820

Tempo.co. (2021). Kronologi Dugaan Pelecehan Seksual dan Perundungan Terhadap Pegawai KPI. Tempo.Co. https://grafis.tempo.co/read/2794/kronologi-dugaan-pelecehan-seksual-dan-perundungan-terhadap-pegawai-kpi

Bagikan
Post a Comment