f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
surat untuk ibu

Surat untuk Ibu Menjelang Lebaran

“Halo? Ibu kenapa Ibu nangis?” tanya saya ketika mendengar Ibu sesenggukan.

“Ndak, Ibu ndak nangis,” suara Ibu di seberang sana.

Namun, saya yakin benar Ibu sedang menangis. Suara sesenggukan khasnya, dan beberapa kali beliau terdengar setengah menahan tangisnya.

“Kamu tidak sedih?” tanyanya.

“Sedih kenapa?” jawab saya.

“Ya, soal kehidupan?”tanyanya lagi.

“Hidup yang bagaimana maksud Ibu? Soal saya yang belum punya anak? Atau soal saya yang pengangguran?” saya balik bertanya.

Ibu terdiam seribu bahasa. Sepertinya yang saya tanyakan benar-benar tepat sasaran.

“Marai, Ibu tidak tahu apa di dalam hatimu, bisa jadi kamu bilang ke Ibu kamu tidak sedih tapi kamu ternyata sedih,” jawab Ibu mengakhiri percakapan kami.

Ya, saya dan suami sudah menikah selama tiga tahun dan belum memiliki momongan. Lalu, setelah menikah saya memilih resign dan merawat adik saya yang sakit leukemia. Kisahnya bisa dibaca dalam judul Fatimah D.A. Dan ternyata yang tidak saya ketahui Ibu bersedih atas apa yang terjadi dalam hidup saya.

Ibu adalah sosok yang paling berharga di hidup saya. Meskipun saya akui saya dan Ibu sering memiliki perbedaan pendapat yang cukup signifikan, Ibu selalu paling perhatian. Saya masih ingat betul saat handphone saya rusak dan tidak bisa diperbaiki. Ibu menangis di belakang saya, sambil mengelus rambut saya berkali-kali. Beliau mengatakan, “Jangan sedih ya, nanti Ibu belikan.”

Ah, Ibu, dan banyak hal-hal lain yang Ibu lakukan hanya untuk memastikan saya bahagia menurut perspektif Ibu. Saya tahu, Ibu dan saya memiliki gap umur yang cukup besar. Gap ini juga yang membuat saya dan Ibu memiliki perbedaan pemikiran yang signifikan.

Baca Juga  Lebaran dan Pesan Allah untuk Seluruh Anak

Bahagia menurut Ibu adalah ketika saya mampu memenuhi apa yang saya sebut standar bahagia Indonesia. Mulai dari harus memiliki pekerjaan mapan, rumah dan mobil mentereng, memiliki pasangan yang istimewa, serta memiliki anak. Semua tanda bahagia yang bisa dilihat secara kasat mata.

Lalu, betapa munafiknya saya, Ibu jika untuk mengatakan pada Allah saya bahagia saya harus menunggu memiliki hal-hal tersebut.

Ah, saya sudah berkali-kali bilang dengan Ibu. Saya baik-baik saja, walaupun untuk menuju keadaan ini saya harus berjuang keras; saya harus membuat diri saya tahan banting dan saya harus memandang segala sesuatu dalam batas minimal pemenuhan kebahagiaan itu sendiri.

Saya merasa saya bahagia, saya cukup dengan anugerah dari Allah, memiliki tubuh yang sehat, suami dan keluarga yang sehat dan solid. Dan yang terpenting sampai saat ini saya dan keluarga masih menjadi muslim yang taat. Itu tiket bahagia saya.

Ibu benar,ada kalanya saya memang kadang tidak baik-baik saja. Lebaran menjadi salah satu pemicunya. Lebaran sebagai ajang bertemu dengan handai taulan. Lama tak jumpa, saat berjumpa karena tidak memiliki topik pembahasan khusus, maka topik umumlah yang dipilih. Topik apa itu, ya pekerjaan, pasangan, dan anak. Itu mutlak.

Saya ingat betul Bu, saya memang menangis. Saya menangis saat seorang Bibi menanyakan kepada saya mengapa saya tidak bekerja dan tidak memiliki anak. Seketika saya terdiam. Saya berusaha memaklumi, tapi hati saya memang sakit Bu. Hal itu dikarenakan si Bibi terus saja bertanya meski saya mengalihkan topik pembicaraan.

Saya memang sakit, Bu. Saat diteror dengan pertanyaan klasik tersebut. Bahkan saya akui, saya menangis sepanjang jalan. Namun, saya akan berusaha kuat demi Ibu. Saya akan baik-baik saja asal Ibu baik-baik saja. Sepertinya alasan saya sederhana, tapi percayalah saya kuat saat Ibu kuat. Saya tahu Ibu sedih, saat saya tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat. Ibu selalu menahan air mata dan menjawab dengan baik ketika mendapat pertanyaan.

Baca Juga  Meriahkan Lebaran Tanpa Petasan

Ah, saya jadi takut dengan lebaran. Lebaran yang saya kira sebagai ajang bermaafan malah menjadi ajang saling bertahan dari sakit hati. Hal-hal ini juga yang membuat saya kadang malas pulang.

Tapi tenang Ibu. Lebaran ini saya akan tetap pulang ke Ibu. Lebaran depan, lebaran selanjutnya, dan seterusnya. Selama Ibu ada saya akan pulang. Saya pulang dalam keadaan bahagia versi saya; saya yang masih hanya berdua (tahun ini). Saya yang masih dalam keadaan islam, dan saya dalam keadaan sehat. Ibu tidak akan marah kan?

Ibu, meski dunia memusuhi saya karena saya gagal memenuhi standar bahagia. Saya yakin Ibu akan menerima saya. Walaupun, Ibu juga aslinya kadang gemes sama saya yang bandel ini. Ibu, meskipun lebaran ini kita dihujani pertanyaan tak menyenangkan, Ibu harus yakin. Jawaban dari pertanyaan itu datangnya dari Allah.

Jawaban soal kapan saya memiliki anak, kapan saya memiliki pekerjaan, dan kapan-kapan lainnya bukan saya penentunya melainkan Allah. Ibu, saya yakin Ibu jika membaca artikel ini akan jengkel dengan saya, tapi kan ini lebaran. Maafkan saya, ya. Saya sayang Ibu.

Bagikan
Post a Comment