f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Boullata

Suara Perempuan dalam Gelegar Pemikiran Arab Issa J Boullata

Issa J Boullata adalah seorang penulis, penerjemah sastra-sastra Arab dan juga merupakan seorang Katolik Protestan. Ia lahir di Yerusalem pada tanggal 25 Februari 1929. Di tahun 1975 ia mengajar di Institut Studi Islam McGill program pascasarjana dalam studi Sastra Arab, Pemikiran Arab Modern dan juga Studi Al-Qur’an. Boullata menulis beberapa buku mengenai sastra dan puisi Arab. Boullata juga menulis buku tentang Al-Qur’an. Salah satu bukunya yakni berjudul Trends and Issues in Contemporary Arab Thought yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam.

Di dalam bukunya tersebut, Boullata menjelaskan tentang kajian terhadap bagaimana para intelektual Arab memahami dan mendudukkan diri mereka di hadapan modernitas global. Boullata di dalam bukunya ini akan memperlihatkan bagaimana Islam; Arab; dan identitas-identitas lainnya dirumuskan, cita-cita masa depan di tonggokkan dan aksi politik digelar. Di dalam buku ini Boullata juga menjelaskan mengenai peranan perempuan dalam mencapai modernitas. Para perempuan Arab pada saat itu menyuarakan pemikiran mereka dengan bentuk tulisan seperti esai, kajian-kajian, artikel, dan lain sebagainya. Selain dalam bentuk tulisan, perempuan Arab pada saat itu juga mengekspresikan diri mereka dengan mengikuti organisasi-organisasi perempuan, klub, konferensi dan juga dalam pertemuan internasional. Di dalam bukunya ini Boullata memaparkan beberapa pemikiran perempuan Arab di antaranya yakni, ‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman, Zainab al-Ghazali, Nawa as-Sadawi dan Fatima Mernissi.

***

‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman dilahirkan di kota Dimiyat, Mesir. Dia tumbuh dilingkungan yang konservatif. Walaupun demikian ia menghabiskan waktunya untuk membaca buku. ‘Aisyah berhasil menjadi seorang profesor bahasa Arab dan sastra di Universitas ‘Ain asy-Syam dan juga terkadang menjadi profesor tamu di Umm Durman Islamic University di Sudan dan Universitas Qarawiyyin di Maroko. ‘Aisyah berhasil menerbitkan enam buku dengan namanya sendiri dan juga ratusan artikel mengenai sastra Arab, bahasa dan juga penafsiran.

Baca Juga  Perjuangan Ibu-Ibu Medioker Meraih Impian

Dalam memahami tentang perempuan, ‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman hanya  terbatas pada apa yang dipahami sebagai nilai Islam yang di dasarkan pada Al Quran dan hadis; yang dipraktikkan oleh perempuan muslim pada masa awal Islam. Melalui prinsip kerangka Al Quran dalam hal hubungan antara laki-laki dan perempuan, ‘Aisyah melihat banyak ruang untuk perempuan untuk menjadikan dirinya bebas dan beriman. Menurutnya seorang perempuan adalah manusia sempurna dengan hak yang dimilikinya. Pembebasan perempuan menurut ‘Aisyah adalah dengan cara membebaskan perempuan dari kebodohan. Menurutnya pendidikan adalah gerbang utama pembebasan perempuan. Menerima pendidikan khususnya dalam hal yang berkaitan dengan Islam adalah hak dan kewajiban bagi perempuan. Hak perempuan tidak dapat di berikan atau dirampas, sama halnya dengan laki-laki hak perempuan itu intrinsik. Ketika perempuan memiliki hak  dan bebas maka perempuan itu harus memiliki tanggung jawab atas hak dan kebebasannya.

***

Selain ‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman terdapat tokoh perempuan lain yang berkebangsaan Mesir yakni Zainab al-Ghazali. Zainab al-Ghazali lebih dikenal sebagai organisator dan aktivis Islam daripada seorang sarjana. Zainab pernah bergabung dalam organisasi Egyptian Feminist Union, karena tidak setuju dengan gagasan dan ideal gerakan pembebasan muslim ia melepaskan keanggotaannya. Hingga pada tahun 1936 ia mendirikan Muslim Women’s Association, hingga pada tahun 1949 ia bergabung dengan Hasan al Bannan. Melalui aktivitas dan asosiasinya Zainab memiliki tujuan pendidikan dengan menanamkan doktrin-doktrin Islam ke dalam pemikiran perempuan; mengajarkan hak-hak dan kewajiban, dan menyerukan perubahan dalam masyarakat dengan membawa didirikannya Negara Islam; sebagaimana diatur oleh Al-Qur’an and sunah Nabi.

Sama seperti ‘Aisyah ‘Abd ar-Rahman, Zainab juga mempertahankan ha-hak perempuan muslim sesuai dengan apa yang dipahami dari doktrin Islam yang dianggap benar. Zainab memiliki keyakinan bahwa Islam mengizinkan perempuan untuk mengambil peran dalam kehidupan publik memegang jabatan; masuk ke dalam dunia politik; dan juga bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Dia juga yakin bahwa kewajiban pertama seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu dan istri. Menurutnya tidak ada aktivitas lain yang dapat mencampurinya dan peran ini harus memperoleh prioritas diatas hal lainnya.

Baca Juga  Kesatria Perempuan
***

Nawa as-Sadawi adalah salah satu seorang feminis Arab yang lainnya. Selain seorang feminis Nawa as-Sadawi adalah seorang doktor medis yang juga telah menulis beberapa novel dan sejarah singkat. Nawa mendapatkan pelatihan kesehatan di Mesir dan kemudian dia melakukan praktik di wilayah pedalaman Mesir dan berlanjut di Rumah sakit Kairo. Hingga diangkat menjadi direktur kesehatan publik di Mesir. Akan tetapi setelah tulisan fiksinya diterbitkan, Menteri Kesehatan mendapatkan tekanan dari otoritas politik dan keagamaan yang menyebabkan Nawa diturunkan dari jabatannya tersebut.

Melalui bukunya yang berjudul The Hidden Face of Eve: Women in The Arab World, Nawa mengulas tentang penindasan perempuan arab dan juga terdapat perempuan Mesir. Dalam pemikiran Nawa as-Sadawi terdapat ambiguitas tentang peranan Islam dalam merencanakan sesuatu dari perspektif feminisme. Secara berulang dia menegaskan bahwa Islam meningkatkan status perempuan, Islam memberikan kehidupan yang lebih baik kepada perempuan daripada Kristen dan Yahudi. Di sisi lain ia mengatakan sejak masa Utsman bin Affan lah status inferior perempuan muslim dimulai. Issa J. Boullata mengatakan, Nawa as-Sadawi tidak memiliki pemahaman yang mendalam mengenai syariah dan Islam pada umunya. Hal ini karena Nawa tidak menerima apabila hukum wahyu  ditundukkan di bawah kontrol demokrasi sekuler khusus ketika terdapat teks keagamaan tertentu yang tidak memperbolehkan pendapat personal.

***

Selanjutnya terdapat feminis Maroko bernama Fatima Mernissi. Ia mengatakan bahwa hukum Islam Tradisional yang mengatur keluarga muslim haruslah di ubah untuk mempersiapkan perubah ekonomi politik modern yang dengan cepat merambah masyarakat Arab. Mernissi tidak menganggap perempuan Barat modern sebagai contoh untuk perempuan muslim; karena menurutnya keduanya merupakan korban dari sistem sosial yang mendiskriminasikan perempuan. Karena modernisasi yang terjadi di Arab dan juga kebutuhan ekonomi mengurangi pemisahan gender yang terjadi, cinta di dalam unit keluarga menjadi sangat diperlukan dan diharapkan. Menurut Mernissi ketika cinta dalam unit keluarga ini terwujud; laki-laki dan perempuan Arab dapat mencapai pengharmonisasian untuk menyelesaikan persoalan yang dirasakan. Penguasa menurut Mernissi harus mulai menyadari perlunya menggunakan sumber daya manusia dan alam dalam membangun masa depan. Sebab ia yakin bahwa perempuan Arab adalah elemen sentral bagi masa depan yang gemilang.

Baca Juga  Nabila Abdul Rahim Bayan; Perempuan Hafiz Inspiratif

Dari pemaparannya mengenai perempuan Arab, Boullata memberikan catatan bahwa walaupun perempuan Arab sudah memberikan pendapat-pendapatnya, mereka tetaplah minoritas; karena masyarakat Arab sebagian besar masih dunia laki-laki. Melalui aktivitas sastralah perempuan arab akan lebih terdengar.

Bagikan
Post a Comment